Monitorday.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir terkait kualitas bahan bakar minyak (BBM) yang diproduksi PT Pertamina (Persero), meskipun saat ini tengah diusut kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa dugaan korupsi yang tengah diusut terjadi dalam kurun waktu 2018 hingga 2023. Oleh karena itu, BBM yang diduga terlibat dalam kasus ini sudah tidak lagi beredar di pasaran.
Harli juga menambahkan bahwa Pertamina telah memastikan kualitas BBM yang beredar saat ini sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.
“Masyarakat tidak perlu risau, tidak perlu cemas. Karena yang beredar sekarang sudah sesuai spesifikasi yang ditetapkan,” ujar Harli, Sabtu (1/3).
Lebih lanjut, Harli menjelaskan bahwa BBM merupakan barang yang habis pakai, sehingga minyak yang diproduksi pada periode dugaan korupsi sudah tidak ada lagi di pasaran.
Dalam penyidikan kasus ini, Kejagung telah menetapkan sembilan orang tersangka, yang terdiri dari enam pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. Salah satu tersangka adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. Selain itu, ada juga beberapa pejabat tinggi lainnya di lingkungan Pertamina yang turut menjadi tersangka dalam kasus ini.
Total kerugian negara yang ditimbulkan akibat dugaan korupsi ini mencapai Rp193,7 triliun. Kerugian tersebut meliputi ekspor minyak mentah dalam negeri sebesar Rp35 triliun, impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun, serta impor BBM melalui broker senilai Rp9 triliun.
Selain itu, pemberian kompensasi pada 2023 menyebabkan kerugian sebesar Rp126 triliun, sedangkan pemberian subsidi mencapai Rp21 triliun.
Pertamina Tegaskan Pertamax Bukan BBM Oplosan
Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menegaskan bahwa isu mengenai Pertamax sebagai BBM oplosan tidak benar. Vice President (VP) Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyatakan bahwa Pertamax tetap sesuai standar RON 92 dan memenuhi semua parameter kualitas bahan bakar yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Fadjar juga menjelaskan bahwa Kementerian ESDM secara rutin melakukan pengawasan terhadap mutu BBM dengan menguji sampel dari berbagai Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) secara berkala.
“Terkait isu yang beredar bahwa BBM Pertamax merupakan oplosan, itu tidak benar,” tegas Fadjar dalam keterangan resmi, Rabu (26/2).
Ia menambahkan bahwa ada perbedaan signifikan antara oplosan dan blending BBM. Oplosan merupakan pencampuran bahan yang tidak sesuai aturan, sementara blending adalah praktik umum dalam industri minyak untuk mencapai kadar oktan atau RON tertentu.
Contohnya, Pertalite merupakan campuran bahan bakar RON 92 dengan bahan bakar RON yang lebih rendah sehingga menghasilkan RON 90.
Dengan demikian, Pertamina mengimbau masyarakat agar tidak khawatir terhadap mutu BBM yang mereka produksi. “Kualitas Pertamax sudah sesuai dengan spesifikasinya, yaitu dengan standar oktan 92,” ujar Fadjar.