Connect with us

Review

4 Pulau Aceh Telah di kembalikan, Tapi untuk Jabatan Mendagri?

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Kisruh 4 pulau Pronvinsi Aceh sudah selesai melalui keputusan Presiden Prabowo yang lebih arif dan bijaksana, ketimbang menterinya. Namun publik terlanjur kecewa dengan keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menetapkan empat pulau di Aceh Singkil sebagai bagian dari Sumatera Utara melalui Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025.

Publik menilai justri itu blunder administratif yang tidak bisa ditoleransi, bukan sekadar membuat gaduh, tapi juga menimbulkan pertanyaan besar soal integritas dan komitmen terhadap hukum dan konstitusi negara. Ketika seorang menteri dalam negeri mengabaikan Undang-Undang, mengesampingkan aspirasi rakyat, maka jabatan itu sudah tidak layak lagi disandang.

Tito berdalih keputusan tersebut bersumber dari rapat Tim Pembakuan Nama Rupa Bumi tahun 2017. Aneh bin ajaib, mengapa hasil rapat yang dilakukan delapan tahun lalu mendadak digunakan sebagai dasar kebijakan sepenting ini? Padahal sejak awal, kepemilikan keempat pulau itu secara administratif dan historis telah jelas berada di bawah Provinsi Aceh, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 14 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Aceh Singkil dan UU No. 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh. Lalu, apa yang membuat Tito tiba-tiba membongkar masa lalu yang penuh potensi konflik ini?

Lebih parah lagi, Tito menyebut bahwa Gubernur Aceh tahun 2008 tidak memasukkan pulau-pulau itu dalam wilayahnya. Tapi apakah keputusan seorang gubernur bisa mengubah struktur wilayah sebuah provinsi? Tidak. Itulah mengapa keberadaan Undang-Undang menjadi acuan tertinggi, bukan surat-surat yang diklaim berasal dari dua gubernur berbeda. Tito jelas mengabaikan prinsip ini, dan itu adalah pelanggaran mendasar terhadap sistem hukum yang ia seharusnya jaga.

Tidak hanya hukum yang diterabas, etika politik pun diinjak. Keputusan itu tidak dikomunikasikan kepada Presiden Prabowo Subianto. Bahkan, Presiden sendiri tak tahu-menahu soal pemindahan wilayah tersebut. Ini bukan sekadar salah langkah, tapi bentuk pembangkangan terhadap kepemimpinan nasional. Ketika seorang menteri mengabaikan mandat presiden, maka wajar jika publik menilai ia harus dicopot.

Protes datang dari berbagai pihak. Rapidin Simbolon dari PDIP menyebut keputusan Tito tidak memiliki urgensi dan hanya membangkitkan konflik lama. Bahkan ia menduga ada kepentingan ekonomi tersembunyi di balik pemindahan pulau, seperti tambang nikel yang kini jadi incaran berbagai pihak. Rieke Diah Pitaloka pun mengingatkan pentingnya konsistensi terhadap perjanjian damai Helsinki dan keberadaan UU sebagai dasar pengambilan kebijakan. Jika seorang Mendagri mengabaikan dua hal ini, apa lagi yang bisa dijadikan pegangan?

Tito juga dengan entengnya menyarankan Pemprov Aceh untuk menggugat ke PTUN. Ini bukan sikap negarawan, tapi lebih mirip seseorang yang ingin lepas tanggung jawab. Apakah ia tidak sadar bahwa sikap semacam ini justru memecah belah masyarakat, menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat, dan memperburuk citra kabinet Presiden Prabowo?

Situasi ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi Istana. Presiden Prabowo tidak boleh tinggal diam. Keputusan Tito bukan hanya membahayakan relasi pusat-daerah, tapi juga membuka ruang kecurigaan soal adanya “permainan kotor” di balik kebijakan tersebut. Jika reshuffle kabinet akan dilakukan, maka nama Tito Karnavian harus berada di urutan teratas untuk diganti. Negara tidak boleh dikendalikan oleh menteri yang tidak sejalan dengan presiden dan bertindak di luar batas wewenangnya.

Sangat disayangkan, Tito yang pernah menjabat sebagai Kapolri, kini justru kehilangan naluri kepemimpinan yang seharusnya mengedepankan ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum. Bukannya meredam potensi konflik, ia malah menambah bara di tengah bara. Bukan mempererat kesatuan NKRI, ia justru membenturkan dua provinsi yang selama ini hidup berdampingan.

Kasus ini adalah pelajaran pahit tentang bagaimana seorang pejabat tinggi negara bisa menjadi sumber kekacauan ketika otoritas digunakan tanpa akuntabilitas. Jika Tito dibiarkan tetap menjabat, maka itu sama saja dengan membiarkan bom waktu terus berdetak. Presiden harus bersikap tegas. Bukan hanya demi menjaga integritas wilayah negara, tetapi juga untuk menyelamatkan kredibilitas pemerintahannya.

Untuk itu, publik menunggu Mendagri baru yang lebih jelas kinerjanya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Review

Prabowo dan Kejutan Politik dari Aceh

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Dalam atmosfer politik yang kian memberikan kejutan-kejutan, keputusan Presiden Prabowo Subianto soal pengembalian empat pulau Aceh mengingatkan publik bahwa kepemimpinan bukan sekadar jabatan, tapi soal ketegasan, kepekaan, dan keberpihakan terhadap konstitusi dan keadilan.

Betapa tidak, di tengah kegelisahan publik terhadap praktik kekuasaan yang makin tak terkendali, kehadiran Presiden Prabowo seolah menjadi angin segar. Bukan tanpa sebab. Di saat banyak pejabat sibuk memperkuat cengkeraman kekuasaan melalui jalur keluarga atau keputusan sepihak, Prabowo justru menampilkan sikap kenegarawanan, apa itu? yah taat pada konstitusi dan berpihak pada nurani rakyat.

Kisah ini berawal dari keputusan kontroversial Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang memindahkan empat pulau dari Provinsi Aceh ke Sumatera Utara. Sebuah kebijakan yang tak hanya menuai kritik, tapi juga membuka luka lama soal sentralisasi kekuasaan dan ketidakpekaan terhadap sejarah dan kultur daerah. Banyak yang menganggap kebijakan itu sebagai bentuk pelecehan terhadap otonomi daerah, dan Aceh, dengan segala sejarah perjuangannya, tentu tidak menerima begitu saja.

Namun, Prabowo tak tinggal diam. Dalam langkah yang dianggap berani sekaligus bijak, Presiden ke-8 Indonesia ini mengembalikan empat pulau itu ke pangkuan Aceh. Keputusan yang menggegerkan, sekaligus mengundang apresiasi luas dari masyarakat. Tak sedikit yang melihat tindakan ini sebagai bukti bahwa Prabowo bukan hanya pemimpin dengan kekuatan militer, tapi juga negarawan dengan hati nurani.

Beruntung, Indonesia dipimpin oleh sosok dengan latar belakang militer seperti Prabowo. Di saat banyak pemimpin sipil terlalu politis dan gemar melanggengkan kekuasaan, Prabowo justru memilih langkah konstitusional. Ia tidak menempatkan keluarga dalam posisi strategis, tidak juga menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Baginya, konstitusi adalah panglima tertinggi, dan itulah yang membedakannya dari banyak tokoh politik hari ini.

Keputusan soal empat pulau Aceh ini hanyalah satu contoh dari bagaimana Prabowo menjalankan roda pemerintahan: tidak reaktif, tapi reflektif. Ia tidak terburu-buru, tapi mengutamakan konsultasi, pendalaman masalah, dan yang terpenting, mendengar suara rakyat. Ini adalah kualitas yang nyaris hilang dalam tradisi politik kita belakangan ini. Ketika menteri-menteri justru menciptakan kegaduhan, Prabowo hadir sebagai penyeimbang, sekaligus penegas bahwa presiden adalah pemegang mandat tertinggi rakyat.

Banyak yang awalnya meragukan Prabowo, mencapnya terlalu militeristik atau bahkan otoriter. Namun, realita berkata lain. Prabowo membuktikan bahwa disiplin militer bisa berdampingan dengan demokrasi, bahkan memperkuatnya. Karena bagi Prabowo, loyalitas bukan pada kekuasaan, tapi pada rakyat dan konstitusi. Dan di tengah situasi politik yang makin pragmatis, keberadaan pemimpin seperti ini adalah harapan.

Publik pun mulai menyadari bahwa kepemimpinan bukan soal asal-usul sipil atau militer, tapi soal integritas dan keberanian untuk berpihak pada yang benar. Dan Prabowo menunjukkan itu dengan tenang, tegas, dan berkelas. Keputusannya membatalkan kebijakan Mendagri soal pulau Aceh bukan hanya koreksi administratif, tapi juga pesan politik: bahwa menteri tidak bisa bertindak sewenang-wenang tanpa koordinasi dan kehendak presiden. Di bawah Prabowo, tidak ada ruang bagi arogansi birokrasi.

Kini, harapan publik kembali tumbuh. Jika keputusan-keputusan berani seperti ini terus dilakukan, maka Indonesia bisa keluar dari jebakan oligarki dan politik dinasti. Prabowo, dengan segala latar belakang dan pengalaman, tampaknya tahu betul bahwa bangsa ini tidak butuh pemimpin yang sekadar populer, tapi yang berani mengambil risiko untuk menjaga keutuhan dan keadilan negara.

Ringkasnya, Prabowo bukan hanya hadir sebagai presiden, tapi sebagai simbol bahwa integritas dan kecintaan pada konstitusi masih hidup. Di tengah hiruk-pikuk politik praktis, keberaniannya mengambil keputusan soal pulau Aceh menjadi bukti bahwa bangsa ini masih punya harapan. Bahwa tidak semua pemimpin mabuk kekuasaan. Bahwa masih ada sosok yang menjadikan hati dan konstitusi sebagai kompas utama dalam memimpin.

Continue Reading

Review

Aneh! Israel Serang Iran Duluan, tapi Netanyahu Bilang Teheran yang Jahat

Israel kembali menyerang lebih dulu ke Iran lalu mengklaim sebagai korban. Netanyahu memutarbalikkan fakta untuk membenarkan agresi militer dan kebijakan genosidanya.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Di tengah gelegar serangan yang dilancarkan Israel ke Iran, dunia kembali disuguhi paradoks klasik: agresor yang mengaku korban. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berpidato bak pahlawan pembebas, padahal peluru-peluru negaranya lebih dulu melesat.

Dunia pun tahu siapa yang memulai penyerangan ke Iran. Yah Israel lah yang lebih dulu. Dalam operasi militer yang disebut “Rising Lion” Netanyahu dengan sengaja mengirim Jet-jet tempur Israel melancarkan serangan mematikan. Namun, bukannya mengakui peran sebagai penyerang, Netanyahu justru tampil sebagai juru selamat rakyat Iran, menyerukan agar mereka bangkit melawan pemerintah mereka sendiri. Dalihnya? Rezim Teheran dianggap jahat dan menindas.

Ucapan Netanyahu yang disiarkan lewat video itu terdengar seperti drama distopia penuh manipulasi. Ia mengatakan operasi ini demi menghilangkan ancaman nuklir dan rudal balistik Iran terhadap Israel. Namun, jika memang berniat mencegah konflik, mengapa Israel yang pertama melancarkan serangan? Retorika Netanyahu seakan lupa bahwa hukum internasional mengutuk aksi pre-emptive strike yang tanpa bukti ancaman langsung.

Yang lebih mencolok adalah bagaimana Netanyahu mencoba membajak emosi rakyat Iran. Ia menyebut hubungan historis Iran-Israel sejak zaman Cyrus sebagai pembenar tindakan militernya hari ini. Padahal, tidak ada yang lebih ironis daripada menyerang rakyat sebuah negara, lalu berpura-pura menjadi penyelamat mereka. Retorika semacam ini tak lebih dari manipulasi moral, sebuah upaya cuci darah dari tangan penuh mesiu.

Lebih buruk lagi, Netanyahu menyandingkan slogan feminis populer “Zan, Zendegi, Azadi” (Perempuan, Kehidupan, Kebebasan) yang lahir dari perlawanan rakyat Iran terhadap represi domestik dengan invasi militer asing. Ini adalah bentuk pemanfaatan oportunistik atas penderitaan rakyat demi legitimasi agresi. Dalam hal ini, Israel tidak sedang memperjuangkan kebebasan Iran, melainkan memperluas wilayah pengaruhnya dengan cara militeristik dan penuh kekerasan.

Sementara itu, Iran dengan cepat membalas secara verbal dan bersumpah tidak akan menunjukkan belas kasihan. Ayatollah Khamenei menyebut tindakan Israel sebagai kesalahan fatal. Ia menegaskan bahwa angkatan bersenjata Iran siap menghadapi konsekuensinya. Tidak bisa disangkal, eskalasi ini bisa berubah menjadi konflik regional besar jika komunitas internasional terus diam atau malah menjustifikasi tindakan Israel.

Netanyahu seolah lupa bahwa genosida yang dilakukannya di Gaza dan wilayah Palestina masih segar dalam ingatan dunia. Ribuan warga sipil, anak-anak, dan perempuan menjadi korban. Kini, ia kembali mengibarkan bendera ‘korban’ padahal jelas-jelas menjadi pelaku serangan pertama. Gaya klasik ini telah usang, dan dunia yang semakin terhubung dan sadar tidak bisa terus-menerus dibohongi oleh narasi usang ala kolonial.

Operasi Rising Lion bukan sekadar misi militer. Ini adalah kelanjutan dari kebijakan luar negeri Israel yang agresif, genosidal, dan penuh ilusi moral. Dengan klaim bahwa mereka selalu diserang dan terancam, Israel berusaha mencuci tangan dari setiap bom yang dijatuhkan, setiap nyawa yang dicabut. Sudah saatnya dunia berhenti memakan narasi “korban palsu” ini dan mulai menuntut pertanggungjawaban dari negara yang selama ini menggunakan kedok keamanan sebagai pembenaran untuk menyerang.

Continue Reading

News

Hey Bobby! Empat Pulau Bukan Warisanmu

Bobby Nasution dinilai tak paham sejarah dan mencoba main kuasa di wilayah yang bukan miliknya.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Langkah Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang bersikeras terhadap status empat pulau di perbatasan Aceh-Sumut kembali menuai gelombang kritik. Tak hanya dianggap tidak memahami sejarah, Bobby juga dinilai bertindak arogan dan gagal membaca etika diplomatik antar wilayah. Sikapnya makin dipertanyakan saat membuat Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, menunggu berjam-jam sebelum akhirnya memilih meninggalkan lokasi pertemuan.

Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, menjelaskan bahwa Mualem tidak tinggal untuk menyambut Bobby karena memiliki agenda penting bersama masyarakat Aceh Barat. Tapi publik tahu, ini bukan sekadar benturan jadwal. Ini soal harga diri. Seorang kepala daerah tak sepantasnya datang terlambat lalu mengharapkan sambutan hangat, terlebih saat lawan bicaranya adalah tokoh Aceh sekelas Mualem.

Kondisi ini diperkeruh oleh keputusan Kemendagri yang menetapkan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara. Keputusan yang tertuang dalam Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 ini menjadi sorotan tajam, karena secara historis keempat pulau itu sejak awal adalah bagian dari Aceh, tepatnya wilayah Aceh Singkil.

Dirjen Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, berdalih keputusan itu berdasarkan survei gabungan antara Pemprov Aceh, Pemprov Sumut, Pemkab Aceh Singkil, dan Pemkab Tapanuli Tengah. Namun argumen ini goyah ketika Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), secara tegas menyatakan bahwa berdasarkan perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, keempat pulau tersebut adalah milik Aceh.

JK menyitir isi perjanjian Helsinki, tepatnya poin 1.1.4, yang menyebut batas wilayah Aceh merujuk pada kondisi 1 Juli 1956. Inilah batas legal dan historis yang disepakati saat Aceh dan pemerintah Indonesia berdamai pada 2005. Menurut JK, jika perjanjian ini diabaikan, maka wibawa hukum dan rekonsiliasi nasional akan terganggu.

“Jadi secara formal dan historis, empat pulau itu masuk wilayah Singkil, Provinsi Aceh,” tegas JK dalam konferensi pers, Jumat (13/6).

Penegasan ini bukan sekadar retorika nostalgia. JK secara bijak mengingatkan bahwa penentuan batas wilayah tidak cukup hanya melihat peta topografi atau klaim geografis. Ada sejarah panjang, nilai-nilai sosial, dan identitas masyarakat yang hidup di pulau-pulau itu. Apalagi, jika keputusan administratif mengabaikan realitas sejarah, maka konflik horizontal bisa kembali meletup.

Sayangnya, alih-alih mengedepankan dialog dan menghormati sejarah, Bobby justru terkesan bermain kuasa. Ia seakan lupa bahwa jabatan tak bisa dijadikan kartu sakti untuk mengatur seenaknya. Bahkan, jika itu dilakukan demi ‘mengamankan’ empat pulau yang secara fakta lebih lekat dengan Aceh ketimbang Sumut.

Masyarakat Aceh pun kini mempertanyakan motif di balik manuver Bobby. Apakah ini sekadar pencitraan menjelang pemilu, atau justru ada agenda tersembunyi dalam penguasaan wilayah? Yang pasti, publik tidak buta. Era kekuasaan berbasis koneksi keluarga sudah lewat. Tak ada lagi ruang untuk kepala daerah yang merasa bisa melenggang dengan restu elite semata.

Bobby perlu sadar, sejarah bukan sesuatu yang bisa diubah semaunya. Jika ingin dihormati sebagai pemimpin, ia harus mulai dari menghormati orang lain, termasuk rekan sejawat dari provinsi tetangga. Bila datang terlambat saja tidak bisa meminta maaf, bagaimana bisa dipercaya menjaga kepentingan rakyat?

Langkah terbaik saat ini adalah menarik kembali keputusan yang merugikan Aceh. Kemendagri harus bersikap adil dan melihat ulang dasar hukumnya. Jangan sampai keputusan yang mengabaikan sejarah ini menjadi bara dalam sekam yang kelak membakar kepercayaan masyarakat terhadap negara.

Continue Reading

Review

Jika Cinta Tumbuh di Meja Gubernur, Akankah Istana Menyambut?

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Pagi ini, sambil menyeruput segelas kopi Aceh “Ulee Karaeng Coffee” oleh-oleh dari seorang sahabat yang paham betul selera, saya membuka media sosial seperti biasa. Tapi bukan sekadar kabar tentang kemacetan atau cuaca yang muncul pertama. Kali ini, sebuah video pendek menyita perhatian saya: Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, menyambangi Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi. Katanya, kunjungan itu untuk belajar dari kepemimpinan Kang Dedi. Tentu ini kabar baik, dan ya, kopi pagi saya jadi terasa lebih nikmat.

Sebagai anak Maluku Utara yang kini merantau dan menetap di Jawa Barat, ada rasa bangga sekaligus haru. Betapa tidak, Gubernur Sherly mau jauh-jauh datang untuk belajar. Hal ini menunjukan bahwa sang Gubernur wanita yang rendah hati, mau belajar dan terbuka terhadap pengalaman baru, nilai-nilai pemimpin seperti inilah yang seringkali kita rindukan.

Tapi di balik kabar hangat itu, saya jadi terdiam sebentar. Ada sesuatu yang mencuat, bukan dari berita, tapi dari benak saya sendiri. Kang Dedi, gubernur yang dikenal merakyat, santai tapi tegas, dan… ya, kini menyandang status duda. Sementara Bu Sherly? Sama, janda yang tegas, elegan, dan penuh empati. Mungkinkah cinta tumbuh di meja Gubernur?

Lalu saya berpikir dan sejujurnya, mungkin Anda juga, bagaimana jika keduanya disatukan, bukan hanya oleh visi pembangunan, tapi oleh rasa yang lebih personal?

Ah, saya tahu ini hanya angan-angan. Tapi apa salahnya berandai? Bukankah rakyat juga boleh membayangkan kisah cinta para pemimpinnya? Apalagi jika keduanya sama-sama punya daya tarik politik dan kemanusiaan yang kuat.

Coba bayangkan ini: jika suatu saat Kang Dedi dipilih atau bahkan direkomendasikan oleh Presiden Prabowo untuk maju sebagai Presiden RI, dan Bu Sherly berada di sampingnya, bukan sekadar sebagai gubernur lain, tapi sebagai istri, pendamping, sekaligus calon Ibu Negara. Rasanya seperti sebuah bab baru dalam sejarah kepemimpinan negeri ini yang tidak hanya rasional tapi juga emosional.

Tentu, saya sadar ini belum lebih dari pertemuan dua pemimpin yang saling mengagumi cara kerja satu sama lain. Tapi bukan rahasia lagi bahwa publik suka membaca “tanda-tanda.” Tatapan mata, gaya bicara, hingga cara mereka saling menyambut dalam video singkat itu… semuanya seolah mengandung cerita yang belum selesai.

Dan publik mulai bertanya-tanya. Apakah ini hanya kolaborasi antar provinsi? Atau benih-benih kisah besar yang sedang tumbuh diam-diam?

Oh iya, Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Lutfi, juga duda. Tapi sejauh ini belum terdengar kabar kedekatannya dengan Bu Sherly. Dan jujur saja, jika dibandingkan dari sisi pesona, gaya komunikasi, hingga rekam jejak, Kang Dedi masih lebih unggul di mata publik.

Apapun itu, kita semua tahu: kepemimpinan tak hanya dibentuk di ruang rapat dan panggung politik, tapi juga oleh kisah-kisah personal yang menyentuh. Jika benar ada jodoh di antara Sherly dan Kang Dedi, maka mungkin bangsa ini tak hanya akan menyambut pasangan pemimpin yang serasi, tapi juga cerita cinta yang bisa menjadi teladan tentang sinergi dan keberanian.

Untuk sekarang, saya hanya bisa menyeruput sisa kopi ini dan terus mengikuti perkembangan mereka. Karena siapa tahu, kisah pagi ini akan menjadi bab pembuka dari cerita besar Indonesia di masa depan.

Continue Reading

Review

Prof Rokhmin: Mari Jaga Raja Ampat, Pesonanya kini Terancam

Raja Ampat, surga bumi Papua yang memesona tapi kini keindahannya terancam! Mari jaga, jangan biarkan hilang!

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Raja Ampat bukan sekadar tempat wisata biasa, melainkan sebuah keajaiban alam yang menyimpan keanekaragaman hayati paling kaya di planet ini. Prof Rokhmin Dahuri, anggota Komisi IV DPR RI sekaligus pakar kemaritiman, pernah merasakan langsung pesona magis Raja Ampat yang membuat mereka terpukau dan terkesan.

Baginya, Raja Ampat adalah penggalan surga yang Tuhan turunkan di bumi Papua, sebuah warisan luar biasa yang wajib dijaga dan dilestarikan.

Namun kini, surga itu menghadapi ancaman nyata. Kegiatan pertambangan nikel yang mengatasnamakan investasi berpotensi menghancurkan keindahan dan ekosistem laut Raja Ampat yang sangat rapuh.

Prof Rokhmin menegaskan bahwa Raja Ampat memiliki ekosistem terumbu karang dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, mulai dari tingkat genetik, spesies, hingga ekosistem. Biodiversity ini bukan hanya soal keindahan, melainkan fondasi kehidupan makhluk hidup yang menjadi basis kehidupan Indonesia bahkan dunia.

Ketua Dulur Cirebonan ini dengan tegas meminta agar pertambangan nikel di wilayah ini segera dihentikan. Baginya, pembangunan ekonomi memang penting, tapi menjaga kelestarian lingkungan jauh lebih krusial. Ekonomi harus dibangun dengan prinsip konservasi dan keberlanjutan, dengan fokus pada marikultur, perikanan tangkap, dan pariwisata bahari yang ramah lingkungan.

Hal ini sejalan dengan undang-undang yang melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat demi melindungi kekayaan alamnya yang luar biasa.

Tidak hanya pemerintah dan akademisi yang memperhatikan isu ini, aktivis lingkungan seperti Greenpeace Indonesia juga menggelar aksi damai sebagai bentuk protes terhadap rencana pertambangan nikel yang mengancam ekosistem Raja Ampat.

Keprihatinan ini berakar pada fakta bahwa kawasan ini menyimpan 75 persen spesies terumbu karang dunia, 1.400 jenis ikan karang, dan 700 jenis invertebrata moluska, jumlah yang sulit ditemukan di tempat lain di bumi.

Bagi Prof Rokhmin, Raja Ampat lebih dari sekadar objek wisata atau sumber ekonomi, melainkan sebuah anugerah alam yang harus diwariskan utuh untuk generasi mendatang. Semangatnya jelas: jangan biarkan keserakahan investasi menghancurkan surga kecil yang jatuh di bumi Papua ini.

Raja Ampat harus diselamatkan, tidak hanya untuk Indonesia, tapi untuk seluruh dunia yang bergantung pada kekayaan alam dan keseimbangan ekosistem lautnya.

Continue Reading

Review

Perjamuan Kekuasaan di Meja Makan

Pertemuan simbolik Prabowo, Gibran, dan Megawati di Hari Lahir Pancasila menyimpan makna politik dalam, di tengah riuh isu pemakzulan dan permainan opini publik.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Suasana peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Senin (2/6/2025), mendadak menjadi panggung drama politik tingkat tinggi. Di sana, Presiden terpilih Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri tampil bersama dalam satu frame publik yang langka pasca-Pilpres 2024. Namun, publik tidak hanya melihat seremoni, melainkan membaca sandi kekuasaan yang sedang dinegosiasikan tanpa kata, tapi penuh makna.

Di satu sisi, Prabowo tampil luwes, seolah mengukuhkan dirinya sebagai pemegang kendali narasi. Gibran berdiri di sisi setia, tersenyum datar, namun sorot matanya tajam. Di sisi lain lapangan, ada sosok Try Sutrisno, tokoh senior militer dan mantan wakil presiden yang gencar menggaungkan isu pemakzulan Gibran. Sebuah ironi visual terjadi—Gibran dan Try berada dalam satu ruang negara, tapi terpisah oleh kredo yang berbeda. Satu bicara loyalitas, yang lain bicara pelanggaran etika.

Upacara ini bukan sekadar upacara. Ini adalah panggung simbolik dari “perjamuan kekuasaan”—di mana gesture, pakaian, dan siapa berdiri di mana, lebih vokal dari pidato kenegaraan manapun. Kajian linguistik terapan dalam konteks ini menunjukkan bahwa jamuan makan atau pertemuan seremonial memiliki muatan komunikasi non-verbal yang kental. Dalam budaya politik Indonesia, pertemuan fisik seperti ini adalah pesan tersirat: harmoni semu, atau upaya menutup retakan yang menganga.

Try Sutrisno jelas tidak mundur. Seruan pemakzulan terhadap Gibran masih ia gaungkan sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik politik dinasti dan pelanggaran konstitusi. Namun di balik itu, publik menyaksikan bagaimana Prabowo memainkan peran sebagai dirigen, mengatur irama ketegangan agar tetap terdengar merdu di telinga rakyat. Ia mempertemukan lawan dan kawan di satu ruang, mengesankan stabilitas, meski substansi konfliknya belum selesai.

Prabowo tidak hanya sedang menunjukkan kekuatan politik, tapi juga kecerdikan dalam mengelola opini. Ini yang membuat analis wacana kritis melihat bahwa kekuasaan dalam politik tidak hanya dibangun melalui argumen, tetapi juga melalui kontrol atas simbol, ruang, dan narasi publik. Bahasa tubuh, kehadiran tokoh, dan framing media menjadi instrumen dominasi yang halus namun efektif.

Makna linguistik dari “jamuan kekuasaan” ini terletak pada kemampuannya membungkus konflik dalam balutan harmoni. Prabowo mempertemukan Megawati, Gibran, dan bahkan Try, bukan untuk menyatukan visi, tapi untuk mengontrol persepsi. Sebuah komunikasi politik tingkat tinggi, di mana yang tidak dikatakan justru paling keras berbicara.

Publik pun dibuat semakin bingung: apakah ini bentuk rekonsiliasi, sandiwara politik, atau pengalihan isu? Namun satu hal pasti, wacana pemakzulan yang terus digaungkan Try Sutrisno menjadi ancaman simbolik bagi stabilitas awal pemerintahan Prabowo-Gibran. Meski tertutup dalam jamuan simbolis, luka politik tetap menganga, menunggu momentum baru untuk meledak.

Continue Reading

Review

Listyo Sigit Tetap Kapolri, Tak Tergoyahkan

Istana tegaskan Jenderal Listyo Sigit Prabowo tetap Kapolri dan aktif bekerja, meski isu pencopotan kembali mencuat.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Spekulasi politik soal perombakan elite keamanan nasional kembali mencuat, kali ini menyasar posisi Kapolri. Namun, Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali membuktikan dirinya bukan sosok yang mudah digoyang.

Sinyal kuat datang langsung dari lingkar dalam kekuasaan. Sekretaris Kabinet, Letkol Teddy Indra Wijaya, dengan nada tegas membantah kabar pencopotan itu.

“Kapolri Sigit masih aktif dan menjalankan tugas seperti biasa. Bahkan kemarin baru saja menghadap Presiden untuk menyampaikan laporan bulanan,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (4/6/2025).

Pernyataan itu bukan sekadar klarifikasi. Di tengah hiruk-pikuk isu reshuffle dan ketegangan di tubuh pemerintahan, pernyataan ini seolah menampar keras para penyebar spekulasi. Lebih dari itu, ini menjadi penegasan bahwa Prabowo dan Sigit masih sejalan, bahkan saling menopang dalam menjaga ritme pemerintahan yang tengah bersiap menempuh fase barunya.

Bukan kebetulan jika sehari setelah isu ini merebak, Jenderal Sigit justru muncul di rombongan Presiden dalam kunjungan kerja ke Kalimantan Barat. “Pak Kapolri ikut dalam kunjungan kerja Presiden ke Kalbar, mau meninjau panen jagung,” lanjut Teddy. Kegiatan ini, yang di permukaan tampak sebagai agenda kerja biasa, sebetulnya menyimpan makna politis yang dalam. Di tengah situasi yang memanas, tampilnya Kapolri bersama Presiden merupakan bentuk konsolidasi kekuasaan dan loyalitas yang sedang diuji.

Di balik layar, jabatan Kapolri bukan posisi sembarangan. Dalam lanskap politik Indonesia, terutama di masa transisi pemerintahan, posisi ini menjadi titik strategis. Stabilitas keamanan dan pengaruh terhadap kebijakan hukum menjadikan Kapolri sebagai salah satu pilar utama dalam struktur kekuasaan nasional.

Maka tak heran, kabar soal pencopotan Sigit langsung membakar diskusi di berbagai ruang politik, baik terbuka maupun tertutup. Namun sampai detik ini, semua upaya menggoyang kursi Kapolri tak membuahkan hasil. Justru sebaliknya, kehadiran Sigit di setiap momen penting pemerintahan menunjukkan bahwa ia masih dipercaya dan dibutuhkan.

Sumber internal yang dekat dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto menyebut bahwa Jenderal Sigit akan tetap menjabat hingga masa pensiunnya tiba. “Nanti diganti setelah Listyo memasuki pensiun,” ujarnya singkat, namun penuh makna. Ini memperkuat kesan bahwa tidak ada ruang untuk intervensi politik jangka pendek dalam keputusan strategis seperti ini.

Di tengah wacana liar yang terus bergulir, Istana kini memberi penegasan. Dan Sigit, dengan langkah tenangnya, tampaknya lebih sibuk bekerja ketimbang meladeni isu. Yang jelas, hingga saat ini, Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih berdiri kokoh di pucuk kepolisian Indonesia.

Continue Reading

Review

Bunyi, Makna, dan Kebenaran yang Tertantang

Dalam dunia pendidikan bahasa Inggris, pengucapan sering kali dianggap anak tiri. Namun, melalui orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar di UNJ, Prof. Dr. Ifan Iskandar justru membalik asumsi itu dengan menohok: kesalahan satu fonem bisa berujung maut.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Universitas Negeri Jakarta (UNJ) kembali mencatat sejarah pada 3 Juni 2025 dengan pengukuhan Prof. Dr. Ifan Iskandar, M.Hum. sebagai Guru Besar dalam bidang Pembelajaran Tata Bunyi Bahasa Inggris. Namun, pengukuhan itu bukan sekadar seremoni akademik; ia menjadi panggung kritik terhadap pandangan usang dunia pendidikan yang selama ini menyepelekan pentingnya pengucapan dalam bahasa Inggris.

Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Pemelajaran Swakelola Tata Bunyi Bahasa Inggris, Dinamika Makna, dan Kenisbian Kebenaran Ilmiah”, Prof. Ifan menggugat pemahaman kita atas fonem dan makna. Ia memulai dengan kasus tragis gadis remaja di Spanyol yang meninggal karena salah mendengar “No jump!” sebagai “Now jump!” saat bungee jumping, insiden yang memperlihatkan bahwa satu bunyi bisa jadi soal hidup dan mati. Ini bukan sekadar teori linguistik, tapi realitas yang mendesak.

Menurut Prof. Ifan, tata bunyi bukan hanya soal keindahan pelafalan, melainkan bagian integral dari komunikasi dan pemaknaan. “Keakuratan pengucapan satu fonem bisa menjadi penentu antara benar atau salahnya informasi,” tegasnya dalam orasi yang membakar semangat berpikir kritis. Ia mencontohkan, kata “think” dan “thing” yang terdengar mirip bisa mengubah makna secara drastis jika tidak diucapkan dengan tepat.

Lebih dari itu, orasi ini mengusung konsep pembelajaran swakelola berbasis proyek dengan pendekatan tugas perancah. Pendekatan ini menempatkan mahasiswa bukan hanya sebagai penerima pengetahuan, melainkan aktor aktif dalam merancang, mengeksekusi, dan mengevaluasi pembelajarannya sendiri. Dalam tiga semester, proyek ini diterapkan kepada lebih dari 100 mahasiswa dengan hasil yang signifikan: peningkatan kemampuan pengucapan dari nilai rata-rata 72,9 ke 78,1.

Namun, Prof. Ifan tak berhenti di sana. Ia mengguncang landasan epistemologi ilmu dengan mempertanyakan keniscayaan kebenaran ilmiah. “Kebenaran ilmiah itu nisbi, dibatasi oleh konteks, waktu, dan pelaku,” ujarnya, menyitir contoh pepohonan di Cape Town yang justru merugikan lingkungan, meski secara umum pohon dianggap penyelamat bumi. Dalam dunia ilmu, katanya, bahkan satu matahari bisa memiliki banyak tafsir tergantung sudut pandangnya.

Di akhir orasi, Prof. Ifan menutup dengan refleksi eksistensial: manusia adalah entitas sementara yang kebenarannya tak pernah mutlak. “Dari satu fonem yang berbeda, kita belajar bahwa kebenaran pun bisa goyah. Kebenaran bukan milik tunggal, tapi milik konteks,” katanya.

Orasi ini bukan sekadar akademik, tapi tamparan halus yang menggugah kesadaran: pendidikan bukan tentang menghafal rumus, melainkan membuka ruang berpikir, mempertanyakan, dan meragukan. Jika pendidikan tak mampu mengasah kepekaan terhadap makna dan kebenaran, maka pendidikan telah gagal.

Continue Reading

Review

TA DPR, Ketika Pengangguran Jadi Ahli Parlemen

Tenaga Ahli DPR sering kali dipilih berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi. Mana pernah mereka paham soal kondisi real konstituen, sehingga mereka lebih tepat jadi follower bukan creator apalagi analis yang mampu melihat kondisi real lapangan.

Dila N Andara

Published

on

Moitorday.com – Berdasarkan Peraturan DPR RI Nomor 3 Tahun 2014, setiap anggota dewan berhak mendapatkan lima Tenaga Ahli (TA) dan dua staf administratif yang digaji dari uang negara. Tujuannya mulia: mendukung kerja-kerja legislasi, pengawasan, dan representasi politik. Namun di lapangan, praktiknya jauh dari ideal.

Alih-alih menjadi mitra strategis dalam merumuskan kebijakan atau menyusun analisis kebijakan publik, banyak TA justru tampil sebagai pengikut pasif, lebih sibuk mengatur jadwal pertemuan atau bahkan sekadar mendampingi anggota saat kunjungan kerja ke dapil tanpa kontribusi substantif. Sebagian besar tidak punya kapasitas menganalisis isu, memahami data, atau membaca peta politik. Mereka tidak lebih dari “penumpang resmi” dengan status mewah dan fasilitas negara.

Latar belakang penunjukan pun kerap tak jauh dari ikatan politis atau kedekatan personal. Mantan relawan kampanye, kawan lama, atau bahkan orang yang menganggur pasca-Pemilu, tiba-tiba menjelma sebagai Tenaga Ahli. Tak jarang tanpa latar belakang akademik atau pengalaman yang sesuai. Satu-satunya “keahlian” mereka hanyalah loyalitas pada sang anggota dewan, bukan pada rakyat, bukan pada ilmu, dan bukan pada tugas negara.

Padahal, secara teori, TA punya tugas vital: menyusun materi rapat, melakukan riset kebijakan, menganalisis revisi UU, hingga menyusun program legislasi. Mereka juga seharusnya menjadi penghubung penting antara rakyat di daerah pemilihan dan dewan yang mewakilinya. Tapi bagaimana mungkin itu bisa dijalankan, jika yang dipilih adalah mereka yang tidak pernah bersentuhan dengan konstituen atau tidak tahu-menahu isu publik?

Lebih menyedihkan lagi, tak sedikit dari mereka yang hanya mengandalkan portofolio sebagai mantan MC kampus, mantan aktivis musiman, atau malah tidak memiliki latar belakang organisasi sama sekali. Ketika ditugasi menyusun analisis kebijakan, mereka bungkam. Ketika diminta memberi masukan strategis, mereka absen. Namun, gaji tetap mengalir, fasilitas tetap dinikmati, dan jabatan tetap bergengsi.

Dengan kinerja semacam ini, keberadaan TA justru berpotensi merusak kualitas parlemen. Bagaimana tidak? Anggota DPR yang seharusnya mendapatkan masukan tajam dan cermat justru dikelilingi oleh para “yes man” dengan kompetensi minim. Kebijakan yang lahir dari lingkungan semacam ini tentu jauh dari aspirasi publik, dan hanya menguntungkan segelintir elite politik.

Kritik terhadap rekrutmen TA yang asal-asalan bukanlah hal baru. Tapi hingga kini, belum ada evaluasi serius dari DPR sendiri. Publik pun seolah dibiarkan pasrah melihat anggaran miliaran rupiah digelontorkan untuk membiayai para “ahli tanpa keahlian.” Ini bukan lagi soal kinerja, ini tentang pemborosan yang dilegalkan.

Sudah saatnya DPR RI membenahi sistem pengangkatan TA. Rekrutmen harus terbuka dan berbasis kompetensi, bukan sekadar balas budi politik. Jika tidak, maka lembaga legislatif ini akan terus dikelilingi oleh lingkaran tidak produktif yang justru menenggelamkan kualitas demokrasi kita.

Continue Reading

Review

President Macron: Linguistic Program Gains Global Spotlight

French President Emmanuel Macron praises UNJ’s applied linguistics program and invites students to study in France to strengthen cultural diplomacy.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – A sharp and notable expression of appreciation came from French President Emmanuel Macron for Universitas Negeri Jakarta (UNJ), particularly its Applied Linguistics Program.

During his visit, which carried strong diplomatic undertones, Macron did not hesitate to call the program “very impressive,” praising it as a frontrunner in strengthening cultural ties between Indonesia and France.

This statement was far from mere diplomatic pleasantry, it was a clear signal that the quality of higher education in Indonesia is beginning to attract attention from world leaders.

Macron highlighted that UNJ’s applied linguistics studies go beyond English, encompassing other strategically significant global languages, including French.

He emphasized that the presence of the French Language Education Program is a major asset in building bridges of communication and cultural cooperation.

“This is not just about learning a language—it’s about expanding cross-cultural understanding,” Macron remarked.

Beyond mere praise, Macron went a step further by extending a direct invitation to UNJ’s applied linguistics students to pursue their studies in France. This gesture opens wide the doors for Indonesia’s young generation to broaden their academic and cultural horizons in Europe, while simultaneously strengthening international networks.

This invitation also reflects France’s genuine commitment to deepening educational cooperation, more than just political rhetoric or ceremonial diplomacy.

From an international relations perspective, Macron’s gesture can be seen as a subtle strategy to expand France’s influence through the education sector.

By engaging foreign students, particularly from strategically important countries like Indonesia, France is indirectly fostering early ideological and cultural affinity.

In this context, UNJ plays a central role as a local partner capable of bridging two worlds: academia and diplomacy.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Review2 minutes ago

Prabowo dan Kejutan Politik dari Aceh

Review27 minutes ago

4 Pulau Aceh Telah di kembalikan, Tapi untuk Jabatan Mendagri?

Review1 hour ago

Aneh! Israel Serang Iran Duluan, tapi Netanyahu Bilang Teheran yang Jahat

Sportechment3 hours ago

Yolla Yuliana Resmi Pensiun di Timnas Voli Putri, AVC Nations Cup 2025 Jadi Laga Perpisahan

Ruang Sujud6 hours ago

Qital dan Jihad: Memahami Perbedaannya Secara Mendalam

News8 hours ago

Dedi Mulyadi Temui Mendikdasmen, Bahas Larangan PR-Pendidikan 12 Tahun

Ruang Sujud10 hours ago

Etika Perang dalam Islam: Larangan Melampaui Batas dalam Qital

Sportechment11 hours ago

Wuih! Saingi iPhone, Donald Trump Luncurkan Smartphone T1

News11 hours ago

Puluhan WNI Tertahan di 3 Negara Ini Gegara Konflik Iran-Israel

Sportechment12 hours ago

Dua Pemain Persib Bandung Dicoret dari TC Timnas U-23, Ini Alasannya

Ruang Sujud14 hours ago

Landasan Hukum Qital dalam Al-Qur’an dan Hadis

Ruang Sujud18 hours ago

Qital dalam Islam: Antara Pertahanan Diri dan Menegakkan Keadilan

News18 hours ago

Memanas! Iran Bombardir Kilang Minyak Terbesar Israel

Sportechment18 hours ago

Florian Wirtz Segera Merapat ke Liverpool, Pecahkan Rekor Transfer Liga Inggris

Sportechment19 hours ago

Kata-kata Enzo Maresca Usai Chelsea Bungkam LAFC

News20 hours ago

Iran Tegas Tolak Gencatan Senjata, Nyatakan Siap Perang Total dengan Israel

News20 hours ago

Saatnya Nelayan Jadi Penjaga Laut

Sportechment1 day ago

Alex Warren Gaet Rosé BLACKPINK di Single Terbaru “On My Mind”

Sportechment1 day ago

Wejangan Erick Thohir Usai Timnas Putri U-19 Dicukur Vietnam

News1 day ago

Kapal Induk USS Nimitz Bergerak ke Timteng Usai Kedubes AS di Israel Kena Hantam Rudal Iran