News
Lempar Handuk: Petahana Meringis di Pilkada 2024
Published
59 minutes agoon
By
Natsir AmirMonitorday.com –Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 yang digelar pada Rabu, 27 November, menyisakan sebuah cerita dramatis yang penuh warna dan dinamika.
Seperti sebuah lukisan hidup yang tak mudah diprediksi, proses demokrasi ini menunjukkan bahwa meski segalanya sudah dipersiapkan dengan begitu matang, sebut saja dana seperti amplop dengan Rp. 10.000 hingga Rp. 300.000 , logistik, dan dukungan partai politik.
Terlepas dari murahnya suara rakyat dan kondisi pemilih yang pragmatis tanpa memikirkan siapa yang mereka pilih, namun tak ada yang bisa benar-benar mengendalikan takdir suara rakyat. Itulah fakta bre (sebutan anak-anak saat ini).
Ada yang memenangkan hati, ada pula yang jatuh seketika setelah berusaha keras meraih suara. Inilah indahnya demokrasi: kadang penuh kejutan dan tak terduga.
Di balik hiruk-pikuk kemenangan dan kekalahan, kita bisa mencatat sebuah fenomena menarik: kebanyakan petahana tumbang.
Di Kabupaten Kebumen, pasangan petahana Arif-Rista terjungkal setelah bersaing ketat dengan pasangan lain. Perolehan suara mereka merosot tajam di hampir seluruh kecamatan, menyisakan secercah kekecewaan yang tak terhindarkan.
Begitu pula di Kabupaten Indramayu, Nina Agustina, yang semula diharapkan dapat meraih kemenangan dengan predikat sang ayah, Da’i Bachtiar, justru harus menerima kenyataan pahit saat suara mendalam dan merosot drastis.
Peraih suara terbanyak hingga saat ini justru berpihak pada pasangan Lucky Hakim-Syaefudin dengan angka yang luar biasa, 68,25%.
Tentu, ini menjadi pertanda bahwa rakyat tak terikat pada nama besar atau garis keturunan; mereka lebih memilih pemimpin yang mampu memberikan harapan dan perubahan nyata.
Demikian pula di Kota Cirebon, pasangan Effendi Edo-Siti Farida unggul dengan persentase yang signifikan, membuktikan bahwa perubahan masih sangat dinantikan oleh masyarakat.
Hasil quick count yang menunjukkan mereka meraih 44,02% suara semakin memperkuat keyakinan bahwa meski nama besar petahana cukup dominan, tak ada yang bisa mengalahkan semangat perubahan yang dibawa oleh pasangan baru.
Tak kalah seru adalah Pilkada Majalengka, di mana pasangan Eman-Dena unggul dengan perolehan suara yang cukup signifikan, 64,28%, mengalahkan petahana Karna Sobahi yang harus puas dengan 35,19%. Semua ini menggambarkan bagaimana dinamika Pilkada yang tak bisa dijadikan patokan pasti, dengan suara rakyat yang terus bergerak mengikuti irama politik yang ada.
Sementara itu, di Kabupaten Kuningan, meski petahana Muhammad Ridho Suganda (Ridhokan) sempat mengharapkan kemenangan, data penghitungan cepat menunjukkan bahwa pasangan Dirahmati (Dian Rahmat Yanuar-Tuti) berhasil meraih angka mayoritas dengan 54,55%.
Angka ini mencerminkan harapan baru yang berkembang di tengah masyarakat yang mendambakan pemimpin yang mampu mengubah wajah daerah mereka.
Sedangkan di Lampung, tak sedikit petahana yang harus menerima kenyataan pahit. Sebut saja pasangan Arinal-Sutono yang harus menyerah pada pasangan Rahmat Mirzani Djausal-Jihan Nurlela di Pilgub, serta di beberapa kabupaten lain seperti Lampung Selatan dan Tulang Bawang, di mana petahana juga kalah berdasarkan hasil hitung cepat.
Keseluruhan hasil Pilkada ini menegaskan sebuah pelajaran penting: rakyat memiliki suara yang tak bisa diabaikan.
Sambil menikmati kopi yang hangat, saya ingin sampaikan bahwa rakyat itu memilih berdasarkan harapan, bukan sekadar nama besar atau kekuatan politik yang lebih dominan. Ini adalah cermin dari perjalanan demokrasi yang tak terduga, penuh kejutan, dan tentu saja, penuh makna.