News
PPN Naik 12 %, Optimisme yang Meresahkan
Published
1 hour agoon
By
N Diana SariMonitorday.com – Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang selama ini berada di angka 11 persen, akan mengalami kenaikan menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Bagi sebagian besar masyarakat, ini bukan sekadar angka, tetapi sebuah kenyataan yang akan semakin memeras kantong mereka.
Bayangkan, sebuah barang seharga Rp5 juta yang sebelumnya dibayar Rp5,55 juta kini akan menuntut Rp5,6 juta. Penambahan Rp50 ribu itu, meskipun tampak kecil, adalah representasi dari sebuah sistem ekonomi yang terus merangkak naik dengan harapan yang semakin mengecil bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.
Di satu sisi, keputusan untuk menaikkan PPN ini terlihat seperti langkah yang tak terhindarkan untuk meningkatkan pendapatan negara. Di tengah tingginya pengangguran dan lemahnya daya beli masyarakat, pajak dianggap sebagai salah satu solusi utama untuk menutup defisit anggaran.
Namun, di sisi lain, kenaikan ini bukan hanya soal angka, tetapi lebih kepada dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang sudah terhimpit oleh kesulitan ekonomi, kini harus merogoh kocek lebih dalam hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, yang tidak terhindarkan dari dampak inflasi.
Apa yang terjadi di balik angka PPN ini adalah gambaran nyata dari kebijakan fiskal yang semakin melebarkan jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Mereka yang berada di lapisan menengah ke bawah tentu akan merasakan dampak yang lebih signifikan. Sebuah pembelian sederhana, seperti membeli pakaian atau elektronik, akan menjadi lebih mahal. Meski tidak ada perubahan signifikan dalam harga barang itu sendiri, namun setiap transaksi menjadi beban yang lebih berat.
Sementara itu, kelas atas yang memiliki daya beli lebih besar mungkin hanya akan melihat kenaikan ini sebagai angka yang tidak terlalu berarti.
Seiring dengan meningkatnya angka pengangguran, masyarakat yang sudah kesulitan mencari pekerjaan akan semakin terperangkap dalam lingkaran kemiskinan. Bagi mereka yang tidak mampu memperoleh penghasilan tetap, setiap kenaikan harga, termasuk PPN, akan menjadi tantangan berat.
Tidak hanya sekadar menaikkan harga barang, tetapi juga memperburuk kualitas hidup mereka yang sudah terpuruk. Sehingga, kenaikan PPN ini, meskipun mungkin menjadi solusi bagi pendapatan negara, tetap harus dilihat dengan hati-hati karena dapat memperburuk keadaan ekonomi masyarakat kelas bawah.
Kenaikan tarif PPN yang tiba-tiba ini juga memunculkan pertanyaan besar tentang keadilan sosial dalam kebijakan fiskal. Ketika pajak yang dikenakan pada barang dan jasa semakin tinggi, apakah pemerintah telah memikirkan kesejahteraan rakyat yang semakin terdesak?
Pada saat yang sama, sektor yang rentan terhadap inflasi dan kenaikan harga adalah mereka yang mengandalkan pengeluaran konsumtif sehari-hari. Bagi mereka yang hidup dengan upah minimum atau mereka yang bekerja serabutan, kenaikan ini bisa menguras sisa-sisa pendapatan yang ada.
Dengan mengandalkan PPN sebagai sumber utama penerimaan negara, pemerintah harus mampu memastikan bahwa sektor-sektor yang memang membutuhkan perlindungan, seperti sembako dan barang kebutuhan pokok, tidak terkena dampaknya.
Sebab, kenaikan PPN pada barang-barang tersebut akan semakin menggerogoti daya beli masyarakat yang berada di garis kemiskinan. Sebuah kebijakan pajak yang tidak tepat sasaran hanya akan memperburuk ketidaksetaraan dan menambah penderitaan bagi mereka yang sudah kesulitan.
Di sisi lain, angka pengangguran yang tinggi di Indonesia menjadi paradoks dalam kebijakan ini. Ketika pemerintah menaikkan tarif PPN, di satu sisi mereka berharap untuk mendapatkan tambahan pendapatan, namun di sisi lain mereka mengabaikan kenyataan pahit bahwa banyak rakyat yang tidak memiliki pekerjaan tetap atau pendapatan yang memadai.
Ketika banyak orang terpaksa berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, kebijakan pajak yang berat justru memperburuk ketidakpastian masa depan mereka.
Kebijakan pajak ini, meski secara teknis bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah untuk mengevaluasi ulang sistem ekonomi yang ada.
Tanpa langkah yang komprehensif untuk menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan memastikan distribusi kekayaan yang lebih merata, kebijakan semacam ini hanya akan memperburuk ketimpangan sosial. Setiap kebijakan fiskal harus dibarengi dengan kebijakan sosial yang memperhatikan kebutuhan dasar rakyat, terutama mereka yang termarjinalkan.
Kenaikan tarif PPN adalah simbol dari sebuah sistem yang lebih mengutamakan stabilitas fiskal daripada stabilitas sosial. Jika hanya mengandalkan pajak untuk menutupi kekurangan anggaran, sementara di sisi lain pengangguran terus merajalela, maka negara tidak akan mampu keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, kita perlu kebijakan yang lebih inklusif, yang tidak hanya berfokus pada angka-angka di atas kertas, tetapi juga pada kualitas hidup rakyat yang semakin sulit.