MONITORDAY.COM – Seribu pengasuh pondok pesantren Indonesia berkumpul di Pesantren Al Muhajirin, Purwakarta, Jawa Barat pada 22-24 September 2024, dalam kegiatan Halaqah Nasional Pengasuh Pesantren.
Salah satu isu penting yang dibahas yakni berkaitan dengan tahun politik. Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna, menegaskan bahwa dalam halaqah ini, para pengasuh pondok pesantren menolak kampanye di tempat mereka.
Menurut Sarmidi, para kiai melihat kampanye politik di pesantren akan berdampak negatif. Sebab, kampanye di pesantren biasanya selalu dilakukan untuk mendulang suara, bukan untuk pendidikan politik.
Situasi ini menurut para pengasuh pesantren bisa menimbulkan gejolak dan ketegangan, baik antar pesantren, alumni pesantren maupun masyarakat secara luas.
“Para pengasuh pesantren, karena itu, menolak pelaksanaan kampanye di lingkungan pesantren dengan mempertimbangkan madharat-nya jauh lebih besar daripada kemanfaatannya,” ujar Sarmidi, dikutip dari keterangan resmi, Minggu (24/9/2023).
Dalam perkara itu, dua orang pemohon, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, menilai ada inkonsistensi aturan terkait aturan itu dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Larangan kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah tercantum tanpa syarat dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h.
Namun, pada bagian Penjelasan, tercantum kelonggaran yang berbunyi, “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Jika pengecualian itu diperlukan, maka seharusnya ia tidak diletakkan di bagian penjelasan.