Monitorday.com – Di zaman serba cepat dan penuh kompetisi ini, kekayaan seringkali dianggap sebagai simbol kesuksesan dan tujuan akhir dari perjuangan hidup. Banyak orang berlomba-lomba mengejar harta, jabatan, dan pengaruh, bahkan tak sedikit yang rela mengorbankan waktu, keluarga, dan nilai-nilai spiritual demi mencapainya. Namun, Islam mengajarkan satu prinsip penting yang menjadi penyeimbang dalam kehidupan duniawi: zuhud.
Zuhud sering disalahpahami sebagai sikap menjauhi dunia sepenuhnya, hidup miskin, dan menolak segala bentuk kemewahan. Padahal, makna sebenarnya jauh lebih dalam dan relevan bagi kehidupan modern. Zuhud adalah seni menjaga hati agar tidak terikat pada dunia, meski tangan menggenggamnya. Seseorang boleh kaya, sukses, dan berpengaruh, selama hatinya tidak bergantung pada semua itu.
Konsep zuhud bukan ajakan untuk menolak kekayaan, melainkan untuk tidak diperbudak olehnya. Dalam Islam, kekayaan bukanlah hal yang hina atau harus dijauhi. Bahkan, banyak sahabat Nabi Muhammad SAW yang kaya raya, seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Zubair bin Awwam. Mereka adalah teladan bagaimana seseorang bisa menjadi kaya secara materi, tapi tetap zuhud dalam hati.
Zuhud adalah tentang kebebasan batin. Orang yang zuhud adalah orang yang tidak gelisah ketika kehilangan, dan tidak sombong ketika mendapat banyak. Ia tahu bahwa semua yang dimiliki adalah titipan dari Allah, bukan milik sejati. Inilah seni hidup yang mulia: memiliki tanpa dimiliki.
Di era modern, kita hidup dalam masyarakat yang mendorong konsumerisme dan materialisme. Gaya hidup mewah, kemudahan kredit, iklan-iklan glamor, dan tekanan sosial membuat banyak orang merasa harus selalu lebih—lebih kaya, lebih sukses, lebih terkenal. Di sinilah zuhud menjadi sangat penting: sebagai perisai agar kita tidak larut dalam hasrat yang tak berujung.
Seni zuhud di zaman sekarang bisa diterapkan dengan cara sederhana namun kuat. Pertama, mengelola keinginan. Orang yang zuhud tidak membiarkan keinginannya mengendalikan hidup. Ia tahu mana kebutuhan, mana keinginan, dan mana hawa nafsu. Ia bisa menahan diri dari membeli sesuatu hanya karena ingin terlihat keren atau mengikuti tren.
Kedua, menggunakan harta untuk kebaikan. Zuhud bukan berarti menimbun kekayaan, tapi membagikannya untuk maslahat yang lebih luas. Sedekah, wakaf, membantu usaha kecil, membiayai pendidikan anak yatim—semua itu adalah bentuk konkret dari kekayaan yang bernilai akhirat.
Ketiga, tetap sederhana meski mampu. Kesederhanaan adalah cermin dari zuhud. Tidak harus hidup susah, tapi juga tidak harus memamerkan apa yang dimiliki. Orang zuhud merasa cukup dengan yang ada, walau punya lebih. Ia tidak merasa perlu menunjukkan kekayaan demi pengakuan sosial.
Keempat, memiliki visi akhirat di tengah kehidupan dunia. Zuhud membuat seseorang fokus pada tujuan sejati hidup: bertemu Allah dengan hati yang bersih. Dunia adalah jalan, bukan tujuan. Maka, karier, bisnis, dan pendidikan semua dijalani dengan niat untuk ibadah dan kontribusi, bukan sekadar mengejar gengsi atau kesenangan pribadi.
Menjadi kaya tanpa terikat adalah kebebasan sejati. Banyak orang terlihat sukses di luar, tapi sesungguhnya terpenjara oleh ambisi dan ketakutan kehilangan. Sementara orang yang zuhud, meski hartanya banyak, tetap tenang, ikhlas, dan bahagia karena hatinya tidak bergantung pada harta.
Salah satu nasihat bijak dari Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Zuhud bukan berarti engkau tidak memiliki apa-apa, tapi zuhud adalah ketika dunia tidak menguasai hatimu.” Ini membuktikan bahwa zuhud adalah kondisi hati, bukan soal isi dompet.
Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Berzuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu. Dan berzuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa zuhud tidak hanya mendekatkan kita kepada Allah, tapi juga kepada sesama. Orang yang zuhud tidak memperebutkan dunia, tidak iri, dan tidak rakus. Ia hadir sebagai pribadi yang damai, ringan, dan tulus dalam berinteraksi dengan orang lain.
Zuhud juga membawa dampak sosial yang besar. Jika banyak orang menerapkan zuhud, maka akan lahir masyarakat yang lebih adil, tidak serakah, dan peduli satu sama lain. Ketimpangan sosial bisa ditekan, karena kekayaan tidak hanya dimiliki segelintir orang. Korupsi pun bisa ditekan, karena orang tidak tergila-gila pada harta dan kekuasaan.
Seni zuhud bukanlah sikap anti-kemajuan, tapi justru sarana untuk menjadikan kemajuan itu lebih manusiawi dan bermakna. Dunia bukan untuk dijauhi, tapi untuk dikelola dengan bijak. Dan zuhud adalah kunci agar kita tidak tersesat di dalamnya.
Jadi, tidak perlu memilih antara menjadi kaya atau zuhud. Keduanya bisa berjalan bersama. Jadilah seperti sahabat-sahabat Rasulullah yang kaya raya namun hatinya tetap terikat pada akhirat. Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak yang kita miliki yang menentukan kemuliaan hidup, tapi seberapa lapang hati kita dalam mengelolanya.