Monitorday.com – Peneliti dari Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef, Dhenny Yuartha, mengungkapkan bahwa sektor teknologi yang terlibat dalam transisi menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) memiliki potensi untuk memicu “greenflation” atau inflasi hijau di Indonesia. Hal ini terutama terkait dengan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dimana sebagian besar komponennya masih diimpor.
Dhenny menyampaikan pernyataannya dalam diskusi publik “Tanggapan Indef atas Debat Keempat” yang diadakan secara virtual di Jakarta pada Senin. Ia menyebut bahwa barang-barang teknologi, seperti panel surya, menjadi potensi pemicu greenflation karena masih banyak diimpor.
“Mungkin greenflation ini akan muncul dari barang-barang teknologi seperti solar panel. Solar panel ini kan kita masih impor untuk teknologi-teknologi tersebut,” kata Dhenny.
Tidak hanya PLTS, teknologi lain yang terkait dengan transisi EBT di Indonesia juga masih mengandalkan komponen impor. Situasi ini dapat berdampak pada inflasi, terutama karena Indonesia masih memberlakukan tarif impor yang cukup tinggi untuk barang atau teknologi ramah lingkungan.
“Inflasi hijau” merujuk pada kenaikan harga barang-barang ramah lingkungan sebagai dampak dari upaya transisi hijau. Dhenny mengatakan bahwa inflasi hijau di Indonesia belum menjadi isu yang perlu dikhawatirkan saat ini, mengingat target transisi energi Indonesia masih belum mencapai tingkat yang maksimal.
“Tapi kalau kita lihat targetnya (transisi energi RI) sebenarnya nggak terlalu ambisius ya. Target renewable energy-nya. Jadi greenflation sebenernya belum jadi isu untuk kasus di Indonesia,” jelasnya.
Pada debat keempat Pilpres 2024, cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, menanyakan strategi mengatasi inflasi hijau kepada cawapres nomor urut 3, Mahfud Md. Dhenny menilai bahwa contoh yang diberikan oleh Gibran mengenai demo rompi kuning di Prancis kurang relevan untuk Indonesia, mengingat perbedaan situasi dan sumber daya energi terbarukan.