News
Melalui Tukar Tutur Sastra, HISKI Wadahi Dialog Kesusastraan Indonesia
Published
3 hours agoon
By
Natsir AmirMonitorday.com – Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI), di bawah Nahkoda Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum, terus menunjukkan dedikasinya dalam memajukan dunia sastra Indonesia. Sebagai organisasi yang menjadi rumah bagi para akademisi dan pecinta sastra, HISKI konsisten menggelar kegiatan-kegiatan yang berdampak besar bagi pengembangan kesusastraan.
Kegiatan tersebut tidak hanya mencakup diskusi dan seminar, tetapi juga kajian mendalam terhadap sastra daerah yang seringkali terabaikan. Langkah ini menjadi upaya konkret dalam mendokumentasikan kekayaan budaya Nusantara sekaligus membangun dialog antara tradisi dan modernitas dalam sastra Indonesia.
Di pertemuan ke 11, HISKI menggelar Tukar Tutur Sastra (TTS) dengan menghadirkan Dr. I Wayan Atika M.Hum (HISKI Bali), Dr. Aleda Mawane, M.Pd (HISKI Papua), Dr. Fachria Y Marsabesy (HISKI Maluku Utara) dan kegiatan ini pun di moderatori oleh Dr. Endah Imawati, M.Pd pada Sabtu, 16 November 2024.
Sebagai peserta dari event ini, saya menilai HISKI memberikan ruang yang luas bagi para akademisi untuk mencurahkan gagasan monumental mereka, membawa perspektif unik yang menggambarkan keberagaman sastra Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
Bagi saya yang merupakan mahasiswa Prof. Novi, sangat kagum dengan akademisi-akademisi di HISKI yang mengangkat isu-isu penting seperti pelestarian sastra daerah, relevansi sastra dalam pendidikan, hingga peran sastra dalam membentuk identitas bangsa.
Saya menelaah paparan Dr. Aleda Mawane yang penuh semangat menyoroti dinamika tradisi lisan masyarakat Lani yang kaya dan penuh makna. Tradisi ini menjadi salah satu bentuk ekspresi budaya yang tak hanya merefleksikan identitas, tetapi juga menjadi sarana transfer pengetahuan antar-generasi. Lantunan-lantunan lisan masyarakat Lani sering kali berisi cerita asal-usul, mitos, nilai-nilai sosial, hingga panduan praktis untuk hidup selaras dengan alam. Dalam konteks masyarakat Papua yang sebagian besar masih mengandalkan komunikasi oral, tradisi lisan ini memiliki peran strategis sebagai penyambung sejarah dan memori kolektif.
Keberkesanan tradisi lisan masyarakat Lani, menurut Dr. Mawane, terletak pada sifatnya yang adaptif dan kontekstual. Lantunan-lantunan ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai alat pendidikan. Melalui cerita dan nyanyian, nilai-nilai moral, tata krama, dan kearifan lokal disampaikan dengan cara yang menarik dan mudah dipahami.
Begitupun dengan elaborasi Dr. Facria Y Marasabessy yang mengungkap tradisi lisan, kabata tidore.
Dr. Facria Y. Marasabessy telah memberikan kontribusi penting dalam mengungkap tradisi lisan Kabata, sebuah warisan budaya masyarakat Tidore yang sarat makna filosofis. Kabata adalah bentuk seni tutur yang digunakan untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan, sejarah, hingga ajaran moral masyarakat setempat. Dalam tradisi ini, kisah-kisah disampaikan secara naratif dan puitis, menggunakan bahasa yang kaya dengan metafora dan simbolisme.
Dr. Facria menyoroti bagaimana Kabata tidak hanya menjadi alat komunikasi antar generasi, tetapi juga menjadi sarana pelestarian identitas dan kebijaksanaan lokal, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari keberlanjutan budaya Tidore.
Kajian Dr. Facria menunjukan bahwa Kabata tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga alat refleksi filosofis yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Namun, tantangan terbesar yang diungkap Dr. Facria adalah keberlanjutan tradisi ini di tengah perubahan zaman. Generasi muda Tidore semakin jarang mendalami Kabata, karena dominasi budaya populer dan teknologi digital. Dalam analisisnya, Dr. Facria menekankan pentingnya revitalisasi tradisi lisan ini, baik melalui pendidikan formal maupun informal, serta penggunaan media digital untuk mendokumentasikan dan mempopulerkan Kabata.
Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya bisa bertahan tetapi juga berkembang, menjadi inspirasi bagi masyarakat modern tanpa kehilangan esensi filosofisnya.
Kemudian, kajian pariwisata sastra yang dilakukan oleh Dr. I Wayan Atika, M. Hum dari HISKI Bali yang menunjukkan hubungan erat antara sastra, sejarah, dan perkembangan pariwisata di Bali. Dalam konteks ini, sastra bukan hanya merupakan produk budaya tetapi juga medium untuk memahami dan mempromosikan Bali secara lebih mendalam.
Kehadiran tokoh seperti K’tut Tantri, yang menulis Revolusi di Nusa Damai, dan Charlie Chaplin, yang pernah tinggal di salah satu hotel pertama di Bali, menggarisbawahi peran penting narasi sastra dan sejarah dalam membangun daya tarik pariwisata Bali. Kisah mereka tidak hanya menggambarkan daya tarik eksotis Bali pada masanya tetapi juga memperkuat imaji Bali sebagai tempat persinggahan artistik dan budaya.
Namun, ironisnya, pariwisata modern di Bali cenderung mengabaikan “hulu” budaya, yaitu sastra. Wisatawan sering kali hanya menjelajahi permukaan Bali—pantai, tarian, dan pemandangan alam—tanpa menyentuh kekayaan sastra yang menjadi dasar dari banyak seni dan tradisi lokal.
Singaraja, sebagai bekas pusat administrasi kolonial dan kawasan kaya sejarah sastra, menyimpan potensi besar untuk pariwisata berbasis literasi. Namun, tempat ini kurang diintegrasikan ke dalam rencana perjalanan wisatawan. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan pariwisata yang lebih holistik dan menghargai budaya literasi sebagai bagian dari pengalaman Bali.
Sastra memiliki kemampuan untuk menghidupkan kembali masa lalu dan membawa pemahaman yang mendalam terhadap identitas lokal. Menghidupkan kembali narasi-narasi sastra dalam pariwisata Singaraja dapat menjadi langkah strategis untuk memperluas daya tarik Bali.
Misalnya, wisata sastra yang menghubungkan cerita K’tut Tantri atau Charlie Chaplin dengan lokasi-lokasi bersejarah dapat memberikan dimensi baru pada pengalaman wisata. Dengan demikian, pariwisata sastra tidak hanya akan memperkaya pengalaman wisatawan tetapi juga memberikan penghormatan kepada karya sastra dan sejarah yang telah membentuk Bali seperti yang dikenal dunia hari ini.
Dr. Endah Imawati sebagai moderator dalam diskusi ini, telah berhasil menciptakan suasana yang dinamis dan interaktif, sehingga setiap peserta merasa terdorong untuk berpartisipasi aktif. Dr. Endah mampu memandu alur diskusi dengan baik, menjaga fokus pada tema utama, sekaligus memberikan ruang yang cukup bagi setiap pembicara untuk mengemukakan pandangannya.
Keterampilannya dalam merangkum poin-poin penting dan menyambungkan ide-ide yang beragam menjadi nilai tambah yang memperkaya diskusi.
Izinkan saya mengakhiri pandangan soal Tukar Tutur Sastra ini bahwa kegiatan-kegiatan HISKI telah menjadi wadah apresiasi terhadap karya-karya sastra yang lahir dari berbagai penjuru Indonesia. Dengan mengangkat karya-karya lokal, HISKI turut mendorong regenerasi dalam dunia sastra.
Semoga kepemimpinan Prof. Novi membawa HISKI menuju arah yang lebih maju, tidak hanya sebagai organisasi akademis tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai kebudayaan. Dengan konsistensi dan komitmennya, HISKI telah menjadi mercusuar yang menerangi kekayaan sastra Indonesia.
M. Natsir Amir
Penikmat Filsafat Kopi