Monitorday.com – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menginginkan agar Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy’ari, dijatuhi sanksi seberat-beratnya oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI jika terbukti melakukan pelanggaran.
Pernyataan ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy, menjelang sidang putusan dugaan asusila Hasyim yang akan digelar oleh DKPP RI pada Rabu (3/7).
“Kalau secara administratif, ya diberhentikan secara tetap, karena dia tidak memberikan contoh yang baik,” ujar Olivia di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (1/7).
Menurut Olivia, pemberian sanksi berat sangat penting untuk mencegah terjadinya preseden buruk di kalangan komisioner KPU RI maupun KPU di tingkat daerah.
Ia menekankan bahwa tidak boleh ada impunitas untuk pelanggaran semacam ini, agar tidak ada pihak yang merasa kebal hukum.
“Di KPU-KPU daerah lainnya juga melakukan hal yang sama, misalkan, kemudian ada yang, ‘oh yang ini, yang pusat aja enggak kena’. Jadi, daerah ada pembanding. Jadi, tidak boleh ada impunitas. Itu yang penting sebenarnya,” tegasnya.
Olivia juga menjelaskan bahwa jika terbukti melanggar, Hasyim dapat dikenakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Menurutnya, korban bisa melaporkan Hasyim berdasarkan UU TPKS untuk memberikan efek jera, terutama karena Hasyim merupakan tokoh publik yang memiliki pengaruh besar di masyarakat.
“Supaya ada efek jera. Masalahnya dia tokoh, pejabat publik, yang tentu punya dampak yang besar buat masyarakat. Lalu, bagaimana masyarakat menilai hukum negara kita terhadap seorang tokoh? Apakah kemudian dibilang tumpul ke atas, tajam ke bawah? Kita menghindari hal-hal seperti itu,” ujarnya.
Hasyim Asy’ari sebelumnya dilaporkan ke DKPP RI oleh Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH-PPS FH UI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) pada Kamis, 18 April 2024.
Kuasa hukum korban menyatakan bahwa tindakan Hasyim termasuk pelanggaran kode etik berdasarkan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum. Mereka menuduh Hasyim memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi guna memuaskan hasrat seksualnya terhadap korban.
Hasyim telah menjalani persidangan pertama pada Rabu (22/5) yang berakhir sekitar pukul 17.15 WIB, dan persidangan kedua atau terakhir pada Kamis (6/6) yang selesai pada pukul 12.45 WIB.