Monitorday.com – Ongkos haji di Indonesia memang menjadi topik yang tak pernah sepi dari perbincangan, dan yang lebih parah lagi, di balik angka fantastis yang harus dibayar oleh setiap calon jamaah, terselip sederet masalah yang semakin memperburuk kepercayaan publik.
Biaya yang terus melonjak setiap tahun, padahal tidak ada peningkatan signifikan dalam pelayanan, hanya menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat yang menginginkan untuk menjalankan rukun Islam yang mulia.
Alih-alih memberikan kemudahan, birokrasi yang ada justru menambah panjang deretan tantangan bagi mereka yang sudah mengeluarkan uang dan bertahun-tahun menunggu giliran.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Wahidin Halim, menyampaikan kekhawatiran masyarakat terkait kenaikan biaya haji 2025.
Wahidin mengaku menerima banyak keluhan dari warga yang menganggap kenaikan dari Rp53 juta menjadi Rp65 juta memberatkan, terutama di tengah situasi ekonomi yang belum pulih.
“Masyarakat yang biasanya mengandalkan penjualan tanah untuk biaya haji kini kesulitan, karena tanah mereka tidak laku terjual,” kata mantan Wali Kota Kota Tangerang ini.
Tak hanya soal biaya yang membengkak, antrian haji yang memanjang seakan menjadi simbol betapa negara ini lebih peduli pada profit daripada kebutuhan masyarakatnya. Jika kita berbicara soal antrian yang berlangsung puluhan tahun, itu adalah cermin nyata betapa pemerintah telah gagal memberikan perhatian yang layak terhadap warganya yang ingin menjalankan ibadah dengan penuh ketenangan. Calon jamaah haji seakan menjadi objek bisnis, di mana mereka harus menunggu bertahun-tahun dalam kesulitan untuk memenuhi panggilan Tuhan. Padahal, mereka sudah membayar jauh sebelumnya, berharap mendapatkan kemudahan, bukan malah dipersulit.
Di balik itu semua, skandal yang melibatkan berbagai pihak terkait penyelenggaraan haji di Indonesia juga menambah ironi. Praktik korupsi yang menggerogoti dana haji dan pengaturan yang tidak transparan semakin memperburuk citra pemerintah dan lembaga yang seharusnya mengelola dengan baik dana umat. Ironisnya, para pejabat dan pengusaha terkait justru hidup dengan kemewahan yang tidak sebanding dengan penderitaan para calon jamaah yang dipaksa menunggu dalam sistem yang kacau ini. Uang yang mereka keluarkan seakan menjadi taruhan untuk bisa mendapatkan kursi dalam perjalanan suci, namun seringkali harus menghadapi proses yang lebih banyak menguntungkan pihak tertentu.
Dan akhirnya, yang paling memprihatinkan adalah kenyataan bahwa calon jamaah haji yang sudah menghabiskan banyak waktu dan uang mereka, tetap harus menunggu dengan harapan kosong. Meskipun sudah mengantri bertahun-tahun, mereka masih harus berhadapan dengan birokrasi yang menambah beban. Inilah gambaran nyata bahwa perjalanan ibadah haji di Indonesia tidak hanya menjadi sebuah momen religius, tetapi juga sebuah perjalanan yang penuh penderitaan, ketidakpastian, dan ketidakadilan. Birokrasi yang seharusnya mempermudah justru malah memperparah, menjadikan haji sebagai mimpi yang semakin jauh dari jangkauan.