Connect with us

Review

Amerika dan Dunia di Ujung Tanduk

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com –Di balik gemerlap demokrasi dan retorika hak asasi manusia yang selalu dikumandangkan Amerika Serikat, terselip jejak-jejak kelam imperialisme modern yang kian mencemaskan masa depan dunia.

Amerika Serikat, negeri yang kerap mengangkat bendera kebebasan dan keadilan, tengah berdiri di ambang krisis kepercayaan global. Dunia telah lama menyaksikan bagaimana kekuatan adidaya ini tidak hanya mencampuri urusan negara lain, tetapi secara aktif menciptakan ketegangan, perang, dan kerusakan struktural di berbagai belahan bumi. Retorika tentang demokrasi sering kali menjadi kedok manis untuk ambisi-ambisi geopolitik yang tidak segan menyulut konflik dan mengorbankan jutaan jiwa.

Di Timur Tengah, luka-luka yang ditinggalkan belum sembuh. Irak, Suriah, Libya—semuanya menjadi ladang eksperimen atas kebijakan luar negeri Amerika yang destruktif. Perang dilancarkan atas nama kebebasan, namun hasilnya adalah kehancuran negara, runtuhnya peradaban, dan munculnya kelompok-kelompok perlawanan di cap radikal dan di labeli teroris.

Tak bisa di bayangkan, mereka yang melawan karena ditindas malah dituduh penjahat sementara negara penjajah dielu-elukan sebagai bangsa yang menjunjung hak asasi manusia.

Dunia tahu siapa dalang dari semua ini, tetapi suara-suara perlawanan kerap dibungkam oleh dominasi media dan kekuatan politik yang dimiliki Washington.

Tak hanya itu, ambisi ekspansionis Amerika terlihat jelas ketika secara terang-terangan ingin mencaplok Greenland, wilayah otonom yang berada di bawah Denmark. Upaya ini bukan hanya bentuk arogansi kekuasaan, tapi juga menunjukkan betapa Amerika merasa berhak atas segala sesuatu yang strategis dan menguntungkan secara ekonomi maupun militer. Terusan Panama pun tak luput dari incaran mereka—jalur perdagangan vital dunia yang ingin mereka kontrol sepenuhnya demi kepentingan ekonomi dan militer mereka sendiri.

Amerika juga tak ragu menyulut konflik dengan kekuatan besar lain seperti Rusia. Alih-alih mencari jalur diplomasi, mereka memilih membiayai kelompok-kelompok separatis dan memperluas pengaruh NATO hingga ke perbatasan negara yang mereka anggap rival. Ketegangan di Ukraina dan wilayah sekitarnya adalah bukti nyata betapa Amerika tidak segan menyalakan api perang baru demi mempertahankan hegemoni global mereka.

Di banyak negara, Amerika hadir bukan sebagai penyelamat, tapi perusak dari dalam. Mereka mendanai kelompok separatis, memicu instabilitas, dan mengintervensi politik domestik melalui berbagai cara—baik terang-terangan maupun tersembunyi.

Demokrasi dijual sebagai produk ekspor, padahal dalam praktiknya, mereka sendiri sering kali menutup mata terhadap kudeta, pelanggaran HAM, dan pemilu curang—selama itu menguntungkan kepentingan mereka.

Ironi terbesar tampak dalam sikap Amerika terhadap Palestina. Di saat dunia menyaksikan genosida sistematis yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, Amerika justru tampil sebagai pelindung utama. Mereka memveto resolusi-resolusi penting di PBB, menyuplai senjata, dan memberikan dukungan politik tanpa syarat kepada Israel. Dalam hal ini, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia seolah menjadi selektif: berlaku bagi yang tunduk, diabaikan bagi yang melawan.

Kita patut bertanya: sampai kapan dunia akan membiarkan satu negara bertindak bak dewa di panggung global, menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang harus hancur? Sampai kapan kekuatan uang dan militer dijadikan alat untuk membungkam keadilan dan nurani? Amerika boleh saja membungkus semua tindakan mereka dalam jargon-jargon idealistik, tapi dunia telah lama melihat wajah aslinya.

Sebuah kehancuran moral dan politis tengah mengintai Amerika, dan dunia harus bersiap untuk tak hanya menyaksikan, tetapi mengambil sikap.

Rezim di Amerika, siapapun presiden dan wakil presidennya, akan terus menghancurkan fondasi perdamaian dan keadilan internasional.

Dunia bukan milik satu negara, dan masa depan tidak boleh dikendalikan oleh tangan-tangan yang berlumur darah sejarah.

Mungkinkah ini pertanda, imam mahdi sudah di depan mata? sebentar lagi akan datang.

Datangnya Imam Mahdi bukan sekadar narasi spiritual, melainkan momen monumental yang mengguncang tatanan lama dan membuka jalan bagi era keemasan. Dalam pusaran kekacauan global—korupsi merajalela, kesenjangan sosial menganga, nilai-nilai luhur diinjak-injak—sosok ini hadir sebagai penyeimbang, penyatu, dan pembebas.

Dengan kepemimpinan yang penuh hikmah dan keberanian, Imam Mahdi akan menghancurkan tirani, membangkitkan semangat keadilan, dan menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan sejati. Tak ada lagi dominasi kekuatan zolim, tak ada lagi ketakutan bagi yang lemah. Dunia akan menyaksikan transformasi masif—sistem yang korup runtuh, kebenaran bersinar, dan solidaritas antarumat manusia menguat.

Masa keemasan bukan sekadar impian, tapi realitas yang dibangun dari kebangkitan spiritual dan kesadaran kolektif. Dunia akan berdetak dalam irama kedamaian, keadilan, dan keberkahan. Inilah momentum kebangkitan, saat sejarah menulis ulang dirinya dengan tinta cahaya, dan umat manusia meraih kembali martabatnya yang hakiki.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Review

Perjamuan Kekuasaan di Meja Makan

Pertemuan simbolik Prabowo, Gibran, dan Megawati di Hari Lahir Pancasila menyimpan makna politik dalam, di tengah riuh isu pemakzulan dan permainan opini publik.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Suasana peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Senin (2/6/2025), mendadak menjadi panggung drama politik tingkat tinggi. Di sana, Presiden terpilih Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri tampil bersama dalam satu frame publik yang langka pasca-Pilpres 2024. Namun, publik tidak hanya melihat seremoni, melainkan membaca sandi kekuasaan yang sedang dinegosiasikan tanpa kata, tapi penuh makna.

Di satu sisi, Prabowo tampil luwes, seolah mengukuhkan dirinya sebagai pemegang kendali narasi. Gibran berdiri di sisi setia, tersenyum datar, namun sorot matanya tajam. Di sisi lain lapangan, ada sosok Try Sutrisno, tokoh senior militer dan mantan wakil presiden yang gencar menggaungkan isu pemakzulan Gibran. Sebuah ironi visual terjadi—Gibran dan Try berada dalam satu ruang negara, tapi terpisah oleh kredo yang berbeda. Satu bicara loyalitas, yang lain bicara pelanggaran etika.

Upacara ini bukan sekadar upacara. Ini adalah panggung simbolik dari “perjamuan kekuasaan”—di mana gesture, pakaian, dan siapa berdiri di mana, lebih vokal dari pidato kenegaraan manapun. Kajian linguistik terapan dalam konteks ini menunjukkan bahwa jamuan makan atau pertemuan seremonial memiliki muatan komunikasi non-verbal yang kental. Dalam budaya politik Indonesia, pertemuan fisik seperti ini adalah pesan tersirat: harmoni semu, atau upaya menutup retakan yang menganga.

Try Sutrisno jelas tidak mundur. Seruan pemakzulan terhadap Gibran masih ia gaungkan sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik politik dinasti dan pelanggaran konstitusi. Namun di balik itu, publik menyaksikan bagaimana Prabowo memainkan peran sebagai dirigen, mengatur irama ketegangan agar tetap terdengar merdu di telinga rakyat. Ia mempertemukan lawan dan kawan di satu ruang, mengesankan stabilitas, meski substansi konfliknya belum selesai.

Prabowo tidak hanya sedang menunjukkan kekuatan politik, tapi juga kecerdikan dalam mengelola opini. Ini yang membuat analis wacana kritis melihat bahwa kekuasaan dalam politik tidak hanya dibangun melalui argumen, tetapi juga melalui kontrol atas simbol, ruang, dan narasi publik. Bahasa tubuh, kehadiran tokoh, dan framing media menjadi instrumen dominasi yang halus namun efektif.

Makna linguistik dari “jamuan kekuasaan” ini terletak pada kemampuannya membungkus konflik dalam balutan harmoni. Prabowo mempertemukan Megawati, Gibran, dan bahkan Try, bukan untuk menyatukan visi, tapi untuk mengontrol persepsi. Sebuah komunikasi politik tingkat tinggi, di mana yang tidak dikatakan justru paling keras berbicara.

Publik pun dibuat semakin bingung: apakah ini bentuk rekonsiliasi, sandiwara politik, atau pengalihan isu? Namun satu hal pasti, wacana pemakzulan yang terus digaungkan Try Sutrisno menjadi ancaman simbolik bagi stabilitas awal pemerintahan Prabowo-Gibran. Meski tertutup dalam jamuan simbolis, luka politik tetap menganga, menunggu momentum baru untuk meledak.

Continue Reading

Review

Listyo Sigit Tetap Kapolri, Tak Tergoyahkan

Istana tegaskan Jenderal Listyo Sigit Prabowo tetap Kapolri dan aktif bekerja, meski isu pencopotan kembali mencuat.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Spekulasi politik soal perombakan elite keamanan nasional kembali mencuat, kali ini menyasar posisi Kapolri. Namun, Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali membuktikan dirinya bukan sosok yang mudah digoyang.

Sinyal kuat datang langsung dari lingkar dalam kekuasaan. Sekretaris Kabinet, Letkol Teddy Indra Wijaya, dengan nada tegas membantah kabar pencopotan itu.

“Kapolri Sigit masih aktif dan menjalankan tugas seperti biasa. Bahkan kemarin baru saja menghadap Presiden untuk menyampaikan laporan bulanan,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (4/6/2025).

Pernyataan itu bukan sekadar klarifikasi. Di tengah hiruk-pikuk isu reshuffle dan ketegangan di tubuh pemerintahan, pernyataan ini seolah menampar keras para penyebar spekulasi. Lebih dari itu, ini menjadi penegasan bahwa Prabowo dan Sigit masih sejalan, bahkan saling menopang dalam menjaga ritme pemerintahan yang tengah bersiap menempuh fase barunya.

Bukan kebetulan jika sehari setelah isu ini merebak, Jenderal Sigit justru muncul di rombongan Presiden dalam kunjungan kerja ke Kalimantan Barat. “Pak Kapolri ikut dalam kunjungan kerja Presiden ke Kalbar, mau meninjau panen jagung,” lanjut Teddy. Kegiatan ini, yang di permukaan tampak sebagai agenda kerja biasa, sebetulnya menyimpan makna politis yang dalam. Di tengah situasi yang memanas, tampilnya Kapolri bersama Presiden merupakan bentuk konsolidasi kekuasaan dan loyalitas yang sedang diuji.

Di balik layar, jabatan Kapolri bukan posisi sembarangan. Dalam lanskap politik Indonesia, terutama di masa transisi pemerintahan, posisi ini menjadi titik strategis. Stabilitas keamanan dan pengaruh terhadap kebijakan hukum menjadikan Kapolri sebagai salah satu pilar utama dalam struktur kekuasaan nasional.

Maka tak heran, kabar soal pencopotan Sigit langsung membakar diskusi di berbagai ruang politik, baik terbuka maupun tertutup. Namun sampai detik ini, semua upaya menggoyang kursi Kapolri tak membuahkan hasil. Justru sebaliknya, kehadiran Sigit di setiap momen penting pemerintahan menunjukkan bahwa ia masih dipercaya dan dibutuhkan.

Sumber internal yang dekat dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto menyebut bahwa Jenderal Sigit akan tetap menjabat hingga masa pensiunnya tiba. “Nanti diganti setelah Listyo memasuki pensiun,” ujarnya singkat, namun penuh makna. Ini memperkuat kesan bahwa tidak ada ruang untuk intervensi politik jangka pendek dalam keputusan strategis seperti ini.

Di tengah wacana liar yang terus bergulir, Istana kini memberi penegasan. Dan Sigit, dengan langkah tenangnya, tampaknya lebih sibuk bekerja ketimbang meladeni isu. Yang jelas, hingga saat ini, Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih berdiri kokoh di pucuk kepolisian Indonesia.

Continue Reading

Review

Bunyi, Makna, dan Kebenaran yang Tertantang

Dalam dunia pendidikan bahasa Inggris, pengucapan sering kali dianggap anak tiri. Namun, melalui orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar di UNJ, Prof. Dr. Ifan Iskandar justru membalik asumsi itu dengan menohok: kesalahan satu fonem bisa berujung maut.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Universitas Negeri Jakarta (UNJ) kembali mencatat sejarah pada 3 Juni 2025 dengan pengukuhan Prof. Dr. Ifan Iskandar, M.Hum. sebagai Guru Besar dalam bidang Pembelajaran Tata Bunyi Bahasa Inggris. Namun, pengukuhan itu bukan sekadar seremoni akademik; ia menjadi panggung kritik terhadap pandangan usang dunia pendidikan yang selama ini menyepelekan pentingnya pengucapan dalam bahasa Inggris.

Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Pemelajaran Swakelola Tata Bunyi Bahasa Inggris, Dinamika Makna, dan Kenisbian Kebenaran Ilmiah”, Prof. Ifan menggugat pemahaman kita atas fonem dan makna. Ia memulai dengan kasus tragis gadis remaja di Spanyol yang meninggal karena salah mendengar “No jump!” sebagai “Now jump!” saat bungee jumping, insiden yang memperlihatkan bahwa satu bunyi bisa jadi soal hidup dan mati. Ini bukan sekadar teori linguistik, tapi realitas yang mendesak.

Menurut Prof. Ifan, tata bunyi bukan hanya soal keindahan pelafalan, melainkan bagian integral dari komunikasi dan pemaknaan. “Keakuratan pengucapan satu fonem bisa menjadi penentu antara benar atau salahnya informasi,” tegasnya dalam orasi yang membakar semangat berpikir kritis. Ia mencontohkan, kata “think” dan “thing” yang terdengar mirip bisa mengubah makna secara drastis jika tidak diucapkan dengan tepat.

Lebih dari itu, orasi ini mengusung konsep pembelajaran swakelola berbasis proyek dengan pendekatan tugas perancah. Pendekatan ini menempatkan mahasiswa bukan hanya sebagai penerima pengetahuan, melainkan aktor aktif dalam merancang, mengeksekusi, dan mengevaluasi pembelajarannya sendiri. Dalam tiga semester, proyek ini diterapkan kepada lebih dari 100 mahasiswa dengan hasil yang signifikan: peningkatan kemampuan pengucapan dari nilai rata-rata 72,9 ke 78,1.

Namun, Prof. Ifan tak berhenti di sana. Ia mengguncang landasan epistemologi ilmu dengan mempertanyakan keniscayaan kebenaran ilmiah. “Kebenaran ilmiah itu nisbi, dibatasi oleh konteks, waktu, dan pelaku,” ujarnya, menyitir contoh pepohonan di Cape Town yang justru merugikan lingkungan, meski secara umum pohon dianggap penyelamat bumi. Dalam dunia ilmu, katanya, bahkan satu matahari bisa memiliki banyak tafsir tergantung sudut pandangnya.

Di akhir orasi, Prof. Ifan menutup dengan refleksi eksistensial: manusia adalah entitas sementara yang kebenarannya tak pernah mutlak. “Dari satu fonem yang berbeda, kita belajar bahwa kebenaran pun bisa goyah. Kebenaran bukan milik tunggal, tapi milik konteks,” katanya.

Orasi ini bukan sekadar akademik, tapi tamparan halus yang menggugah kesadaran: pendidikan bukan tentang menghafal rumus, melainkan membuka ruang berpikir, mempertanyakan, dan meragukan. Jika pendidikan tak mampu mengasah kepekaan terhadap makna dan kebenaran, maka pendidikan telah gagal.

Continue Reading

Review

TA DPR, Ketika Pengangguran Jadi Ahli Parlemen

Tenaga Ahli DPR sering kali dipilih berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi. Mana pernah mereka paham soal kondisi real konstituen, sehingga mereka lebih tepat jadi follower bukan creator apalagi analis yang mampu melihat kondisi real lapangan.

Dila N Andara

Published

on

Moitorday.com – Berdasarkan Peraturan DPR RI Nomor 3 Tahun 2014, setiap anggota dewan berhak mendapatkan lima Tenaga Ahli (TA) dan dua staf administratif yang digaji dari uang negara. Tujuannya mulia: mendukung kerja-kerja legislasi, pengawasan, dan representasi politik. Namun di lapangan, praktiknya jauh dari ideal.

Alih-alih menjadi mitra strategis dalam merumuskan kebijakan atau menyusun analisis kebijakan publik, banyak TA justru tampil sebagai pengikut pasif, lebih sibuk mengatur jadwal pertemuan atau bahkan sekadar mendampingi anggota saat kunjungan kerja ke dapil tanpa kontribusi substantif. Sebagian besar tidak punya kapasitas menganalisis isu, memahami data, atau membaca peta politik. Mereka tidak lebih dari “penumpang resmi” dengan status mewah dan fasilitas negara.

Latar belakang penunjukan pun kerap tak jauh dari ikatan politis atau kedekatan personal. Mantan relawan kampanye, kawan lama, atau bahkan orang yang menganggur pasca-Pemilu, tiba-tiba menjelma sebagai Tenaga Ahli. Tak jarang tanpa latar belakang akademik atau pengalaman yang sesuai. Satu-satunya “keahlian” mereka hanyalah loyalitas pada sang anggota dewan, bukan pada rakyat, bukan pada ilmu, dan bukan pada tugas negara.

Padahal, secara teori, TA punya tugas vital: menyusun materi rapat, melakukan riset kebijakan, menganalisis revisi UU, hingga menyusun program legislasi. Mereka juga seharusnya menjadi penghubung penting antara rakyat di daerah pemilihan dan dewan yang mewakilinya. Tapi bagaimana mungkin itu bisa dijalankan, jika yang dipilih adalah mereka yang tidak pernah bersentuhan dengan konstituen atau tidak tahu-menahu isu publik?

Lebih menyedihkan lagi, tak sedikit dari mereka yang hanya mengandalkan portofolio sebagai mantan MC kampus, mantan aktivis musiman, atau malah tidak memiliki latar belakang organisasi sama sekali. Ketika ditugasi menyusun analisis kebijakan, mereka bungkam. Ketika diminta memberi masukan strategis, mereka absen. Namun, gaji tetap mengalir, fasilitas tetap dinikmati, dan jabatan tetap bergengsi.

Dengan kinerja semacam ini, keberadaan TA justru berpotensi merusak kualitas parlemen. Bagaimana tidak? Anggota DPR yang seharusnya mendapatkan masukan tajam dan cermat justru dikelilingi oleh para “yes man” dengan kompetensi minim. Kebijakan yang lahir dari lingkungan semacam ini tentu jauh dari aspirasi publik, dan hanya menguntungkan segelintir elite politik.

Kritik terhadap rekrutmen TA yang asal-asalan bukanlah hal baru. Tapi hingga kini, belum ada evaluasi serius dari DPR sendiri. Publik pun seolah dibiarkan pasrah melihat anggaran miliaran rupiah digelontorkan untuk membiayai para “ahli tanpa keahlian.” Ini bukan lagi soal kinerja, ini tentang pemborosan yang dilegalkan.

Sudah saatnya DPR RI membenahi sistem pengangkatan TA. Rekrutmen harus terbuka dan berbasis kompetensi, bukan sekadar balas budi politik. Jika tidak, maka lembaga legislatif ini akan terus dikelilingi oleh lingkaran tidak produktif yang justru menenggelamkan kualitas demokrasi kita.

Continue Reading

Review

President Macron: Linguistic Program Gains Global Spotlight

French President Emmanuel Macron praises UNJ’s applied linguistics program and invites students to study in France to strengthen cultural diplomacy.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – A sharp and notable expression of appreciation came from French President Emmanuel Macron for Universitas Negeri Jakarta (UNJ), particularly its Applied Linguistics Program.

During his visit, which carried strong diplomatic undertones, Macron did not hesitate to call the program “very impressive,” praising it as a frontrunner in strengthening cultural ties between Indonesia and France.

This statement was far from mere diplomatic pleasantry, it was a clear signal that the quality of higher education in Indonesia is beginning to attract attention from world leaders.

Macron highlighted that UNJ’s applied linguistics studies go beyond English, encompassing other strategically significant global languages, including French.

He emphasized that the presence of the French Language Education Program is a major asset in building bridges of communication and cultural cooperation.

“This is not just about learning a language—it’s about expanding cross-cultural understanding,” Macron remarked.

Beyond mere praise, Macron went a step further by extending a direct invitation to UNJ’s applied linguistics students to pursue their studies in France. This gesture opens wide the doors for Indonesia’s young generation to broaden their academic and cultural horizons in Europe, while simultaneously strengthening international networks.

This invitation also reflects France’s genuine commitment to deepening educational cooperation, more than just political rhetoric or ceremonial diplomacy.

From an international relations perspective, Macron’s gesture can be seen as a subtle strategy to expand France’s influence through the education sector.

By engaging foreign students, particularly from strategically important countries like Indonesia, France is indirectly fostering early ideological and cultural affinity.

In this context, UNJ plays a central role as a local partner capable of bridging two worlds: academia and diplomacy.

Continue Reading

Review

Macron Bawa Misi, Pulang Bawa Malu

Kunjungan Macron ke Asia lebih mirip pelarian dari isu jatuhnya Rafale dan pertengkaran rumah tangga, bukan misi diplomatik yang bermakna.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Kunjungan kenegaraan Presiden Emmanuel Macron ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, justru memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Alih-alih memperkuat hubungan bilateral atau menunjukkan taring diplomasi Eropa di kawasan Indo-Pasifik, publik malah disuguhi adegan cekcok rumah tangga di kabin pesawat kepresidenan. Tak pelak, Macron dan istrinya, Brigitte yang usianya terpaut jauh darinya, menjadi buah bibir, bukan karena kapasitasnya sebagai kepala negara, melainkan sebagai bintang drama udara tingkat tinggi.

Beredar luas tangkapan layar dari dalam pesawat yang memperlihatkan ketegangan antara Macron dan sang istri. Saling pandang tajam, gestur tangan defensif, hingga ekspresi jengah terlihat jelas, membuat publik bertanya: apakah ini tur kenegaraan atau reality show versi Élysée Palace?

Sementara itu, sorotan tajam publik dan media bukan hanya soal urusan domestik Macron. Ada isu yang lebih “berat” yang seolah ingin dilenyapkan oleh tur ini: tragedi pesawat Rafale buatan Prancis yang baru-baru ini dijatuhkan oleh jet tempur buatan China. Lebih ironis lagi, pilot Rafale tersebut bukan orang Prancis, melainkan India, dan pesawat penembaknya dikendalikan oleh pilot Pakistan. Sebuah skenario geopolitik yang membuat Prancis tampak seperti penonton di arena permainannya sendiri.

Dalam situasi seperti ini, kunjungan Macron ke Asia terkesan sebagai upaya mati-matian untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan besar di industri pertahanan negaranya. Jika sebelumnya Macron dikenal gencar menjajakan jet tempur Rafale ke berbagai negara, kali ini ia terlihat absen dari narasi jual beli senjata. Wajar saja, siapa yang mau beli pesawat yang baru saja dijatuhkan musuhnya di langit?

Alih-alih bicara strategi Indo-Pasifik, Macron seperti menahan malu dan berusaha sekuat tenaga tampil tenang, padahal bukan hanya pesawatnya yang ‘jatuh’, tapi juga citra negaranya di panggung global. Peristiwa ini menegaskan satu hal: diplomasi tidak bisa hanya bermodal tampang muda, bahasa Inggris fasih, dan senyum di depan kamera. Apalagi jika di belakang layar, terjadi perang dingin di kursi kelas satu antara Presiden dan Ibu Negara.

Situasi ini memperkuat kesan bahwa Prancis kini tak lagi jadi pemain utama dalam dinamika geopolitik Asia, apalagi di sektor pertahanan. Saat negara seperti China unjuk gigi lewat kekuatan militer dan kecanggihan teknologi, Prancis hanya mampu menyodorkan drama domestik dan diplomasi kosmetik.

Maka tak berlebihan jika publik Asia bertanya: datangnya Macron ini untuk membawa solusi atau sekadar mencari panggung? Apa pun jawabannya, satu hal pasti untuk sebuah tur yang dibungkus sebagai diplomasi, terlalu banyak adegan sinetron di balik kabin pesawat.

Continue Reading

Review

Trump Usir Mahasiswa Pro Palestina

Trump usir mahasiswa pro-Palestina, Putin dan Xi buka pintu lebar. Amerika dinilai makin represif, Rusia-China justru jadi pelindung kebebasan akademik.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Langkah mengejutkan datang dari Gedung Putih. Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara terang-terangan mengusir mahasiswa internasional yang menyuarakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina. Kebijakan ini tak hanya mengundang kecaman dari dalam negeri, tetapi juga menyulut reaksi keras dari komunitas internasional. Dunia akademik pun geger, sebab kampus sekelas Harvard turut terdampak.

Trump, yang dikenal dengan kebijakan luar negeri keras dan cenderung pro-Israel, menyatakan bahwa “tidak ada tempat bagi simpatisan Palestina di tanah Amerika.” Dalam pernyataannya, ia menuding mahasiswa asing sebagai ancaman ideologis yang merusak “nilai-nilai Amerika”. Sikap keras ini dituding sebagai bentuk represi terhadap kebebasan akademik dan berekspresi, dua nilai yang selama ini dijunjung tinggi oleh negara itu sendiri.

Tindakan Trump ini langsung berbanding terbalik dengan respons dua kekuatan besar dunia: Rusia dan China. Presiden Vladimir Putin dan Presiden Xi Jinping sama-sama membuka pintu bagi mahasiswa yang terusir dari Amerika. Putin menyebut keputusan Trump sebagai “tindakan anti-intelektual yang memalukan”, sementara Xi Jinping menyatakan bahwa “mendukung perjuangan kemerdekaan bukanlah kejahatan, melainkan hak asasi.”

Tak heran jika Rusia dan China segera bergerak cepat. Universitas-universitas ternama di kedua negara langsung menawarkan beasiswa dan program relokasi untuk mahasiswa yang terdampak. Harvard yang kehilangan sejumlah mahasiswa internasional kini melihat para calon intelektual mudanya hijrah ke Moskow dan Beijing. Dunia akademik perlahan bergeser dari barat ke timur.

Fenomena ini membuka tabir hipokrisi dalam sistem demokrasi Amerika. Negara yang selama ini menampilkan diri sebagai penjaga hak asasi manusia kini menunjukkan wajah otoriternya—ketika suara yang berbeda dianggap sebagai ancaman. Alih-alih membina dialog, Trump justru memilih jalur pengusiran massal. Ini bukan hanya krisis moral, tapi juga alarm bagi dunia tentang kebebasan yang makin terancam.

Sebaliknya, Rusia dan China, yang selama ini kerap dituding mengekang kebebasan, justru mengambil peran sebaliknya. Mereka memposisikan diri sebagai pelindung kebebasan akademik global. Dukungan terhadap Palestina bukan hanya soal politik luar negeri, melainkan juga ujian bagi komitmen negara-negara terhadap hak untuk menyuarakan keadilan.

Langkah Trump diprediksi akan berdampak luas, tidak hanya dalam relasi luar negeri AS, tetapi juga pada reputasi universitas-universitasnya. Para mahasiswa, terutama dari negara-negara berkembang, mulai mempertanyakan apakah Amerika masih menjadi tempat terbaik untuk belajar dan berkembang. Jika tren ini terus berlanjut, Amerika berisiko kehilangan statusnya sebagai pusat pendidikan dunia.

Saat dunia memantau, satu pertanyaan mengemuka: apakah Amerika masih bisa dipercaya sebagai rumah kebebasan, ataukah kini berubah menjadi penjaga kepentingan sempit dan kekuasaan semata?

Continue Reading

Review

Membedah Ketatnya Sistem Pendidikan Rusia

Pendidikan Rusia dirancang ketat, terstruktur, dan penuh tekanan, menekankan keunggulan akademik dan keahlian profesional sebagai pondasi kemajuan negara.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Sistem pendidikan Rusia dikenal sebagai salah satu yang paling ketat dan terstruktur di dunia. Dibangun di atas kerangka hukum yang kuat, khususnya Undang-Undang Federal №273 tahun 2012, pendidikan di Rusia digarap dengan serius sejak dini. Mulai dari usia tiga tahun, anak-anak Rusia sudah bisa mengenyam pendidikan prasekolah, meskipun belum bersifat wajib. Namun, begitu memasuki usia sekolah dasar, kewajiban tak bisa ditawar. Anak-anak Rusia harus menyelesaikan pendidikan wajib selama sebelas tahun penuh, terdiri dari empat tahun sekolah dasar, lima tahun sekolah menengah pertama, dan dua tahun sekolah menengah atas.

Namun, tantangan tidak berhenti sampai di sana. Untuk memperoleh “Attestat o srednem obshchem obrazovanii”, semacam ijazah kelulusan tingkat menengah, siswa harus menghadapi Ujian Negara Terpadu atau Unified State Examination (USE). Ujian ini wajib dilalui dengan hasil memuaskan di dua mata pelajaran inti: bahasa Rusia dan matematika. Tekanan tinggi untuk lulus ujian ini menempatkan sistem pendidikan Rusia sebagai salah satu yang paling menantang di dunia.

Setelah itu, pilihan pendidikan terbuka lebar. Bagi yang memilih jalur akademis, pendidikan tinggi menanti dengan jenjang yang terdiri dari Sarjana, Magister, hingga gelar Spesialis. Sementara bagi mereka yang ingin langsung terjun ke dunia kerja, jalur pendidikan kejuruan tersedia. Program ini terbagi dalam dua tingkatan: pelatihan pekerja terampil dan teknisi junior, serta pendidikan lanjutan untuk profesional tingkat menengah. Kedua jalur ini menunjukkan bahwa Rusia tidak hanya mendorong pencapaian akademik, tetapi juga menaruh perhatian besar pada keahlian praktis.

Kurikulum yang padat dan intensif adalah ciri khas lain sistem pendidikan Rusia. Jumlah jam pelajaran per minggu jauh lebih banyak dibandingkan dengan beberapa negara lain. Fokus besar diberikan pada pendidikan umum dan profesional, menjadikan siswa Rusia terbiasa dengan tekanan akademik sejak dini. Sistem ini dirancang untuk mencetak lulusan tangguh yang siap bersaing, baik secara intelektual maupun profesional.

Namun, seperti dua sisi mata uang, sistem ini tak luput dari kritik. Kualitas sekolah negeri masih sangat bergantung pada letak geografis dan kondisi ekonomi daerah masing-masing. Kota besar seperti Moskow dan St. Petersburg menikmati fasilitas pendidikan yang jauh lebih baik dibandingkan wilayah pedesaan. Tak heran, sekolah swasta dan internasional menjadi alternatif yang banyak diminati oleh kalangan menengah atas.

Dalam pelaksanaannya, Kementerian Pendidikan Federal bertindak sebagai pembuat kebijakan utama, sementara Badan Pengawasan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Federal memastikan standar kualitas dan mutu tetap terjaga. Kombinasi keduanya menjadikan sistem pendidikan Rusia sebagai model yang ambisius—menantang tetapi juga menjanjikan.

Bagi negara yang membidik supremasi global melalui kekuatan sains dan teknologi, pendidikan bukan sekadar kewajiban, tetapi investasi strategis. Rusia telah menegaskan bahwa masa depan dibentuk dari ruang kelas hari ini—dengan kurikulum ketat, ujian sulit, dan tuntutan tinggi.

Continue Reading

Review

Hong Kong Sambut Mahasiswa Harvard Korban Trump

Kebijakan Trump dinilai banyak pihak sebagai bentuk diskriminasi akademik yang membahayakan masa depan kolaborasi global di bidang pendidikan. Di saat Washington menutup pintu, Hong Kong justru membukanya lebar-lebar—membalik arus talenta dan pengetahuan dari Barat ke Asia.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menuai kontroversi global. Kali ini, kebijakannya yang melarang universitas di AS menerima mahasiswa asing, termasuk penerima beasiswa, memicu gelombang kritik internasional. Bahkan, mahasiswa asing yang tengah menempuh pendidikan di Universitas Harvard pun dipaksa untuk segera pindah kampus atau menghadapi ancaman deportasi.

Menanggapi kekacauan ini, Hong Kong bergerak cepat dan menyatakan kesiapan untuk menampung para mahasiswa asing Harvard yang terdampak. Langkah ini bukan hanya isyarat solidaritas terhadap dunia pendidikan global, tetapi juga menjadi manuver strategis Hong Kong dalam memosisikan diri sebagai pusat pendidikan internasional yang lebih terbuka dibanding Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump.

“Bagi mahasiswa internasional yang terdampak kebijakan Amerika Serikat, Biro Pendidikan telah mengimbau semua universitas di Hong Kong untuk menyediakan langkah memfasilitasi mahasiswa yang memenuhi syarat,” ujar Menteri Pendidikan Hong Kong Christine Choi, dikutip dari AFP, Sabtu (24/5).

Salah satu langkah konkret universitas di Hong Kong adalah melonggarkan batas maksimal mahasiswa asing. Ini dilakukan demi menarik lebih banyak pelajar ke Hong Kong.

Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong (HKUST), misalnya, yang resmi mengundang para mahasiswa internasional di Harvard pada Jumat (23/5). Mereka mengklaim membuka pintu untuk korban aturan Trump, baik dari Harvard maupun kampus-kampus lain.

“HKUST memperluas kesempatan ini untuk memastikan pelajar berbakat bisa mengejar tujuan pendidikan mereka tanpa gangguan,” tegas kampus tersebut dalam pernyataan resminya.

Pengusiran terhadap mahasiswa asing di AS diumumkan Menteri Keamanan Dalam Negeri AS Kristi Noem. Ia menuduh pihak universitas mempromosikan kekerasan, anti-semitisme, dan berkoordinasi dengan Partai Komunis China.

Sebelumnya, Harvard University menolak memberikan informasi yang diminta Pemerintah AS mengenai visa pelajar di kampus mereka.

Reuters mencatat ada 6.800 mahasiswa asing yang berkuliah di Harvard pada 2025-2026 alias 27 persen dari total keseluruhan pelajar. Sekitar 1.300 mahasiswa berasal dari China.

Warga asal China juga pernah menjadi mahasiswa terbanyak yang masuk Harvard pada 2022 lalu, yakni 1.016 orang.

Harvard langsung mengajukan gugatan ke pengadilan federal terkait aksi Trump. Pengadilan Distrik Massachusetts, Amerika Serikat kemudian menangguhkan langkah pemerintahan Presiden Donald Trump mengusir mahasiswa asing.

“Pemerintahan Trump dilarang melaksanakan pencabutan sertifikasi SEVP (Student and Exchange Visitor Program) milik penggugat,” perintah Hakim Pengadilan Distrik Massachusetts Allison Burroughs dalam sidang perdana.

Sidang lanjutan perkara ini rencananya digelar pada 29 Mei 2025 mendatang.

Continue Reading

Review

Harvard Ditutup Trump, Dunia Melawan

Langkah Presiden AS Donald Trump yang melarang mahasiswa asing, termasuk di Harvard, dinilai sebagai bentuk isolasi emosional yang berbahaya, bahkan oleh tokoh senior seperti Jusuf Kalla

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, secara tegas mengkritik kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang melarang mahasiswa asing menempuh pendidikan di Universitas Harvard. Dalam acara Meet The Leaders di Universitas Paramadina, Jakarta, Sabtu (24/5), JK menyebut kebijakan tersebut tidak rasional dan hanya bermotifkan sentimen terhadap China. “Trump melawan dunia, karena di Amerika sendiri dia tidak disenangi. Orang berontak, orang konflik, orang demo terus-terus,” ungkapnya dengan nada tajam.

Keputusan Trump untuk menutup akses mahasiswa asing ke Harvard, termasuk yang tengah menempuh studi, memicu gelombang protes internasional. Mereka yang tidak segera dipindahkan ke kampus lain terancam kehilangan legalitas tinggal di AS. Bagi JK, ini bukan sekadar kebijakan pendidikan, tetapi refleksi dari kepemimpinan emosional tanpa landasan pengetahuan.

JK menekankan bahwa kemajuan China hari ini justru tak lepas dari proses belajar teknologi dari Amerika. Ia menyayangkan bagaimana Trump merusak sistem pendidikan global demi kepentingan politik sempit. “Hari ini kalau Anda baca ini gila orang ini, Harvard pun ditutupnya untuk orang asing. Kenapa? hanya sentimennya ke China,” ujar JK penuh keheranan.

Data menunjukkan, dari sekitar 6.800 mahasiswa asing di Harvard untuk tahun akademik 2025-2026, hampir 30 persen berasal dari luar AS. Mahasiswa asal China sempat menjadi kelompok terbanyak dengan lebih dari seribu orang pada 2022. Tapi kini, kelompok inilah yang menjadi target utama dari kebijakan diskriminatif Trump.

Sumber Reuters menyebut bahwa larangan ini berangkat dari tudingan terhadap Harvard yang dianggap “mempromosikan kekerasan, antisemitisme, dan berkoordinasi dengan Partai Komunis China”. Pernyataan ini dilontarkan oleh Gubernur South Dakota, Kristi Noem, yang mendukung langkah Trump dengan menyebut penerimaan mahasiswa asing sebagai “privilege”, bukan hak.

Harvard sendiri tidak tinggal diam. Pihak universitas menyebut kebijakan tersebut ilegal dan berpotensi memicu pembalasan internasional. Kampus Ivy League lainnya pun ikut bersuara, memperlihatkan ketegangan yang semakin tajam antara dunia pendidikan dan pemerintahan Trump.

Dengan atmosfer internasional yang memanas dan dunia akademik yang terguncang, komentar JK menjadi sinyal bahwa kebijakan unilateral ini bukan hanya urusan domestik AS, tetapi persoalan global. Dunia kini menghadapi ancaman besar terhadap nilai-nilai kolaborasi ilmu dan kemanusiaan yang selama ini menjadi dasar pertukaran pendidikan internasional.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Sportechment4 hours ago

Inter Milan Dapuk Cristian Chivu Jadi Arsitek Baru

Sportechment4 hours ago

Ivan Gunawan Pamer Kepala Botak Usai Tuntaskan Rangkaian Ibadah Haji

Sportechment5 hours ago

Kapan Liga Spanyol 2025/2026 Dimulai?

Review12 hours ago

Perjamuan Kekuasaan di Meja Makan

Review12 hours ago

Listyo Sigit Tetap Kapolri, Tak Tergoyahkan

Ruang Sujud16 hours ago

Kesalahan Umum Saat Lempar Jumrah dan Cara Menghindarinya

Sportechment17 hours ago

Menanti Pembuktian Marquez Sang Penakluk Sirkuit Aragon, Lihat Jadwalnya

Sportechment19 hours ago

Usai Bertemu Prabowo di Kertanegara, Pemain Timnas Pulang Bawa Jam Tangan Mewah

Ruang Sujud20 hours ago

Sejarah Lempar Jumrah: Jejak Perlawanan Nabi Ibrahim terhadap Setan

News20 hours ago

Kurban, Pendidikan dan Misi Peradaban

Ruang Sujud24 hours ago

Tata Cara Lempar Jumrah: Panduan Lengkap untuk Jemaah Haji

News1 day ago

Makna dan Hikmah di Balik Lempar Jumrah dalam Ibadah Haji

Sportechment2 days ago

Prabowo Bangga Timnas Bekuk China: Perjalanan Belum Usai, Siapa Tahu ke Piala Dunia

Sportechment2 days ago

Ole Romeny Cetak Gol Lagi, Timnas Indonesia Tumbangkan China

Sportechment2 days ago

Wuih! Awali Petualangan Global, Jumbo Rambah Bioskop Rusia hingga Kyrgystan

Ruang Sujud2 days ago

Idul Adha di Era Digital: Tetap Bermakna Meski Berbeda Cara

News2 days ago

Seskab Teddy Gercep Tanggapi Soal Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat

Ruang Sujud2 days ago

Tradisi Kurban: Antara Ibadah, Sosial, dan Kearifan Lokal

News2 days ago

Prabowo Salurkan 985 Sapi Kurban di Iduladha 1446 H, Terberat Capai 1,3 Ton

News2 days ago

Jerman Jatuhkan Hukuman Seumur Hidup Kepada Mantan Milisi Suriah