News
Indonesia Harus Contoh Desa di China Untuk Kembangkan Energi Hijau
Published
6 months agoon
Monitorday.com – Desa Zhuangshang, dengan 233 rumah tangga yang mayoritas terdiri dari warga paruh baya dan lanjut usia yang telah bekerja sebagai petani sepanjang hidup mereka, berhasil meraih penghargaan Energy Transition Changemaker pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP28) di Dubai tahun lalu.
Rizqal Ramadhan, mahasiswa Indonesia di Universitas Shanxi, melakukan kunjungan khusus ke desa yang terletak di Ruicheng, Provinsi Shanxi, China, untuk mengetahui lebih lanjut. Menurut Rizqal, yang membedakan Zhuangshang dari desa-desa lain di China adalah banyaknya panel fotovoltaik yang terpasang di atap rumah dan ruang terbuka.
Lima tahun lalu, Chen Wenbo, presiden sebuah perusahaan listrik, memulai proyek percontohan teknologi di Zhuangshang, kampung halamannya. Proyek ini memasang sistem distribusi PEDF untuk 27 rumah tangga, menjadikan mereka penduduk desa nol karbon pertama yang menggunakan elektrifikasi penuh untuk memasak, pemanasan, dan transportasi.
“Ini adalah modul pemadam busur api yang dipasang pada sistem distribusi fotovoltaik (PV), penyimpanan energi, arus searah (DC), dan fleksibilitas (PEDF) yang memastikan penggunaan DC yang aman,” jelas Chen.
Sistem distribusi PEDF memungkinkan setiap rumah memasang panel PV di atap untuk menyediakan listrik bagi peralatan rumah tangga. Meski teknologi ini terdengar rumit, penggunaannya tidak menyulitkan penduduk desa lanjut usia.
Bagi Zhang Baomin yang berusia 60-an tahun, semua perangkat listriknya, termasuk lampu, televisi, dan sepeda roda tiga, menggunakan listrik DC dari tenaga fotovoltaik. Ia juga mengisi daya mesin pemotong rumput dan gunting pertanian dari baterai sepeda roda tiganya.
Proyek ini mampu menghemat 800 ton batu bara standar setiap tahun, menghemat 7.700 ton air, mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 2.450 ton, dan mengurangi emisi jelaga sebanyak 4,46 ton.
“Sekarang, biaya operasional sepeda roda tiga listrik hanya sekitar 2 yuan, jauh lebih murah daripada sepeda roda tiga diesel,” kata Zhang kepada Rizqal.
Saat ini, 71 rumah tangga di Zhuangshang memiliki pembangkit listrik fotovoltaik dengan kapasitas total 2 megawatt (MW), dan lebih dari 160 rumah tangga lainnya akan berpartisipasi dalam proyek ini pada 2027.
Model transformasi energi Zhuangshang diakui di COP28, menonjol di antara lebih dari 2.000 proyek global dan menjadi salah satu dari 39 proyek yang meraih penghargaan Energy Transition Changemaker.
China telah mengembangkan rantai teknologi lengkap dari sistem distribusi PEDF, dengan lebih dari 100 proyek di kota dan 26 proyek terkait di pedesaan yang sedang dalam tahap perundingan.
Rizqal berpendapat bahwa model Zhuangshang dapat diterapkan di Indonesia, terutama di wilayah kepulauan yang jarang penduduknya, sulit transportasi, dan minim sumber daya minyak dan gas.
Chen Wenbo mengungkapkan bahwa banyak daerah di Indonesia cocok untuk sistem distribusi PEDF, mengingat sinar matahari efektif di Zhuangshang adalah 1.200 jam per tahun, sedangkan di Indonesia bisa mencapai 1.800 jam.
Dalam beberapa tahun terakhir, kedua negara telah memperdalam kerja sama di bidang infrastruktur dan pembangunan hijau. Pernyataan bersama yang dikeluarkan tahun lalu menekankan dukungan China terhadap kerja sama dengan Indonesia dalam investasi, teknologi, dan penelitian di bidang transisi energi.
“Keberhasilan sistem PEDF di Shanxi memberikan ide-ide baru bagi pembangunan hijau di Indonesia, dan saya berharap teknologi ini dapat membantu transformasi energi di Indonesia,” ujar Rizqal.