Ruang Sujud
Dampak Buruk Perilaku Malas: Mengapa Etos Kerja Penting untuk Kesuksesan

Published
4 months agoon
By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Perilaku malas adalah salah satu masalah yang sering dihadapi oleh individu dalam berbagai aspek kehidupan, baik di lingkungan pribadi, pendidikan, maupun profesional. Meskipun terkadang dianggap sepele, sikap malas dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap pencapaian tujuan dan kesuksesan seseorang. Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai dampak buruk dari perilaku malas, pentingnya etos kerja, serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasi kemalasan dan membangun etos kerja yang kuat.
Dampak Buruk Perilaku Malas
- Menurunnya Produktivitas
Salah satu dampak paling jelas dari perilaku malas adalah menurunnya produktivitas. Ketika seseorang malas, mereka cenderung menghindari tugas-tugas yang perlu diselesaikan, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan penundaan dan ketidakselesaian pekerjaan. Dalam konteks profesional, hal ini dapat menyebabkan proyek yang tertunda, kehilangan peluang, dan bahkan dapat merugikan reputasi individu di tempat kerja. Di lingkungan pendidikan, siswa yang malas mungkin mengalami kesulitan dalam mencapai prestasi akademis yang baik, yang dapat mempengaruhi masa depan mereka.
- Kehilangan Peluang
Perilaku malas sering kali mengakibatkan kehilangan peluang berharga. Dalam dunia yang kompetitif, individu yang tidak mau berusaha keras untuk mencapai tujuan mereka akan tertinggal. Misalnya, seseorang yang malas dalam mencari pekerjaan mungkin melewatkan kesempatan untuk mendapatkan posisi yang diinginkan. Begitu juga, siswa yang malas dalam belajar mungkin kehilangan kesempatan untuk mendapatkan beasiswa atau masuk ke perguruan tinggi yang diinginkan. Kehilangan peluang ini dapat memiliki dampak jangka panjang pada karir dan kehidupan seseorang.
- Dampak Negatif pada Kesehatan Mental
Perilaku malas juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental. Ketika seseorang terus-menerus menghindari tanggung jawab dan tugas, mereka mungkin merasa cemas atau stres karena pekerjaan yang menumpuk. Rasa bersalah dan penyesalan yang muncul akibat kemalasan dapat menyebabkan perasaan rendah diri dan depresi. Selain itu, kurangnya aktivitas fisik yang sering kali menyertai perilaku malas dapat berkontribusi pada masalah kesehatan fisik, seperti obesitas dan penyakit jantung.
- Pengaruh Terhadap Hubungan Sosial
Kemalasan juga dapat mempengaruhi hubungan sosial seseorang. Individu yang malas mungkin cenderung menghindari interaksi sosial atau tidak berkontribusi dalam kegiatan kelompok. Hal ini dapat menyebabkan ketegangan dalam hubungan dengan teman, keluarga, atau rekan kerja. Ketika orang lain merasa bahwa mereka harus mengambil alih tanggung jawab yang seharusnya dibagi, rasa frustrasi dan ketidakpuasan dapat muncul, yang pada akhirnya dapat merusak hubungan.
Pentingnya Etos Kerja
Etos kerja adalah sikap dan nilai yang mendorong individu untuk bekerja keras, bertanggung jawab, dan berkomitmen terhadap tugas dan tanggung jawab mereka. Memiliki etos kerja yang kuat sangat penting untuk mencapai kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan. Berikut adalah beberapa alasan mengapa etos kerja sangat penting:
- Meningkatkan Produktivitas
Individu yang memiliki etos kerja yang baik cenderung lebih produktif. Mereka memahami pentingnya menyelesaikan tugas tepat waktu dan berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam setiap pekerjaan. Dengan meningkatkan produktivitas, individu dapat mencapai tujuan mereka lebih cepat dan lebih efisien.
- Membuka Peluang
Etos kerja yang kuat dapat membuka banyak peluang. Individu yang dikenal sebagai pekerja keras dan berdedikasi lebih mungkin mendapatkan promosi, penghargaan, atau kesempatan untuk terlibat dalam proyek-proyek penting. Dalam dunia pendidikan, siswa yang menunjukkan etos kerja yang baik sering kali mendapatkan pengakuan dari guru dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler.
- Membangun Kepercayaan Diri
Ketika seseorang bekerja keras dan mencapai tujuan mereka, rasa percaya diri mereka akan meningkat. Keberhasilan yang dicapai melalui kerja keras memberikan kepuasan dan motivasi untuk terus berusaha. Rasa percaya diri ini sangat penting dalam menghadapi tantangan dan kesulitan di masa depan.
- Meningkatkan Kualitas Hubungan Sosial
Individu yang memiliki etos kerja yang baik cenderung lebih dihargai oleh orang lain. Ketika seseorang berkontribusi secara aktif dalam kelompok atau tim, mereka membangun hubungan yang lebih baik dengan rekan-rekan mereka. Rasa saling menghargai dan dukungan dalam hubungan sosial dapat menciptakan lingkungan yang positif dan produktif.
Mengatasi Kemalasan dan Membangun Etos Kerja
Untuk mengatasi kemalasan dan membangun etos kerja yang kuat, ada beberapa langkah yang dapat diambil:
- Tetapkan Tujuan yang Jelas
Menetapkan tujuan yang jelas dan terukur dapat membantu individu tetap fokus dan termotivasi. Dengan memiliki tujuan yang spesifik, seseorang dapat merencanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapainya. Tujuan yang realistis dan dapat dicapai akan memberikan rasa pencapaian yang mendorong individu untuk terus berusaha.
- Buat Rencana Kerja
Membuat rencana kerja yang terstruktur dapat membantu individu mengatur waktu dan sumber daya dengan lebih baik. Dengan merencanakan tugas-tugas harian atau mingguan, seseorang dapat menghindari penundaan dan memastikan bahwa mereka tetap berada di jalur yang benar untuk mencapai tujuan mereka.
- Temukan Sumber Motivasi
Menemukan sumber motivasi yang tepat dapat membantu individu tetap bersemangat dalam bekerja. Ini bisa berupa dukungan dari teman, keluarga, atau mentor, atau bahkan membaca buku dan artikel yang menginspirasi. Ketika seseorang merasa termotivasi, mereka cenderung lebih berkomitmen untuk bekerja keras.
- Praktikkan Disiplin Diri
Disiplin diri adalah kunci untuk mengatasi kemalasan. Membangun kebiasaan baik, seperti menetapkan waktu tertentu untuk bekerja dan menghindari gangguan, dapat membantu individu tetap fokus. Dengan melatih disiplin diri, seseorang dapat mengembangkan etos kerja yang kuat dan mengurangi perilaku malas.
- Rayakan Keberhasilan Kecil
Merayakan keberhasilan kecil dapat memberikan dorongan positif dan meningkatkan motivasi. Ketika seseorang mencapai langkah-langkah kecil menuju tujuan mereka, memberikan penghargaan pada diri sendiri dapat memperkuat perilaku positif dan mendorong mereka untuk terus berusaha.
Kesimpulan
Perilaku malas dapat memiliki dampak buruk yang signifikan terhadap produktivitas, kesehatan mental, dan hubungan sosial. Namun, dengan membangun etos kerja yang kuat, individu dapat mengatasi kemalasan dan mencapai kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan. Penting untuk menetapkan tujuan yang jelas, membuat rencana kerja, dan melatih disiplin diri untuk membangun kebiasaan kerja yang baik. Dengan demikian, kita dapat menciptakan kehidupan yang lebih produktif dan memuaskan. Mari kita berkomitmen untuk mengatasi kemalasan dan mengembangkan etos kerja yang akan membawa kita menuju kesuksesan.

Mungkin Kamu Suka
Ruang Sujud
Antara Kebutuhan Sosial dan Larangan Syariat: Memahami Konteks Ikhtilath di Era Modern

Published
22 hours agoon
11/05/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Perkembangan zaman menghadirkan berbagai dinamika baru dalam kehidupan sosial umat Islam, termasuk dalam hal pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Di tengah kebutuhan interaksi sosial, pendidikan, dan pekerjaan yang semakin kompleks, muncul pertanyaan besar: bagaimana umat Islam menyikapi ikhtilath di era modern?
Ikhtilath secara syar’i adalah percampuran bebas antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tanpa batasan, pengawasan, atau kepentingan syar’i yang mendesak. Islam secara tegas memberikan peringatan terhadap kondisi semacam ini karena bisa menjerumuskan pada fitnah dan maksiat. Namun, bukan berarti setiap bentuk interaksi antara dua lawan jenis adalah terlarang.
Di era modern, laki-laki dan perempuan sering berada di ruang yang sama: kantor, kampus, seminar, proyek sosial, hingga forum diskusi daring. Selama interaksi itu dilakukan dengan niat baik, adab Islam dijaga, dan syarat-syarat syar’i dipenuhi, maka itu bukan bentuk ikhtilath yang dilarang.
Syariat Islam sangat fleksibel dan mampu menjawab kebutuhan zaman tanpa meninggalkan prinsip dasarnya. Dalam situasi tertentu, laki-laki dan perempuan diperbolehkan bekerja sama, asalkan tidak melanggar batasan: tidak berdua-duaan, tidak bersentuhan fisik, tidak membuka aurat, tidak bercampur tanpa kejelasan fungsi atau kepentingan, serta menjaga sikap dan ucapan.
Contoh penerapannya bisa kita lihat dalam sistem pendidikan Islam modern. Banyak sekolah dan universitas Islam yang tetap membuka ruang bagi perempuan untuk belajar, namun dengan sistem kelas terpisah, tempat duduk dibedakan, atau menggunakan sistem daring. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak menutup akses perempuan untuk maju, tetapi tetap mengatur jalannya agar selaras dengan nilai-nilai agama.
Begitu pula dalam dunia kerja. Banyak perusahaan menerapkan kebijakan ramah syariah dengan memisahkan ruang kerja, menjaga etika komunikasi, bahkan menyediakan ruang shalat dan waktu untuk beribadah. Ini adalah bentuk adaptasi yang harmonis antara kebutuhan zaman dan larangan ikhtilath.
Namun tetap harus diingat, bahwa kelonggaran ini bukan untuk menjadi pembenaran atas pergaulan bebas yang bertentangan dengan syariat. Di balik kebebasan modern, umat Islam harus tetap menanamkan kesadaran akan batasan, rasa malu, dan kontrol diri. Karena syahwat tidak mengenal ruang dan waktu—ia bisa menyelinap dalam ruang terbuka maupun tersembunyi.
Maka, memahami ikhtilath di era modern berarti memahami urgensi menjaga batas sambil tetap aktif dan produktif dalam masyarakat. Syariat Islam hadir bukan untuk menghambat kemajuan, tapi untuk membimbing langkah agar tidak tergelincir dalam kehancuran.
Ruang Sujud
Adab dan Etika Pergaulan dalam Islam: Menghindari Ikhtilath yang Merusak

Published
1 day agoon
11/05/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia—termasuk dalam hal pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pergaulan ini, Islam menetapkan adab dan etika yang tegas agar tidak terjadi pelanggaran yang berujung pada maksiat. Salah satu prinsip penting yang dijaga adalah menghindari ikhtilath atau percampuran bebas.
Pergaulan dalam Islam dibangun atas dasar kehormatan, kesopanan, dan rasa tanggung jawab. Islam sangat menjunjung tinggi martabat perempuan dan menjaga kehormatan laki-laki. Maka, aturan-aturan yang tampak ketat dalam pergaulan bukanlah bentuk pengekangan, melainkan penjagaan terhadap fitrah dan kemuliaan manusia.
Etika dasar yang pertama adalah menundukkan pandangan. Dalam QS. An-Nur ayat 30-31, Allah memerintahkan kaum mukmin untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Ini adalah langkah awal agar interaksi tidak berubah menjadi ajang syahwat atau godaan yang mengarah pada zina hati.
Kedua, berbicara dengan adab dan secukupnya. Al-Qur’an memperingatkan perempuan agar tidak melembutkan suara ketika berbicara dengan laki-laki asing, agar tidak menimbulkan harapan di hati orang yang memiliki penyakit dalam hatinya (QS. Al-Ahzab: 32). Ini menunjukkan bahwa pembicaraan pun harus dijaga.
Ketiga, menghindari khalwat, yaitu berdua-duaan tanpa mahram. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. Tirmidzi). Oleh karena itu, sistem pertemuan atau kerja yang melibatkan dua orang berbeda jenis harus diatur agar tidak terjebak dalam suasana yang membuka celah maksiat.
Keempat, menjaga jarak fisik dan tidak bersentuhan. Dalam Islam, bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa kebutuhan darurat adalah hal yang dilarang. Bahkan, Rasulullah SAW menyatakan bahwa lebih baik kepala ditusuk dengan jarum besi daripada menyentuh perempuan yang bukan mahram (HR. Thabrani).
Semua adab dan etika ini bukan untuk mempersulit kehidupan, melainkan untuk menjaga kejernihan hati dan kemurnian niat dalam bergaul. Islam tidak menutup peluang interaksi, selama dalam kerangka profesional dan syar’i. Dalam pendidikan, kerja, maupun kegiatan sosial, laki-laki dan perempuan bisa bekerja sama, asalkan tetap menjaga batas.
Menghindari ikhtilath adalah bagian dari memuliakan diri sendiri dan orang lain. Ketika etika ini diabaikan, pergaulan menjadi liar, nilai malu luntur, dan dosa pun menjadi ringan di mata. Sebaliknya, dengan menjaga adab, pergaulan menjadi berkah dan membawa kebaikan bagi semua.
Ruang Sujud
Bahaya Ikhtilath: Ketika Batas Aurat dan Syahwat Terkaburkan

Published
1 day agoon
11/05/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Ikhtilath atau percampuran bebas antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram bukan hanya melanggar etika sosial dalam Islam, tetapi juga membawa dampak serius terhadap kesehatan spiritual dan moral umat. Ketika batas aurat tak lagi dijaga dan syahwat dibiarkan bebas, kehancuran moral hanya tinggal menunggu waktu.
Di zaman sekarang, ikhtilath sering dianggap hal yang biasa. Pergaulan bebas yang diperlihatkan di media, sistem kerja tanpa sekat gender, hingga acara-acara sosial yang tak mengenal batasan, menjadi ladang subur bagi syahwat untuk tumbuh tanpa kendali. Padahal, Islam sangat jelas melarang segala bentuk interaksi yang bisa membuka pintu fitnah.
Bahaya ikhtilath bukan hanya terletak pada kontak fisik semata, tetapi juga dalam hal-hal yang tampak kecil: saling memandang dengan syahwat, bercanda tanpa batas, hingga membuka aurat yang seharusnya ditutup. Semua itu menjadi sebab hati mulai condong, pikiran tak lagi jernih, dan iman pun melemah.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya pandangan itu adalah salah satu panah dari panah-panah iblis. Barang siapa yang meninggalkannya karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantinya dengan keimanan yang manisnya akan dia rasakan di dalam hatinya.” (HR. Al-Hakim). Hadis ini menjadi peringatan kuat bahwa syahwat sering kali bermula dari pandangan yang tidak dijaga dalam suasana ikhtilath.
Selain itu, ikhtilath bisa menimbulkan zina hati, yaitu bentuk kemaksiatan yang bermula dari pikiran dan perasaan. Zina mata, zina telinga, dan zina hati adalah tahap-tahap menuju kehancuran diri yang sering kali tidak disadari. Ketika ikhtilath dianggap hal yang wajar, batas antara halal dan haram pun menjadi kabur.
Banyak kasus pelecehan, perselingkuhan, hingga perceraian yang berawal dari interaksi bebas yang tidak terjaga. Dunia kerja, kampus, bahkan lembaga-lembaga keagamaan bisa terpapar bahaya ini jika tidak ada pengawasan dan kesadaran untuk menjaga batas.
Karena itu, penting bagi umat Islam untuk kembali kepada panduan syariat. Menjaga aurat, menghindari khalwat, berbicara dengan sopan, serta mengatur ruang interaksi agar tetap terjaga adalah ikhtiar agar hidup tetap dalam lindungan Allah. Bukan berarti membenci lawan jenis, tetapi menghormatinya dengan cara yang sesuai dengan petunjuk Ilahi.
Ikhtilath memang bisa terlihat menyenangkan sesaat, namun bahayanya bisa merusak masa depan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, lebih baik mencegah sejak dini daripada menyesal di kemudian hari.
Ruang Sujud
Ikhtilath dalam Pandangan Islam: Batasan yang Harus Dijaga

Published
1 day agoon
11/05/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Dalam kehidupan sosial, interaksi antara laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari. Namun, Islam sebagai agama yang sempurna menetapkan batasan-batasan yang tegas dalam pergaulan antara dua lawan jenis. Salah satunya adalah larangan ikhtilath atau percampuran bebas antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Secara bahasa, ikhtilath berarti bercampur atau berbaur. Sedangkan dalam istilah fikih, ikhtilath merujuk pada keadaan di mana laki-laki dan perempuan berada dalam satu tempat tanpa pemisahan atau batasan yang jelas, sehingga memungkinkan terjadinya kontak fisik, pandangan yang tidak dijaga, hingga fitnah yang merusak.
Al-Qur’an dan Hadis banyak memberikan arahan agar kaum muslimin menjaga diri dari pergaulan yang tidak terkontrol. Dalam QS. An-Nur ayat 30-31, Allah memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjaga agar interaksi antara lawan jenis tidak melanggar batas-batas yang ditentukan.
Rasulullah SAW juga memberikan contoh nyata dalam kehidupan beliau. Dalam banyak kesempatan, beliau memisahkan barisan antara laki-laki dan perempuan, bahkan dalam urusan ibadah seperti shalat berjamaah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat hati-hati dalam menjaga interaksi agar tidak menjerumuskan umat pada maksiat.
Namun, bukan berarti Islam menutup pintu interaksi antara laki-laki dan perempuan sama sekali. Dalam kondisi tertentu yang mendesak, seperti pendidikan, perdagangan, atau urusan publik lainnya, interaksi boleh terjadi selama tetap menjaga adab, menutup aurat, dan menghindari khalwat (berduaan). Adanya hijab, pemisahan ruang, dan pengawasan menjadi solusi yang diajukan Islam agar interaksi tetap dalam koridor syariat.
Dalam dunia modern yang semakin bebas, tantangan dalam menjaga batasan ikhtilath semakin besar. Budaya kerja, sistem pendidikan, hingga media sosial kerap memperlihatkan pergaulan bebas yang jauh dari nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, penting bagi setiap muslim untuk memperkuat pemahaman agama, menjaga diri dari fitnah, serta membentengi hati dengan keimanan.
Ikhtilath bukan hanya soal fisik yang bercampur, tapi juga tentang hati yang mulai terpengaruh, pikiran yang terbawa, dan pandangan yang tidak dijaga. Maka, menjaga batas bukanlah bentuk pengekangan, melainkan perlindungan agar jiwa tetap bersih dan hidup diberkahi.
Ruang Sujud
Shirathal Mustaqim dalam Perspektif Ulama: Antara Ilmu, Amal, dan Hidayah

Published
2 days agoon
10/05/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Shirathal mustaqim bukanlah jalan kosong tanpa arah, melainkan jalan yang memiliki pijakan kuat dalam ilmu, ditopang oleh amal, dan dipandu oleh hidayah. Para ulama sejak dahulu hingga kini sepakat bahwa memahami dan menapaki shirathal mustaqim adalah inti dari kehidupan seorang muslim.
Ilmu sebagai Cahaya di Jalan Lurus
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan bahwa tanpa ilmu, seseorang bisa merasa sedang di jalan lurus padahal sesat. Ilmu adalah cahaya yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Maka, menapaki shirathal mustaqim tidak cukup hanya dengan niat baik, tapi juga dengan ilmu yang benar dan bersumber dari Al-Qur’an serta sunnah.
Amal sebagai Bukti dari Jalan yang Dipilih
Menurut Imam Ibn Qayyim, ilmu harus diwujudkan dalam bentuk amal. Shirathal mustaqim adalah jalan yang aktif—bukan sekadar diyakini, tapi juga dijalani. Seorang yang berilmu tapi tidak beramal disamakan dengan mereka yang dimurkai Allah, sementara yang beramal tanpa ilmu bisa jatuh dalam kesesatan. Kombinasi keduanya adalah kunci keselamatan.
Hidayah sebagai Anugerah dan Doa yang Terus Dipanjatkan
Ulama seperti Syaikh Ibn ‘Utsaimin menekankan bahwa meskipun seseorang telah berilmu dan beramal, ia tetap membutuhkan hidayah. Hidayah adalah bentuk kasih sayang Allah untuk meneguhkan hati di jalan yang benar. Doa dalam Al-Fatihah, “ihdinash shirathal mustaqim”, menjadi permohonan agar Allah terus menjaga kita dalam konsistensi dan keistiqamahan.
Jalan Para Nabi dan Orang Shalih
Dalam tafsirnya, Imam Al-Thabari menafsirkan jalan lurus sebagai jalan para nabi, orang-orang yang jujur, syuhada, dan orang shalih. Mereka semua adalah teladan konkret. Maka, ulama menganjurkan umat untuk memperbanyak membaca kisah hidup mereka sebagai inspirasi dalam meniti shirathal mustaqim dengan semangat dan keberanian.
Tantangan dalam Menjalani Jalan Ini
Para ulama juga menyadari bahwa shirathal mustaqim bukan jalan yang mulus. Syubhat (kerancuan dalam pemikiran) dan syahwat (godaan hawa nafsu) adalah dua musuh utama. Oleh karena itu, mereka menekankan pentingnya berguru kepada ulama yang terpercaya, menjaga lingkungan pergaulan, serta memperbanyak ibadah sebagai benteng diri.
Kesimpulan
Shirathal mustaqim menurut para ulama bukanlah jalan teoritis, tapi jalan nyata yang harus dilalui dengan ilmu, dijaga dengan amal, dan disinari oleh hidayah. Kita semua sedang berada dalam perjalanan panjang menuju Allah, dan jalan ini hanya bisa ditapaki dengan petunjuk yang benar dan hati yang berserah.
Ruang Sujud
Makna Mendalam Shirathal Mustaqim dalam Al-Fatihah

Published
2 days agoon
10/05/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Surat Al-Fatihah bukan sekadar pembuka Al-Qur’an, tapi juga inti dari seluruh pesan Ilahi. Salah satu doa paling penting yang terkandung di dalamnya adalah permohonan: “Ihdinash shirathal mustaqim”—Tunjukilah kami jalan yang lurus. Doa ini menjadi inti dari hubungan hamba dan Tuhannya.
Permohonan yang Diulang Setiap Hari
Doa “ihdinash shirathal mustaqim” bukan hanya dibaca sekali dua kali, tapi minimal 17 kali dalam sehari saat salat wajib. Ini menunjukkan bahwa kita sangat bergantung pada hidayah Allah. Tanpa petunjuk-Nya, manusia akan tersesat di tengah gelapnya dunia dan kuatnya arus godaan.
Jalan yang Menyatukan Tauhid, Syariat, dan Akhlak
Shirathal mustaqim adalah jalan yang menggabungkan tauhid sebagai pondasi, syariat sebagai aturan, dan akhlak sebagai perwujudan. Ini bukan jalan netral, melainkan jalan yang jelas—jalan Islam yang ditunjukkan Allah melalui wahyu, diteladani Rasulullah, dan ditempuh para salihin.
Konteks Al-Fatihah: Hubungan dengan Ayat Sebelumnya
Permintaan shirathal mustaqim muncul setelah ayat tentang pengakuan: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” Ini menunjukkan bahwa hanya dengan pertolongan Allah, seseorang bisa tetap istiqamah di jalan lurus. Doa ini bukan soal ilmu, tapi soal hati dan niat yang bersandar pada-Nya.
Jalan Orang-Orang yang Diberi Nikmat
Allah tidak membiarkan kita menebak-nebak makna jalan lurus. Ia langsung menjelaskannya: “yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka.” Dalam tafsir, mereka adalah para nabi, orang jujur (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Artinya, kita berdoa untuk mengikuti jejak orang-orang yang hidupnya sukses menurut Allah.
Menghindari Jalan yang Salah
Masih dalam surat Al-Fatihah, kita juga memohon dijauhkan dari jalan mereka yang dimurkai dan sesat. Jalan lurus berada di tengah antara dua ekstrem: mereka yang tahu kebenaran tapi tidak mengamalkannya (al-maghdhub), dan mereka yang beramal tanpa ilmu (ad-dhallin). Maka, shirathal mustaqim menuntut ilmu sekaligus amal.
Penutup
Al-Fatihah adalah cermin kebutuhan ruhani manusia: memohon petunjuk dan istiqamah di jalan yang benar. Shirathal mustaqim bukan sekadar jalur ke surga, tapi juga kompas moral dan spiritual dalam hidup di dunia. Mari terus memohon dan berjuang agar Allah menuntun kita di atas jalan ini hingga akhir hayat.
Ruang Sujud
Meniti Shirathal Mustaqim di Era Digital: Tantangan dan Solusi

Published
2 days agoon
10/05/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Di tengah era digital yang serba cepat dan penuh distraksi, menapaki shirathal mustaqim bukanlah perkara mudah. Informasi berseliweran setiap detik, gaya hidup hedonis merajalela, dan nilai-nilai kebenaran sering dikaburkan oleh algoritma dan opini publik. Lalu, bagaimana agar kita tetap berada di jalan lurus?
Tantangan: Arus Informasi Tak Terseleksi
Salah satu tantangan utama di era digital adalah banjir informasi yang tak tersaring. Kebenaran dan kebatilan bercampur jadi satu dalam bentuk konten media sosial, video viral, hingga podcast dan berita. Jika tidak berhati-hati, seseorang bisa dengan mudah terseret pada pemikiran sesat atau gaya hidup yang menyimpang dari nilai-nilai Islam.
Godaan Digital: Dosa Hanya Sekali Klik
Teknologi yang mempermudah hidup juga mempermudah dosa. Ghibah, fitnah, pornografi, hingga perdebatan sia-sia kini bisa diakses dalam hitungan detik. Inilah jebakan zaman modern—di mana manusia bisa tergelincir dari jalan lurus tanpa sadar, hanya karena jari yang tak bijak dalam mengklik dan menyebar.
Krisis Fokus dan Keikhlasan
Shirathal mustaqim menuntut hati yang fokus dan ikhlas. Namun, era digital cenderung menciptakan mentalitas pencitraan. Kita tergoda menampilkan yang terbaik untuk dilihat manusia, bukan untuk mendapat ridha Allah. Akibatnya, ibadah bisa berubah menjadi rutinitas kosong, bukan sarana mendekat pada Tuhan.
Solusi: Literasi Digital Berbasis Tauhid
Kunci pertama agar tetap di jalan lurus di era digital adalah memperkuat literasi digital yang bertumpu pada tauhid. Artinya, kita harus mampu membedakan mana konten yang mendekatkan pada Allah dan mana yang menjauhkan. Jadikan prinsip tauhid sebagai filter utama dalam memilih tontonan, bacaan, dan aktivitas online.
Membangun Ekosistem Kebaikan
Solusi kedua adalah aktif menciptakan dan bergabung dalam komunitas digital yang positif. Bergabunglah dengan kanal kajian Islam, ikut kelas online yang memperkuat iman, dan jauhi grup atau akun yang memancing kebencian, perpecahan, atau syahwat. Lingkungan digital juga menentukan arah hidup kita.
Istiqamah dalam Dunia yang Berubah
Shirathal mustaqim bukanlah jalan bebas hambatan. Ia membutuhkan kesungguhan, ketekunan, dan evaluasi diri yang berkelanjutan. Kita butuh zikir, tilawah, dan doa yang konsisten untuk mengimbangi derasnya arus digital. Seperti GPS spiritual, Al-Qur’an dan sunnah harus tetap menjadi petunjuk utama.
Penutup
Meniti jalan lurus di era digital bukan mustahil, tapi butuh kesadaran, kontrol diri, dan lingkungan yang mendukung. Jangan biarkan gadget menjadi penghalang kita menuju ridha Allah. Jadikan teknologi sebagai alat bantu untuk menapaki shirathal mustaqim dengan lebih teguh dan cerdas.
Ruang Sujud
Shirathal Mustaqim: Jalan Lurus Menuju Ridha Allah

Published
2 days agoon
10/05/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Setiap muslim pasti membaca surat Al-Fatihah dalam setiap rakaat salat, dan di dalamnya ada doa penting: “Ihdinash shirathal mustaqim”—Tunjukilah kami jalan yang lurus. Doa ini bukan sekadar permohonan, tetapi juga pengakuan bahwa manusia sangat butuh petunjuk Allah agar tidak tersesat dalam hidupnya.
Arti dan Makna Shirathal Mustaqim
Secara bahasa, shirathal mustaqim berarti “jalan lurus”. Dalam konteks syariat, maksud dari jalan lurus ini adalah jalan hidup yang sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Jalan ini mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat. Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa jalan lurus adalah agama Islam yang dijalani dengan keimanan, amal shalih, dan mengikuti petunjuk wahyu.
Ciri-Ciri Jalan Lurus
Shirathal mustaqim memiliki karakteristik yang jelas: berpegang teguh pada tauhid, menjalankan ibadah yang benar, menjauhi dosa besar, serta memiliki akhlak yang mulia. Jalan ini telah ditempuh oleh para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. Maka tidak heran jika dalam lanjutan surat Al-Fatihah disebutkan: “jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka.”
Tantangan Meniti Shirathal Mustaqim
Menjadi lurus di jalan Allah bukan perkara mudah. Godaan dunia, hawa nafsu, dan bisikan setan selalu mengintai. Orang yang istiqamah di jalan Allah akan diuji dengan kesabaran, keimanan, dan keteguhan hati. Namun Allah menjanjikan pahala besar bagi mereka yang mampu bertahan dan terus memperbaiki diri di atas shirathal mustaqim.
Menuju Ridha Allah
Ridha Allah adalah tujuan akhir dari setiap ibadah dan amal kita. Jalan lurus ini bukan hanya membentuk kita menjadi pribadi yang baik, tapi juga membimbing kita agar mendapat rahmat dan surga-Nya. Allah berfirman dalam QS. Al-An’am:153, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia…”
Kesimpulan
Shirathal mustaqim bukan sekadar konsep spiritual, tapi arah hidup yang harus terus diupayakan. Ia adalah jalan menuju ridha dan surga Allah, penuh cahaya petunjuk bagi siapa pun yang tulus mencarinya. Dengan doa dan usaha sungguh-sungguh, semoga kita semua istiqamah di atas jalan lurus ini.
Ruang Sujud
Menjaga Keikhlasan dalam Mengimani Karomah Para Wali

Published
3 days agoon
09/05/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Iman kepada karomah para wali adalah bagian dari keyakinan dalam tradisi Ahlus Sunnah wal Jamaah. Namun lebih dari sekadar mengimani, umat Islam dituntut untuk menjaga keikhlasan hati dalam menyikapinya. Sebab, karomah sejatinya bukan tontonan, bukan pula sesuatu yang harus dibanggakan, melainkan tanda kedekatan hamba kepada Tuhannya yang harus disikapi dengan rendah hati dan penuh adab.
Dalam kehidupan para wali, karomah bukan tujuan yang dikejar. Justru mereka merasa malu jika Allah memperlihatkan keajaiban melalui diri mereka. Banyak dari mereka yang menyembunyikan karomahnya karena takut menjadi ujub atau merasa lebih baik dari orang lain. Inilah yang membedakan para wali sejati dengan orang-orang yang mencari popularitas melalui kisah karomah yang sering dilebih-lebihkan.
Keikhlasan dalam mengimani karomah artinya tidak menjadikan karomah sebagai pusat ketertarikan kepada seseorang. Kita mengagumi wali karena ketakwaannya, bukan karena kemampuan luar biasa yang ia miliki. Bahkan, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa keistiqamahan seseorang dalam ibadah jauh lebih utama daripada karomah yang tampak menakjubkan.
Tantangan zaman sekarang adalah kecenderungan sebagian orang untuk menjadikan kisah karomah sebagai ajang hiburan spiritual. Cerita-cerita karomah dibumbui dan dijual untuk menarik massa, hingga akhirnya mengaburkan nilai-nilai ruhani yang seharusnya dihadirkan. Inilah pentingnya kita mengembalikan niat: bahwa setiap karomah adalah murni tanda keistimewaan dari Allah, bukan milik pribadi yang bisa dipamerkan.
Imam Malik pernah berkata, “Barang siapa yang melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara, janganlah engkau tertipu, hingga engkau lihat sejauh mana ia berpegang teguh kepada syariat.” Hal ini menunjukkan bahwa ukuran utama seorang wali bukanlah karomah, melainkan keistiqamahan dan ketundukannya kepada ajaran Islam.
Mengimani karomah dengan ikhlas juga berarti tidak menuhankan para wali. Kita menghormati mereka sebagai kekasih Allah, tapi tidak memohon kepada mereka. Doa dan tawakal tetap ditujukan kepada Allah semata, karena para wali pun hanyalah perantara dalam dakwah dan bukan pemilik kekuatan itu sendiri.
Akhirnya, menjaga keikhlasan dalam mengimani karomah adalah bagian dari menjaga kemurnian tauhid. Kita belajar dari kisah para wali bukan untuk mengejar karomah mereka, melainkan meneladani ketakwaan mereka. Sebab karomah terbesar bukan terbang di udara, tapi tetap taat di tengah godaan dunia.
Ruang Sujud
Perbedaan Karomah, Sihir, dan Tipu Daya: Perspektif Ulama

Published
3 days agoon
09/05/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Dalam masyarakat, sering muncul kebingungan antara karomah, sihir, dan tipu daya. Ketiganya bisa terlihat serupa karena menampilkan kejadian luar biasa di luar nalar manusia. Namun menurut para ulama, perbedaan di antara ketiganya sangat jelas—terutama dalam hal sumber kekuatan, tujuan, dan pengaruhnya terhadap keimanan.
Karomah adalah kejadian luar biasa yang Allah berikan kepada wali-wali-Nya, yaitu orang-orang yang taat, saleh, dan istiqamah dalam ibadah serta menjauhi maksiat. Karomah bukan sesuatu yang bisa diminta atau dipelajari. Ia merupakan karunia ilahi yang datang sebagai bentuk kemuliaan atas kedekatan seseorang kepada Allah. Ulama Ahlus Sunnah sepakat bahwa karomah adalah hakikat dan bukan khayalan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dan Imam al-Qurtubi.
Sebaliknya, sihir adalah ilmu yang bersumber dari bantuan jin atau syaitan. Sihir bisa dipelajari dan diajarkan, namun jelas dilarang dalam Islam karena mengandung unsur syirik. Penyihir biasanya melakukan ritual tertentu untuk menjalin kerja sama dengan makhluk gaib dan menyesatkan orang lain. Dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 102, sihir disebut sebagai ajaran yang diturunkan kepada Harut dan Marut sebagai ujian, bukan untuk diamalkan.
Sementara itu, tipu daya (kadang disebut istidraj) adalah kejadian luar biasa yang terjadi kepada orang fasik atau bahkan musuh-musuh Allah, yang tampak seperti karomah atau keajaiban. Dalam pandangan para ulama, istidraj merupakan bentuk penghinaan halus dari Allah kepada orang-orang yang gemar bermaksiat namun tetap diberi nikmat duniawi. Hal ini disebut dalam Surah Al-A’raf ayat 182: “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami tarik mereka secara berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dari arah yang tidak mereka ketahui.”
Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa karomah tidak akan terjadi pada orang yang menyimpang dari syariat. Bila seseorang mengaku memiliki karomah tetapi akhlaknya rusak, atau malah menyalahi syariat, maka hal itu bukan karomah—melainkan sihir atau istidraj. Inilah pentingnya ilmu dan akidah yang lurus dalam membedakan antara kebenaran dan kebatilan.
Untuk mengenali perbedaan ketiganya, para ulama memberikan panduan: perhatikan apakah orang tersebut taat pada syariat, menjauhi maksiat, serta rendah hati. Jika iya, maka kejadian luar biasa itu bisa jadi karomah. Tapi jika orang itu justru menyimpang, mengajak pada kesesatan, atau menonjolkan diri dengan angkuh, maka waspadalah—bisa jadi itu adalah sihir atau tipu daya.
Kesimpulannya, tidak semua yang ajaib itu mulia. Karomah adalah cahaya bagi orang beriman, sihir adalah kegelapan bagi orang yang tersesat, dan tipu daya bisa menjadi ujian bagi yang lalai. Oleh karena itu, umat Islam perlu belajar membedakan keduanya, agar tidak tertipu oleh keajaiban palsu yang justru menjauhkan dari Allah.
Monitor Saham BUMN

Wisuda SMK CBM Purwokerto: Parody Hollywood Sonoan Dikit

Marc Marquez Pilih Main Aman di MotoGP Prancis demi Target Juara Dunia

Kronologi Ledakan saat Pemusnahan Amunisi di Garut Tewaskan 13 Orang

Dipanggil Jadi Saksi di Kasus Blake Lively dan Justin Baldoni, Taylor Swift Respon Begini

Hamas Siap Bebaskan Sandera AS-Israel, Upaya Gencatan Senjata Kembali Menguat

UMK Academy Pertamina Dorong UMKM Naik Kelas dan Tembus Pasar Internasional

Trenggono Pimpin PAN Jateng, Tantangan Baru Menanti

Parlemen Arab Desak PBB Selamatkan Anak-Anak Gaza dari Kelaparan

Israel Kelimpungan, Trump Ambil Jalur Berbeda dari Netanyahu Soal Iran dan Gaza

Tampil Impresif Sepanjang Musim, Dembele Terpilih Jadi Pemain Terbaik Liga Prancis

Afghanistan Haramkan Permainan Catur, Lha Kok Bisa?

Para Pemimpin Studio Hollywood Gelar Pertemuan, Ada Apa?

Farhan Halim Bidik Karier Internasional Usai Antar Bhayangkara Juara Proliga 2025

Kejuaraan Asia 2025: Lifter Rahmat Erwin Borong 3 Emas dan Pecahkan Rekor Dunia

Syed Asim Munir: Jenderal Pakistan Hafiz Quran Penjaga Kedaulatan

Takwa Jadi Pilar Kesuksesan di Dunia dan Akhirat

Johann Zarco Ukir Sejarah, Menang Dramatis di MotoGP Prancis 2025

BUMN di Ujung Tumbukan: Kontroversi UU Baru

Resmikan Smamda Dormitory, Mendikdasmen: Bukti Sekolah Muhammadiyah Berkelas Dunia
