Monitorday.com – Direktorat Jenderal Perlindungan Warga Negara Indonesia (Ditjen Perlindungan WNI) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, bersama perwakilan Indonesia di luar negeri, berhasil menyelamatkan 19 WNI dari ancaman hukuman mati sepanjang tahun 2023.
Hal ini diungkapkan oleh Dirjen Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha, pada sosialisasi Keputusan Menlu Tahun 2024 tentang pedoman pendampingan WNI yang terancam hukuman mati, Kamis (20/6).
“Tahun lalu Kementerian Luar Negeri dan perwakilan RI, Alhamdulillah telah mampu menyelamatkan warga negara kita dari ancaman hukuman mati untuk 19 kasus,” ujar Judha Nugraha.
Namun, ia juga mengungkapkan adanya penambahan 29 kasus baru WNI yang menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri pada tahun yang sama, sehingga diperlukan langkah-langkah komprehensif.
“Jadi, 19 kasus kita selesaikan, namun di tahun yang sama justru penambahan kasusnya 29. Nah inilah ingin kami tekankan betapa langkah perlindungan itu harus komprehensif, bukan hanya sekadar penanganan kasus, namun juga langkah-langkah pencegahan dari hulu,” tambahnya.
Judha menekankan pentingnya langkah-langkah pencegahan, termasuk pemberian informasi mengenai hukum dan adat istiadat negara setempat untuk mencegah kasus hukuman mati.
“Sosialisasi ini juga membahas bagaimana langkah-langkah pencegahan, pemberian informasi mengenai hukum negara setempat, dan adat istiadat negara setempat itu sangat penting untuk bisa mencegah kasus-kasus hukuman mati. Tantangan kita juga terkait dengan peningkatan tambahan kasus baru,” ujarnya.
Salah satu upaya pencegahan adalah meningkatkan kesadaran calon pekerja migran Indonesia agar melakukan migrasi yang aman dengan informasi hukum negara setempat.
“Kami menekankan bahwa ketika berangkat harus melalui prosedur pemberangkatan, dan sebelumnya harus mengetahui informasi mengenai hukum, adat istiadat negara setempat, serta apa tindak pidana yang dapat berujung pada ancaman hukuman mati,” katanya.
Saat ini, Kemlu RI mencatat terdapat 165 WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri, dengan mayoritas kasus berada di Malaysia (155 kasus), disusul Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Laos masing-masing tiga kasus, serta satu kasus di Vietnam.