Monitorday.com – Pendidikan, sebagai pilar utama dalam pembentukan karakter bangsa, kini menghadapi ancaman serius dalam bentuk ide pengiriman siswa yang dianggap “nakal” ke barak militer. Usulan kontroversial ini, yang pertama kali digagas oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama dari pengamat pendidikan. Sebuah gagasan yang seharusnya memupuk kepribadian anak bangsa, malah berisiko merusak esensi pendidikan itu sendiri.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menegaskan bahwa program tersebut adalah kesalahan besar. Menurutnya, ide mengirimkan siswa bermasalah ke barak militer menunjukkan kegagalan sistem pendidikan nasional yang seharusnya mampu memberikan solusi tanpa harus mengalihkan tanggung jawab kepada institusi militer. “Ini merupakan tamparan keras bagi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah,” ujar Ubaid dengan nada kecewa.
Pernyataan Ubaid Matraji tidak hanya menyoroti kegagalan sistem pendidikan, tetapi juga mencerminkan ketidaksesuaian antara tujuan pendidikan dan lembaga yang diusulkan. Militer, yang dirancang untuk menjaga keamanan negara, tidak seharusnya berperan dalam membentuk karakter anak-anak. Pendidikan karakter yang harusnya dilakukan di sekolah justru teralihkan, mengarah pada pendekatan yang lebih keras dan tidak sesuai dengan dunia anak-anak yang penuh dengan dinamika dan eksperimen.
Ubaid berpendapat bahwa anak-anak yang dikategorikan sebagai nakal sebenarnya hanya menunjukkan gejala khas usia mereka, yang membutuhkan pendampingan, bukan pemisahan atau pemaksaan dalam lingkungan yang keras. “Kalau tidak nakal itu bukan anak-anak namanya, itu orang dewasa,” ujarnya. Pendidikan karakter harusnya menekankan pada pembinaan nilai-nilai moral dan etika, bukan pada pengurusan masalah perilaku dengan cara-cara militeristik.
Lebih lanjut, Ubaid menyayangkan fenomena guru dan sekolah yang merasa kewalahan dalam menangani siswa bermasalah. Ia mengkritik bahwa banyak guru dan institusi pendidikan yang tidak lagi memahami esensi pendidikan yang sesungguhnya. “Jika guru angkat tangan, ya resign saja jadi guru. Kalau sekolah angkat tangan, ya tutup saja sekolah itu, buat apa?” kata Ubaid dengan tegas. Pendidikan harus menjadi ruang di mana siswa yang berperilaku menyimpang bisa dibimbing untuk kembali ke jalur yang benar, bukan justru dipaksa untuk mengikuti aturan yang lebih keras dari yang seharusnya.
Meskipun ada argumen yang mengatakan bahwa barak yang dimaksud bukanlah barak militer murni, melainkan fasilitas yang dilengkapi tenaga ahli seperti guru, psikolog, dan dokter, Ubaid tetap bersikeras bahwa pendekatan semimiliter dalam pendidikan tetap bermasalah secara filosofis. Ia khawatir bahwa program ini akan membuka jalan untuk normalisasi militerisme dalam berbagai aspek kehidupan, yang pada akhirnya justru merugikan nilai-nilai pendidikan yang seharusnya berkembang dalam sistem pendidikan sipil.
Ia menyoroti ketidaklogisan dari penggabungan fungsi militer dalam pendidikan. “Kenapa institusi militer? Kenapa urusan makan bergizi, tabung gas, dan pendidikan melibatkan militer? Ada apa dengan bau amis militerisasi?” tanyanya. Bagi Ubaid, ini adalah langkah mundur yang dapat merusak independensi sektor pendidikan.
Dalam menanggapi perbandingan dengan negara seperti Korea Selatan dan Amerika Serikat, Ubaid menegaskan bahwa konteks Indonesia sangat berbeda. Di negara-negara tersebut, militer memainkan peran besar karena ancaman dari negara lain, sementara Indonesia tidak sedang terlibat dalam konflik militer yang mengancam kedaulatan. Oleh karena itu, menurutnya, membawa militer ke dalam pendidikan Indonesia adalah langkah yang berlebihan dan tidak relevan.
Ubaid Matraji mengakhiri pembicaraan dengan menegaskan bahwa sistem pendidikan Indonesia membutuhkan reformasi yang lebih mendalam, bukan solusi instan seperti pengiriman siswa ke barak militer. Pendidikan harus tetap menjadi arena bagi pembentukan karakter, bukan tempat untuk penahanan atau pemaksaan.