Connect with us

Ruang Sujud

Cara Menjaga Lisan agar Terhindar dari Ghibah Sehari-hari

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Menjaga lisan adalah salah satu tantangan terbesar dalam kehidupan sehari-hari, terutama di era serba cepat seperti sekarang. Ghibah bisa terjadi kapan saja dan di mana saja—dalam obrolan santai, di tempat kerja, bahkan dalam grup percakapan daring. Untuk itu, penting bagi setiap Muslim untuk membentengi diri agar tidak terjerumus dalam dosa lisan ini.

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menyadari bahaya dan dosa ghibah. Dengan pemahaman yang benar, seseorang akan lebih berhati-hati dalam setiap ucapan. Islam telah memberikan peringatan keras terkait ghibah, bahkan menyamakannya dengan memakan daging saudara sendiri yang telah mati—gambaran yang sangat menjijikkan dan mengerikan.

Kedua, biasakan berpikir sebelum berbicara. Sebelum menyampaikan sesuatu tentang orang lain, tanyakan pada diri sendiri: apakah ini fakta atau hanya prasangka? Apakah ini akan menyakiti perasaan orang lain jika dia mendengarnya? Apakah manfaatnya lebih besar daripada mudaratnya? Jika jawabannya tidak jelas atau condong negatif, lebih baik diam.

Ketiga, isi waktu dengan kegiatan dan pembicaraan yang bermanfaat. Sering kali ghibah muncul karena waktu luang yang tidak diisi dengan hal positif. Mengikuti kajian, membaca buku, berdzikir, atau berdiskusi tentang ilmu dan kebaikan adalah cara ampuh untuk menghindari percakapan yang melalaikan.

Keempat, pilih lingkungan pergaulan yang sehat. Teman yang baik akan mengingatkan ketika kita khilaf, bukan justru mengajak larut dalam membicarakan orang lain. Jika berada dalam lingkungan yang senang membicarakan aib, lebih baik menarik diri dengan sopan atau mengalihkan topik.

Kelima, perbanyak doa agar dijaga dari lisan yang menyakiti. Rasulullah SAW sendiri sering berdoa agar lisannya selalu berkata baik. Ini menunjukkan bahwa menjaga lisan bukan perkara mudah, bahkan untuk manusia paling mulia sekalipun.

Menjaga lisan adalah tanda ketinggian akhlak dan kematangan iman. Dengan menjaga ucapan, kita menjaga kehormatan diri dan orang lain, serta menjaga hubungan sosial tetap harmonis dan penuh keberkahan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Bahaya Ghibah: Merusak Hati, Merusak Ukhuwah

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Ghibah bukan hanya menyakitkan bagi yang menjadi korban, tetapi juga berbahaya bagi pelakunya. Dalam Islam, ghibah termasuk dalam kategori dosa besar yang secara perlahan dapat merusak hati dan menghancurkan ukhuwah atau persaudaraan sesama Muslim.

Salah satu dampak paling nyata dari ghibah adalah pudarnya kepercayaan. Ketika seseorang terbiasa membicarakan orang lain di belakang, maka lambat laun orang-orang di sekitarnya pun akan merasa tidak nyaman dan mulai menjauh. Rasa saling percaya, yang menjadi fondasi ukhuwah Islamiyah, bisa hancur hanya karena satu kalimat ghibah yang dilontarkan tanpa pikir panjang.

Bahaya lainnya adalah ghibah bisa menjadi kebiasaan yang menumpuk dosa. Seseorang yang sering bergunjing akan terbiasa mencari-cari kesalahan orang lain, sementara lupa memperbaiki diri sendiri. Hati pun menjadi gelap, dipenuhi prasangka buruk, iri, dan dengki. Padahal hati yang bersih adalah syarat untuk mendapatkan rahmat Allah SWT.

Ukhuwah yang rusak akibat ghibah sulit dipulihkan. Bahkan, terkadang menimbulkan permusuhan yang panjang dan dendam berkepanjangan. Padahal Islam sangat menjunjung tinggi ukhuwah dan melarang perpecahan di antara umat. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Janganlah kalian saling membenci, jangan saling mendengki, jangan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, sangat penting untuk menahan diri dari mengucapkan hal-hal yang tidak perlu. Jika merasa terdorong untuk membicarakan seseorang, tanyakan pada diri sendiri: apakah ini akan membangun atau justru merusak hubungan? Islam mengajarkan agar kita saling menutupi aib, bukan saling membuka dan mempermalukan.

Menghindari ghibah adalah bagian dari menjaga hati tetap bersih dan ukhuwah tetap utuh. Karena jika hati rusak dan persaudaraan runtuh, kita hanya akan menjadi pribadi yang penuh dosa dan kehilangan banyak keberkahan dalam hidup.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ghibah dalam Pandangan Islam: Dosa Besar yang Sering Diremehkan

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Ghibah, atau membicarakan keburukan orang lain di belakangnya, adalah perbuatan yang sangat dilarang dalam Islam. Sayangnya, banyak orang yang melakukannya tanpa merasa bersalah, bahkan menganggapnya sebagai hal biasa dalam pergaulan sehari-hari. Padahal, Al-Qur’an secara tegas mengibaratkan ghibah seperti memakan daging saudara sendiri yang sudah mati (QS. Al-Hujurat: 12).

Dalam Islam, ghibah bukan sekadar pelanggaran etika sosial, melainkan dosa besar yang dapat menghapus pahala amal. Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kalian apa itu ghibah? Ghibah adalah engkau menyebutkan sesuatu tentang saudaramu yang ia benci jika mendengarnya.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana jika yang aku katakan itu benar?” Beliau menjawab, “Jika benar apa yang kamu katakan, maka kamu telah mengghibahnya, dan jika tidak benar, berarti kamu telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)

Ghibah tidak terbatas pada percakapan tatap muka. Dalam era digital, ghibah bisa terjadi melalui media sosial, grup WhatsApp, atau kolom komentar. Sering kali, tanpa sadar kita ikut menyebarluaskan aib seseorang hanya karena ikut-ikutan atau merasa ‘berbagi informasi’.

Islam mengajarkan untuk menjaga kehormatan sesama Muslim. Jika kita tahu keburukan orang lain, maka yang seharusnya kita lakukan adalah menasihati dengan bijak, bukan menyebarkannya. Membuka aib orang lain bisa berbalik membuka aib diri kita sendiri, sebagaimana peringatan Rasulullah bahwa siapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.

Kesimpulannya, ghibah adalah dosa serius yang membawa kerugian bagi pelakunya di dunia dan akhirat. Maka, penting bagi kita untuk lebih menjaga lisan dan tulisan, menghindari obrolan yang tidak bermanfaat, dan memilih diam ketika tidak bisa berkata baik. Karena menjaga kehormatan sesama adalah bagian dari keimanan yang sejati.

Continue Reading

Ruang Sujud

Menjaga Kehormatan Sesama: Menghindari Tabarruj di Era Digital

Yusuf Hasyim

Published

on

Mobitorday.com – Tabarruj bukan sekadar soal penampilan pribadi, tetapi juga berkaitan erat dengan tanggung jawab sosial. Dalam Islam, menjaga kehormatan diri tidak hanya untuk melindungi diri sendiri, tetapi juga untuk menjaga kehormatan orang lain. Inilah prinsip utama yang sering dilupakan dalam budaya digital yang serba cepat dan visual. Saat seorang Muslimah menampakkan dirinya secara berlebihan, tanpa sadar ia bisa mengganggu fokus dan ketenangan jiwa orang lain, khususnya kaum lelaki.

Di era digital, tabarruj tidak hanya hadir di jalan atau pusat perbelanjaan, tetapi lebih kuat dampaknya di media sosial: Instagram, TikTok, YouTube, bahkan platform dakwah. Unggahan dengan dandanan berlebihan, gaya bicara menggoda, atau sekadar menampilkan sisi tubuh yang menarik perhatian, semuanya menjadi potensi tabarruj yang bisa mencoreng nilai kesopanan dan kehormatan kolektif umat.

Menjaga diri dari tabarruj adalah bentuk amar makruf nahi mungkar dalam kehidupan modern. Ketika seorang Muslimah dengan sadar memutuskan untuk tidak menampakkan perhiasannya di ruang digital, ia sedang melindungi hati-hati yang mungkin lemah. Tindakan ini bukan hanya bentuk ibadah pribadi, tetapi juga bentuk kasih sayang kepada sesama, dengan tidak memberi celah bagi syahwat dan fitnah berkembang.

Islam memuliakan perempuan dengan menempatkannya sebagai simbol kehormatan. Rasulullah SAW bersabda bahwa dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah perempuan shalihah. Salah satu ciri perempuan shalihah adalah yang mampu menjaga pandangan dan menjaga dirinya dari menjadi pusat perhatian yang tidak syar’i.

Fenomena hari ini, ketika standar kecantikan ditentukan oleh algoritma dan jumlah like, telah membuat banyak Muslimah tidak sadar sedang terjebak dalam budaya tabarruj. Mereka merasa harus tampil cantik, menarik, dan glamor demi diterima atau diakui. Padahal, kehormatan sejati tidak pernah ditentukan oleh tampilan luar, tetapi oleh komitmen pada nilai-nilai kebenaran dan kesucian.

Perlu juga disadari bahwa menghindari tabarruj bukanlah bentuk keterbelakangan atau menolak kemajuan. Justru inilah bentuk kemajuan spiritual, di mana seorang perempuan tidak lagi tergoda oleh pengakuan dunia, tetapi fokus kepada ridha Tuhannya. Inilah bentuk kebebasan sejati—bebas dari tekanan sosial, bebas dari standar kecantikan palsu, dan bebas dari eksploitasi visual.

Mari bangun komunitas Muslimah yang saling mengingatkan, bukan saling membandingkan. Komunitas yang mendukung satu sama lain untuk tetap tampil baik tanpa mengorbankan kehormatan. Komunitas yang tidak menilai dari wajah di kamera, tetapi dari kejujuran dan akhlak yang terpancar dalam tindakan nyata.

Akhirnya, menjaga diri dari tabarruj adalah bentuk kontribusi kecil namun berarti dalam menciptakan lingkungan sosial yang lebih sehat, bermartabat, dan selaras dengan ajaran Islam. Karena ketika kita menjaga kehormatan diri, kita sedang menjaga harga diri seluruh umat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Tabarruj di Era Digital: Tantangan Muslimah Masa Kini

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Di era digital saat ini, tantangan bagi para Muslimah untuk menjaga kesucian diri semakin besar. Salah satu tantangan utama adalah maraknya budaya tabarruj, yaitu berdandan dan menampilkan diri secara berlebihan untuk dilihat banyak orang, terutama melalui media sosial. Jika dahulu tabarruj hanya terjadi di ruang publik, kini ia merambah ruang virtual, di mana setiap unggahan bisa dilihat ribuan bahkan jutaan orang.

Tabarruj di era digital sering tidak disadari. Awalnya hanya sekadar ingin tampil cantik di kamera, kemudian terbiasa memakai filter dan pose tertentu, hingga akhirnya menjadi konten rutin di media sosial. Sayangnya, banyak dari konten itu melampaui batas-batas syar’i: memperlihatkan lekuk tubuh, suara lembut yang menggoda, atau bahkan ekspresi yang ditujukan untuk menarik perhatian laki-laki. Semua ini masuk dalam kategori tabarruj, meskipun hanya terjadi di balik layar ponsel.

Islam tidak melarang seorang Muslimah untuk tampil baik. Yang ditekankan adalah niat dan tujuan, serta bagaimana ia menjaga batasan antara berhias yang dibolehkan dengan berhias yang mengundang fitnah. Perhiasan yang ditampakkan di hadapan laki-laki non-mahram, baik secara langsung maupun lewat foto dan video, tetap termasuk dalam kategori tabarruj yang dilarang oleh agama.

Media sosial menjadi ladang ujian yang sangat besar. Bahkan, banyak akun dakwah atau hijrah yang pada akhirnya tergelincir dalam tabarruj digital. Mengutip ayat dalam QS. An-Nur ayat 31, Allah memerintahkan para perempuan beriman untuk “tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak darinya.” Ayat ini menjadi pengingat kuat bahwa batas aurat dan sikap sopan tidak berubah meski platformnya berubah.

Bukan hanya soal pakaian dan dandanan, tapi juga gestur, gaya bicara, dan cara membawa diri. Banyak konten video yang kelihatannya islami, namun dibumbui dengan penampilan dan gaya yang mengarah pada sensualitas. Ini menjadi bukti bahwa tabarruj digital bukan sekadar risiko, tapi sudah menjadi fenomena sosial yang perlu disikapi serius oleh para Muslimah.

Menjadi perempuan yang menjaga diri di era digital memang tidak mudah. Tapi inilah bentuk nyata dari jihad zaman kini—melawan godaan popularitas, validasi sosial, dan dorongan untuk pamer kecantikan. Justru di tengah arus tersebut, Muslimah yang mampu menahan diri dan menjaga kesopanan akan tampak mulia di sisi Allah dan menjadi teladan bagi sesama.

Langkah konkret yang bisa dilakukan adalah memilah konten yang diunggah, menjaga niat ketika membuat video atau foto, serta tidak memancing komentar-komentar dari lawan jenis. Menutup aurat bukan sekadar pakaian, tapi juga sikap. Jangan sampai keinginan untuk eksis di media sosial justru menyeret kita ke dalam dosa yang terus dilihat banyak orang.

Kesimpulannya, era digital bukan alasan untuk longgar dalam menjaga kesucian. Justru di sinilah medan ujian baru bagi para Muslimah untuk tetap teguh menjaga diri. Mari bersama belajar untuk menghindari tabarruj digital dan mengisi dunia maya dengan konten-konten yang membawa keberkahan, bukan kemaksiatan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Bahaya Tabarruj: Ketika Kecantikan Menjadi Fitnah

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Kecantikan adalah anugerah dari Allah SWT yang patut disyukuri, tetapi ketika ditampakkan secara berlebihan di hadapan publik, ia bisa berubah menjadi fitnah. Inilah yang dimaksud dengan tabarruj, yaitu menampakkan perhiasan, tubuh, atau dandanan secara berlebihan sehingga menarik perhatian lawan jenis. Dalam Islam, tabarruj bukan hanya persoalan gaya, tetapi juga soal keamanan moral dan sosial.

Islam sangat menjaga kehormatan perempuan. Ketika perempuan memamerkan kecantikannya di ruang publik, hal itu dapat menimbulkan fitnah, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Dalam konteks ini, fitnah berarti ujian atau godaan yang bisa menyebabkan seseorang tergelincir dalam dosa. Oleh karena itu, Islam mewajibkan hijab dan mengatur etika berhias bagi perempuan agar tidak menjadi sumber kerusakan.

Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan dalam sabdanya, “Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki selain fitnah perempuan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa daya tarik perempuan yang tidak dijaga dapat menjadi sumber godaan besar bagi kaum laki-laki, sehingga menjadi sebab munculnya kemaksiatan dalam masyarakat.

Dampak negatif dari tabarruj bukan hanya pada aspek moral, tetapi juga pada kestabilan sosial. Ketika perempuan lebih mengutamakan penampilan luar dan mengejar validasi dari pandangan laki-laki asing, maka nilai-nilai keluarga, kesucian, dan kesetiaan bisa tergerus. Bahkan, tidak sedikit kasus perselingkuhan, pelecehan, hingga kekerasan seksual yang berawal dari tampilan yang memancing nafsu.

Di era media sosial, tabarruj semakin tak terbendung. Banyak perempuan yang dengan sengaja menampilkan wajah dan tubuh mereka dalam balutan make-up tebal atau busana yang menarik perhatian. Konten semacam ini sering viral, disukai, dan dikomentari, tanpa disadari memperkuat budaya pamer dan eksploitasi tubuh. Hal ini bukan hanya bertentangan dengan nilai Islam, tetapi juga merendahkan martabat perempuan itu sendiri.

Namun, Islam tidak mengekang perempuan untuk tampil baik. Justru Islam sangat mendorong kebersihan dan kerapian. Perbedaannya terletak pada niat dan konteks. Berhias untuk suami atau dalam lingkungan sesama perempuan adalah hal yang dianjurkan. Tapi jika berhias untuk mendapat pujian dari orang asing, itulah yang dikategorikan sebagai tabarruj dan dilarang.

Solusi dari bahaya tabarruj adalah dengan menanamkan kesadaran bahwa kecantikan sejati adalah kecantikan hati. Ketika seorang perempuan fokus memperbaiki akhlaknya, memperdalam ilmunya, dan menjaga aurat serta kesopanan, maka ia akan menjadi teladan yang diridhai Allah dan dihormati masyarakat. Kecantikan fisik itu fana, tapi kecantikan iman akan abadi.

Sebagai penutup, marilah kita renungkan bahwa menjaga diri dari tabarruj bukan berarti menolak menjadi cantik, tetapi memilih untuk menjadi cantik dengan cara yang benar. Jangan biarkan kecantikan menjadi sumber fitnah, tapi jadikan ia sebagai jalan menuju ridha Allah dan kemuliaan hidup.

Continue Reading

Ruang Sujud

Tabarruj dalam Pandangan Islam: Antara Gaya dan Dosa

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Tabarruj adalah istilah dalam Islam yang merujuk pada perilaku berhias atau berdandan berlebihan dengan tujuan menarik perhatian lawan jenis. Dalam bahasa Arab, kata ini berasal dari akar kata baraja, yang berarti menampakkan sesuatu dengan jelas. Dalam konteks syariat, tabarruj dianggap sebagai bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan prinsip kesopanan dan kesucian yang diajarkan kepada perempuan Muslimah.

Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW memberikan peringatan keras terhadap praktik tabarruj, karena ia dapat membuka pintu fitnah. Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 33, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” Ayat ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki para Muslimah menjaga diri, termasuk dalam berpakaian dan berhias, agar tidak menjadi sumber godaan bagi kaum lelaki.

Bukan berarti Islam melarang perempuan untuk berhias sama sekali. Islam justru menganjurkan kebersihan, kerapihan, dan penampilan yang baik, terutama di hadapan suami. Namun, batasannya jelas: tidak boleh dilakukan dengan maksud menarik perhatian di ruang publik atau disaksikan oleh laki-laki non-mahram. Perhiasan atau busana yang mencolok dan menarik pandangan secara sengaja termasuk dalam kategori tabarruj.

Sayangnya, di era modern ini, batasan antara berdandan wajar dan tabarruj kian kabur. Tren fashion, media sosial, dan gaya hidup yang menonjolkan visual telah membuat banyak Muslimah terjebak dalam budaya mempercantik diri di luar batas yang dibolehkan agama. Bahkan, tidak sedikit yang menjadikan selfie sebagai ajang pamer kecantikan yang akhirnya menyeret mereka pada tabarruj tanpa disadari.

Tabarruj bukan hanya soal pakaian minim, tetapi juga menyangkut cara berjalan, berbicara, dan bersikap. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah menyebutkan bahwa di akhir zaman akan ada perempuan yang berpakaian tapi telanjang, berjalan dengan lenggak-lenggok, dan kepala mereka seperti punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak mencium aromanya. Hadis ini mengindikasikan bahwa gaya berlebihan bisa menjadi sebab seseorang jauh dari rahmat Allah.

Menjaga diri dari tabarruj adalah bentuk ketaatan kepada Allah dan wujud dari rasa malu yang merupakan bagian dari iman. Muslimah yang memahami batasan syar’i akan berusaha tampil bersahaja namun tetap rapi dan bersih. Kecantikan yang sejati bukanlah yang terlihat oleh mata, tetapi yang terpancar dari akhlak dan ketakwaan.

Sebagai penutup, mari renungkan bahwa setiap bagian dari tubuh dan penampilan kita adalah amanah. Menggunakannya sesuai petunjuk syariat bukan sekadar bentuk ketaatan, tapi juga perlindungan dari fitnah dan kehinaan. Memilih untuk tidak tabarruj bukan berarti menolak kecantikan, tetapi menjaganya agar tetap dalam koridor yang diridhai Allah SWT.

Continue Reading

Ruang Sujud

Menjaga Kehormatan Sesama: Menghindari Thaharah di Era Digital

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Thaharah, dalam pengertian luas, tidak hanya sebatas membersihkan tubuh dari najis atau hadas, tetapi juga mencakup kebersihan hati, pikiran, dan interaksi sosial. Di era digital saat ini, konsep thaharah dapat dikembangkan sebagai nilai moral dalam menjaga kehormatan dan etika antar sesama, terutama dalam penggunaan media sosial dan komunikasi daring.

Dalam Islam, menjaga kebersihan hati dan tutur kata sangat dianjurkan. Media sosial yang penuh dengan komentar kasar, fitnah, dan ghibah seringkali menjadi lahan kotor yang mencemari jiwa. Dalam hal ini, thaharah bisa dimaknai sebagai upaya menyucikan diri dari konten-konten negatif dan menjaga kehormatan sesama pengguna digital. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketika kita memutuskan untuk mengunggah sesuatu di media sosial, kita juga punya tanggung jawab moral untuk menyebarkan yang benar, bukan hoaks atau ujaran kebencian. Ini bagian dari thaharah digital: membersihkan lingkungan virtual dari hal-hal yang merusak martabat orang lain. Seperti halnya najis yang harus dibersihkan sebelum salat, konten kotor pun harus dijauhkan agar hati tetap bersih dalam bersosialisasi secara daring.

Thaharah dalam konteks sosial juga berarti menghindari hal-hal yang menjatuhkan martabat orang lain. Di zaman sekarang, perbuatan seperti menyebar foto tanpa izin, membuka aib, atau mempermalukan orang di ruang publik digital adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip menjaga kehormatan sesama. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 12: “Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah menggunjing satu sama lain…”.

Kebersihan hati menjadi inti dari thaharah sosial. Hati yang bersih akan mendorong seseorang untuk menyebarkan kebaikan dan menjaga adab dalam interaksi. Thaharah hati bisa dilakukan dengan memperbanyak dzikir, istighfar, dan menahan diri dari prasangka buruk. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi ini, menjaga ketenangan batin adalah bentuk thaharah yang sangat relevan.

Era digital memudahkan kita untuk menilai, mengomentari, bahkan menghina orang lain tanpa melihat langsung wajahnya. Di sinilah pentingnya memahami bahwa Islam bukan hanya mengajarkan kebersihan lahir, tapi juga batin. Thaharah bukan hanya untuk salat, tapi juga untuk membentuk kepribadian mulia dalam bermasyarakat.

Kesimpulannya, menjaga thaharah tidak berhenti pada wudhu atau mandi wajib, melainkan juga pada bagaimana kita menjaga lisan, tulisan, dan hati dari hal-hal yang kotor. Dunia digital butuh lebih banyak orang yang suci secara etika dan spiritual. Maka, mari jadikan thaharah sebagai prinsip hidup, baik dalam ruang nyata maupun dunia maya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Thaharah Sebagai Syarat Sah Ibadah: Kajian Fikih Praktis

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Thaharah bukan sekadar anjuran dalam Islam, melainkan merupakan syarat sah bagi sejumlah ibadah utama. Tanpa thaharah yang benar, ibadah seperti salat, tawaf, dan menyentuh mushaf Al-Qur’an menjadi tidak sah. Oleh karena itu, pemahaman tentang fikih thaharah sangat penting agar umat Islam dapat melaksanakan ibadah dengan sempurna dan diterima oleh Allah SWT.

Dalam salat, thaharah menjadi fondasi utama. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi SAW, “Tidak diterima salat seseorang tanpa bersuci” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa ibadah salat tidak akan sah jika seseorang masih berada dalam keadaan hadas atau belum menyucikan diri dari najis. Karena itu, memastikan diri telah berwudhu atau mandi wajib sebelum salat adalah bentuk ketaatan yang mendasar.

Selain salat, thaharah juga menjadi syarat untuk tawaf mengelilingi Ka’bah. Sebagaimana halnya salat, ibadah tawaf menuntut kebersihan dari hadas dan najis. Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan tawaf dalam keadaan tidak suci maka tawafnya tidak sah, dan harus diulang setelah bersuci.

Thaharah juga menjadi syarat bagi seseorang yang ingin menyentuh mushaf Al-Qur’an. Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyentuh mushaf dalam keadaan hadas kecil maupun besar adalah tidak diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada ayat, “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al-Waqi’ah: 79), meskipun terdapat perbedaan penafsiran, namun kehati-hatian tetap dianjurkan.

Dalam kajian fikih praktis, penting pula memahami hal-hal yang membatalkan thaharah. Misalnya, buang air kecil atau besar, keluar angin dari dubur, tidur pulas, atau menyentuh kemaluan secara langsung tanpa pembatas. Begitu pula untuk mandi wajib, seseorang harus memastikan tidak ada bagian tubuh yang terlewat, karena jika masih ada yang belum terkena air, maka mandinya tidak sah.

Kajian fikih thaharah tidak hanya terbatas pada teori, tetapi harus diterapkan dalam keseharian. Umat Islam perlu membiasakan diri untuk memahami tata cara bersuci yang benar, seperti menggunakan air secukupnya tanpa berlebihan, dan memastikan tempat ibadah dalam keadaan suci. Bahkan dalam kondisi terbatas seperti sakit atau tidak ada air, Islam memberikan alternatif tayammum, sebagai bentuk kemudahan dalam bersuci.

Dengan demikian, thaharah bukan hanya soal bersih fisik, tetapi juga tanda kesiapan spiritual untuk berinteraksi langsung dengan Allah. Ia menjadi pintu masuk untuk semua ibadah besar dalam Islam. Maka, menjaga thaharah adalah menjaga kualitas ibadah itu sendiri. Siapa yang meremehkannya, maka ibadahnya pun bisa terancam sia-sia.

Continue Reading

Ruang Sujud

Jenis-jenis Thaharah: Dari Wudhu hingga Mandi Wajib

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam Islam, thaharah atau bersuci memiliki beberapa bentuk yang disesuaikan dengan keadaan hadas atau najis yang dialami seseorang. Secara umum, thaharah terbagi menjadi dua jenis utama: thaharah dari hadas dan thaharah dari najis. Keduanya memiliki cara dan ketentuan masing-masing yang telah diatur dalam syariat Islam.

Pertama, thaharah dari hadas kecil dapat dilakukan dengan wudhu. Wudhu adalah membasuh anggota tubuh tertentu dengan air, seperti wajah, tangan, kepala, dan kaki. Wudhu menjadi syarat sah untuk melakukan salat dan ibadah lainnya. Apabila seseorang berhadats kecil—seperti buang air kecil, buang angin, atau tidur nyenyak—maka wudhu wajib dilakukan sebelum kembali beribadah.

Kedua, untuk hadas besar, dibutuhkan mandi wajib atau ghusl. Ini dilakukan ketika seseorang mengalami kondisi seperti junub, haid, atau nifas. Proses mandi wajib meliputi niat, membasuh seluruh tubuh tanpa ada bagian yang terlewat, dan menghilangkan najis jika ada. Tanpa mandi wajib, ibadah seperti salat, puasa, atau membaca Al-Qur’an dalam kondisi junub tidak diperbolehkan.

Selain itu, ada pula tayammum, yaitu bersuci menggunakan debu atau tanah suci ketika air tidak tersedia atau tidak dapat digunakan karena alasan tertentu seperti sakit. Tayammum juga memiliki tata cara khusus, seperti menyapukan debu ke wajah dan kedua tangan. Ini menunjukkan fleksibilitas Islam dalam menjaga kemudahan umatnya dalam menjalankan ibadah.

Di samping hadas, Islam juga mengenal thaharah dari najis, yaitu benda yang kotor menurut syariat seperti darah, air kencing, atau kotoran. Membersihkan najis dilakukan dengan mencucinya hingga hilang bau, warna, dan rasanya. Dalam beberapa kasus seperti najis mutawassithah (najis sedang), cukup dengan air bersih. Sedangkan najis mughallazhah (najis berat seperti anjing), harus dibersihkan dengan tujuh kali basuhan dan salah satunya menggunakan tanah.

Pemahaman terhadap jenis-jenis thaharah penting agar umat Islam dapat menunaikan ibadahnya dengan benar dan sah. Kecerobohan dalam bersuci bisa membuat ibadah menjadi tidak diterima. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk mempelajari dan membiasakan praktik thaharah dalam kehidupan sehari-hari.

Dari wudhu yang dilakukan lima kali sehari, hingga mandi wajib yang menyucikan diri dari hadas besar, semua bentuk thaharah mengajarkan kedisiplinan, ketertiban, dan spiritualitas yang tinggi. Islam meletakkan nilai besar pada kebersihan sebagai bagian dari keimanan, menjadikan thaharah bukan sekadar ritual, tetapi juga gaya hidup.

Continue Reading

Ruang Sujud

Makna dan Pentingnya Thaharah dalam Kehidupan Sehari-hari

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam ajaran Islam, thaharah atau bersuci bukan hanya soal kebersihan fisik, melainkan juga cerminan kebersihan jiwa dan kepatuhan seorang Muslim terhadap perintah Allah. Thaharah berasal dari kata “thahara” yang berarti bersih atau suci. Dalam konteks agama, thaharah mencakup semua bentuk upaya untuk membersihkan diri dari hadas (besar maupun kecil) serta najis yang menghalangi seseorang untuk beribadah secara sah.

Thaharah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kebersihan adalah sebagian dari iman” (HR. Muslim). Hadis ini menjelaskan bahwa kebersihan bukan hanya aspek kesehatan, tapi juga ibadah. Dengan tubuh dan pakaian yang bersih, serta tempat ibadah yang suci, seorang Muslim menjadi layak untuk menghadap Allah dalam salat maupun ibadah lainnya.

Praktik thaharah dimulai dari hal-hal kecil yang sering dilakukan sehari-hari, seperti mencuci tangan sebelum makan, berwudhu sebelum salat, menjaga kebersihan pakaian, hingga memotong kuku dan merapikan rambut. Semua ini bukan sekadar kebiasaan baik, melainkan bagian dari ibadah yang bernilai pahala.

Lebih dari itu, thaharah juga mengajarkan keteraturan hidup. Dengan rutin menjaga kebersihan diri, rumah, dan lingkungan, umat Islam didorong untuk menjadi pribadi yang disiplin dan bertanggung jawab. Kebersihan lahir ini secara tidak langsung mencerminkan kebersihan batin, karena seseorang yang menjaga fisiknya bersih biasanya juga berusaha menjaga hatinya dari sifat buruk.

Dalam kehidupan modern, nilai-nilai thaharah tetap relevan. Di tengah dunia yang rentan terhadap penyakit dan polusi, ajaran thaharah menjadi solusi Islami yang mendukung gaya hidup sehat. Misalnya, membiasakan mencuci tangan, mandi secara teratur, serta membuang sampah pada tempatnya—semuanya bisa dilihat sebagai wujud implementasi thaharah dalam konteks kontemporer.

Kesimpulannya, thaharah adalah fondasi dari kehidupan spiritual dan sosial umat Islam. Ia bukan hanya syarat sah ibadah, tetapi juga cerminan keimanan dan kesadaran akan pentingnya hidup bersih. Menjaga thaharah berarti menjaga hubungan kita dengan Allah dan juga sesama manusia. Maka, mari jadikan thaharah sebagai bagian dari gaya hidup, bukan hanya ketika hendak salat, tetapi dalam setiap aspek kehidupan kita.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



News58 minutes ago

Prabowo Minta Kader Stop Serukan 2 Periode! Calonkan KDM kah?

News1 hour ago

Presiden Prabowo Buat Indonesia Hemat Ratusan Triliun, Caranya??

Sportechment7 hours ago

Ogah Pensiun, Tom Cruise Bertekad Berakting hingga Usia…

Sportechment7 hours ago

Tolak Persija, Ramadhan Sananta Resmi Hijrah ke Klub Asal Brunei Darussalam

News7 hours ago

Ojol Gelar Demo Besar Hari Ini, Apa Saja Tuntutannya?

Review11 hours ago

India Main Api, Pakistan Siap Basmi

Review12 hours ago

Ide Gila KDM soal Daun Jati

News17 hours ago

Polemik Potongan Tarif Ojol, Pemerintah Panggil Aplikator dan Siapkan Solusi

News18 hours ago

RS Indonesia di Gaza Tutup Total Akibat Serangan Israel, Sistem Kesehatan Runtuh

Sportechment18 hours ago

Kenapa Elkan Baggott Tak Masuk Skuad Timnas Indonesia? Ini Jawaban PSSI

Sportechment19 hours ago

Coach Kluivert Panggil 32 Pemain Gabung Timnas Indonesia, Siapa Saja?

Sportechment19 hours ago

Indonesia Unjuk Gigi di Cannes Lewat Film dan Budaya

News19 hours ago

Ghibah di Media Sosial: Dosa Lama dalam Wajah Baru

News19 hours ago

Diplomasi Budaya: PM Paetongtarn Ajak Prabowo Kunjungi Pameran Seni dan Kuliner Thailand

News21 hours ago

Kemendikdasmen Digitalisasi 33.182 Sekolah 3T Untuk Pemerataan Pendidikan Nasional

Ruang Sujud23 hours ago

Cara Menjaga Lisan agar Terhindar dari Ghibah Sehari-hari

Ruang Sujud1 day ago

Bahaya Ghibah: Merusak Hati, Merusak Ukhuwah

Sportechment1 day ago

Sang Anak Cetak 2 Gol Indah Buat Ronaldo Bangga

Ruang Sujud1 day ago

Ghibah dalam Pandangan Islam: Dosa Besar yang Sering Diremehkan

News1 day ago

Larang Kader Serukan ‘Dua Periode’, Ini Alasan Prabowo