Connect with us

Ruang Sujud

Irhash dan Mukjizat: Apa Bedanya dan Mengapa Penting Dipahami?

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam memahami perjalanan kenabian, sering kali orang menyamakan antara irhash dan mukjizat, padahal keduanya memiliki perbedaan penting baik dari segi waktu maupun tujuan. Memahami perbedaan ini membantu kita lebih dalam mengapresiasi bagaimana Allah SWT menyiapkan dan mendukung para nabi-Nya, khususnya Nabi Muhammad SAW.

Irhash adalah kejadian luar biasa yang terjadi sebelum seorang nabi diangkat secara resmi oleh Allah. Fungsinya adalah sebagai tanda awal kenabian dan untuk menarik perhatian masyarakat terhadap keistimewaan calon nabi tersebut. Contoh dari irhash adalah peristiwa Tahun Gajah, padamnya api Majusi, serta akhlak agung yang dimiliki Nabi Muhammad SAW sejak kecil.

Sementara itu, mukjizat adalah kejadian luar biasa yang terjadi setelah kenabian diresmikan, sebagai bukti kerasulan dan senjata menghadapi kaum yang menentang. Mukjizat seperti terbelahnya bulan, Isra’ Mi’raj, dan tentu saja Al-Qur’an adalah bukti-bukti kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Mukjizat memiliki fungsi pembuktian langsung terhadap klaim kenabian.

Mengapa penting memahami perbedaan ini? Karena hal ini menunjukkan bahwa kenabian adalah proses yang tidak terjadi tiba-tiba. Allah mempersiapkan utusan-Nya jauh sebelum mereka menerima wahyu. Ini juga menjadi dalil bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah sosok biasa, melainkan telah berada dalam pengawasan dan penjagaan Allah sejak sebelum lahir.

Dengan mengetahui apa itu irhash dan membedakannya dari mukjizat, kita bisa memahami bahwa seluruh kehidupan Nabi Muhammad SAW—sebelum dan sesudah wahyu—adalah bukti kebenaran dan kebesaran Allah SWT dalam memilih utusan-Nya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Irhash dalam Perspektif Ulama: Bukti Kerasulan Sejak Sebelum Wahyu

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Para ulama memiliki perhatian besar terhadap irhash karena fenomena ini menunjukkan bahwa kenabian adalah proses yang disiapkan secara ilahiah, bukan tiba-tiba datang begitu saja. Dalam berbagai kitab sirah dan tafsir, irhash dipandang sebagai bentuk pemuliaan Allah terhadap calon nabi, dan sebagai pengantar bagi masyarakat agar mengenali sosok tersebut sebagai pilihan Tuhan.

Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menyebut bahwa irhash adalah tanda-tanda yang terjadi sebelum kenabian yang hanya bisa terjadi dengan izin Allah dan tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa. Ulama lain seperti Ibn Hajar al-Asqalani juga menjelaskan bahwa irhash bukan hanya berlaku pada Nabi Muhammad SAW, tapi juga terjadi pada nabi-nabi sebelumnya, seperti Musa AS dan Isa AS yang juga mengalami keajaiban sebelum diangkat menjadi rasul.

Dalam kasus Nabi Muhammad SAW, irhash tidak hanya hadir dalam bentuk peristiwa fisik seperti hancurnya pasukan Abrahah atau padamnya api Majusi, tetapi juga dalam bentuk akhlak yang luar biasa sejak muda. Ulama menjelaskan bahwa sirah nabawiyah menjadi saksi bagaimana beliau dijauhkan dari dosa-dosa, dilindungi dari syirik, dan dipelihara hatinya dari keburukan sejak kecil.

Menurut ulama, irhash adalah bentuk persiapan spiritual, sosial, dan bahkan politis dari Allah terhadap dunia, bahwa akan datang seorang pemimpin besar yang membawa kebenaran. Ini menjelaskan mengapa bangsa Arab, Romawi, dan Persia pada masa itu merasakan kegelisahan dan tanda-tanda perubahan besar, karena dunia sedang menanti cahaya kenabian terakhir.

Dengan memahami perspektif para ulama tentang irhash, kita tidak hanya mendapatkan pengetahuan sejarah, tapi juga semakin yakin bahwa setiap nabi adalah hasil bimbingan dan penjagaan Allah sejak awal kehidupan mereka.

Continue Reading

Ruang Sujud

Contoh Irhash dalam Kehidupan Nabi: Tanda-Tanda Kenabian yang Terlupakan

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad SAW sudah menunjukkan banyak tanda kenabian. Peristiwa-peristiwa ini dikenal sebagai irhash, yaitu kejadian luar biasa yang menandai bahwa seorang nabi telah dipersiapkan oleh Allah SWT. Sayangnya, tak sedikit dari kita yang justru melupakan keajaiban-keajaiban ini karena lebih fokus pada mukjizat setelah turunnya wahyu.

Salah satu contoh paling terkenal adalah peristiwa Tahun Gajah, di mana pasukan Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah dihancurkan oleh burung ababil. Tahun tersebut adalah tahun kelahiran Rasulullah SAW. Ini adalah sinyal kuat bahwa sosok istimewa akan hadir ke dunia. Selain itu, ketika beliau lahir, api suci kaum Majusi di Persia yang tak pernah padam selama lebih dari seribu tahun, tiba-tiba padam. Peristiwa ini sangat mengguncang spiritualitas bangsa Persia saat itu.

Dalam masa kecilnya, Nabi Muhammad juga mengalami kejadian luar biasa seperti dibelah dadanya oleh malaikat Jibril untuk dibersihkan hatinya. Kejadian ini terjadi dua kali—pertama saat beliau masih kecil dan kedua menjelang Isra Mi’raj. Selain itu, kejujuran, amanah, dan ketenangan yang beliau miliki sejak remaja sudah menjadi tanda bahwa dirinya berbeda dari yang lain. Julukan Al-Amin bukanlah sekadar pujian, tapi isyarat irhash sosial yang menandakan kualitas kenabian.

Contoh-contoh ini seharusnya menjadi bahan renungan kita bahwa kenabian bukan muncul secara mendadak, melainkan disiapkan dan diberi tanda sejak jauh hari. Irhash bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan pelajaran bahwa Allah selalu memberikan petunjuk dan tanda bagi orang-orang yang dipilih-Nya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mengenal Irhash: Mukjizat Terselubung Sebelum Kenabian Muhammad SAW

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW, sering kali kita hanya mengenal mukjizat yang datang setelah turunnya wahyu, seperti Al-Qur’an. Namun, sebelum Muhammad SAW diangkat menjadi nabi, sudah banyak kejadian luar biasa yang disebut sebagai irhash. Istilah irhash merujuk pada kejadian luar biasa atau tanda-tanda kenabian yang dialami calon nabi sebelum kenabian resmi dimulai.

Irhash menjadi salah satu bukti bahwa Allah SWT telah mempersiapkan utusan-Nya sejak jauh hari. Peristiwa seperti guncangnya istana Kisra saat Nabi lahir, padamnya api suci kaum Majusi, serta hancurnya tentara bergajah Abrahah dalam peristiwa Tahun Gajah, semua dikategorikan sebagai bentuk irhash. Kejadian-kejadian ini bukan hanya luar biasa, tetapi juga sarat makna dan isyarat spiritual.

Para ulama menyebut irhash sebagai bagian dari kemuliaan Allah kepada calon nabi-Nya. Ini menjadi pembuka jalan agar manusia mulai memperhatikan sosok tersebut sebelum kenabian tiba. Rasulullah SAW sendiri mengalami banyak pengalaman spiritual dan sosial yang membuatnya menonjol di masyarakat Mekah, bahkan sebelum wahyu pertama turun.

Memahami irhash bukan hanya soal mengenal sejarah, tapi juga menyadari bahwa perjalanan kenabian adalah proses panjang yang penuh hikmah. Dengan mengenal irhash, kita diajak merenungi bahwa kenabian bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, tetapi hasil dari proses pendidikan ilahi sejak dini.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mendidik Anak dengan Nilai Ihsan: Membangun Generasi Berakhlak Mulia

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Mendidik anak dalam Islam tidak hanya soal memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai spiritual dan akhlak. Salah satu nilai tertinggi yang perlu dikenalkan sejak dini adalah ihsan. Ihsan mengajarkan anak bahwa setiap perbuatannya dilihat oleh Allah, sehingga ia terdorong untuk bersikap jujur, bertanggung jawab, dan penuh kasih, meski tanpa pengawasan manusia.

Mengajarkan ihsan pada anak dimulai dari hal paling mendasar: kesadaran bahwa Allah Maha Melihat. Ketika anak diberitahu bahwa Allah melihat saat ia berbohong atau menolong temannya, ia belajar untuk mengontrol diri dari dalam, bukan karena takut dimarahi orang tua, tetapi karena ingin dicintai Allah. Inilah pondasi moral yang kokoh—motivasi berbuat baik karena dorongan iman, bukan semata tekanan sosial.

Orang tua berperan penting dalam menumbuhkan ihsan. Bukan sekadar memerintah, tapi menjadi teladan nyata. Anak-anak cenderung meniru, bukan mendengar. Jika orang tua salat dengan khusyuk, berkata lembut, menepati janji, dan menolong orang lain, maka anak akan meniru perilaku itu. Bahkan dalam interaksi sehari-hari, seperti meminta maaf, mengucapkan terima kasih, atau berbagi makanan, semua bisa menjadi ladang pembelajaran ihsan jika dijelaskan maknanya dengan baik.

Sekolah juga bisa menjadi tempat strategis untuk menanamkan nilai ihsan. Guru yang mengajar dengan ikhlas, menghargai murid, dan memberikan penilaian yang adil sedang memperlihatkan praktik ihsan dalam dunia pendidikan. Begitu juga ketika anak diajak berdiskusi tentang empati, kejujuran, dan tanggung jawab, semua itu akan membentuk karakter yang kuat.

Menanamkan nilai ihsan bukanlah proses instan. Butuh waktu, konsistensi, dan lingkungan yang mendukung. Tapi hasilnya luar biasa. Anak yang tumbuh dengan ihsan akan menjadi pribadi yang tidak mudah tergoda berbuat curang, tidak menyakiti orang lain, dan memiliki kesadaran moral tinggi meski sedang sendiri. Mereka menjadi generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang secara spiritual.

Di era modern yang penuh distraksi dan tantangan moral, nilai ihsan adalah pelindung hati anak-anak kita. Ia menjadi kompas yang membimbing mereka dalam memilih yang benar meskipun tak ada yang melihat. Mendidik dengan ihsan berarti membangun generasi masa depan yang bukan hanya sukses, tapi juga mulia.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ihsan sebagai Pilar Tertinggi dalam Agama: Di Atas Iman dan Islam

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam struktur beragama Islam, terdapat tiga lapisan utama yang saling melengkapi: Islam, Iman, dan Ihsan. Islam adalah fondasi lahiriah—syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Iman adalah keyakinan batiniah kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir. Namun, di puncak tertinggi, ada ihsan—sebuah kualitas spiritual yang menjadikan seseorang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya. Jika tidak mampu, maka ia sadar bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.

Ihsan tidak menggantikan Islam atau Iman, melainkan menyempurnakannya. Seorang muslim bisa saja menunaikan semua rukun Islam dan memiliki keyakinan yang kuat, tetapi tanpa ihsan, amalnya bisa terasa hambar dan rutinitas. Ihsan memberikan ruh, rasa, dan kedalaman dalam setiap ibadah dan amal perbuatan.

Rasulullah ﷺ dalam hadis Jibril menunjukkan secara eksplisit bahwa ihsan adalah dimensi tertinggi dalam beragama. Ihsan adalah buah dari iman yang mendalam dan keislaman yang konsisten. Seorang yang berihsan tidak hanya menjalankan kewajiban karena aturan, tapi karena cinta. Ia salat dengan hati yang hadir, bukan sekadar gerakan tubuh. Ia memberi dengan ikhlas, bukan karena ingin dipuji. Ia bersabar karena percaya bahwa semua ujian mengandung hikmah dari Allah.

Dalam konteks kehidupan sosial, ihsan mendorong kita untuk berbuat lebih dari sekadar adil. Ihsan berarti membalas keburukan dengan kebaikan, memberi tanpa berharap kembali, dan memaafkan meski mampu membalas. Al-Qur’an menyebutkan, “Balaslah kejahatan dengan yang lebih baik, maka orang yang bermusuhan denganmu akan menjadi seperti teman yang setia.” (QS. Fussilat: 34).

Ihsan juga mengubah perspektif seorang hamba. Ia tidak lagi melihat hidup ini hanya dari sisi duniawi, tetapi juga dari sisi ukhrawi. Ia memandang masalah sebagai sarana mendekat kepada Allah, dan kesuksesan sebagai ujian kesyukuran. Semua dilihat dalam bingkai ridha dan pengawasan Allah.

Maka, berusahalah untuk naik dari level Islam dan Iman menuju Ihsan. Tidak mudah, tapi sangat berharga. Karena ihsan adalah tanda bahwa seseorang benar-benar dekat dengan Tuhannya—bukan hanya melalui ibadahnya, tapi juga melalui setiap langkah kehidupannya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ihsan dalam Kehidupan Sehari-hari: Menjadi Hamba yang Berkualitas

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Ihsan bukan hanya soal ibadah di masjid atau saat kita berdoa dengan khusyuk. Ihsan adalah cara pandang hidup, cara kita menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas harian—di rumah, di tempat kerja, di jalan, bahkan saat kita bersosialisasi. Ihsan menjadikan hidup lebih berkualitas karena setiap perbuatan dilakukan dengan penuh kesadaran, niat baik, dan keinginan untuk memberi yang terbaik, bukan hanya untuk manusia, tapi untuk Allah.

Coba bayangkan seseorang yang bekerja di kantoran, lalu ia datang tepat waktu, menyelesaikan tugas dengan rapi, dan tidak menipu waktu kerja meskipun atasan tidak melihat. Ia melakukan semua itu bukan semata karena takut dimarahi, tapi karena yakin bahwa Allah selalu mengawasinya. Inilah ihsan dalam bekerja—bekerja dengan jujur dan sungguh-sungguh karena Allah.

Atau lihatlah seorang ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak, membersihkan rumah, dan menyiapkan makanan. Meski tak ada yang memberi pujian, ia tetap menjalankan perannya dengan penuh cinta dan tanggung jawab. Ketika semua itu diniatkan sebagai ibadah, dan dikerjakan dengan kesungguhan, itu juga termasuk ihsan.

Ihsan menjadikan seseorang tidak mudah mengeluh. Ia melihat segala hal sebagai ladang pahala. Bahkan saat berinteraksi dengan orang lain—menyapa dengan ramah, membantu tetangga, memberi makan kucing liar, atau membuang duri dari jalan—semua bisa bernilai ibadah jika dilakukan dengan ihsan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan dalam segala hal…” (HR. Muslim).

Orang yang hidup dengan ihsan tidak mencari pujian manusia, dan tidak bergantung pada pengakuan. Ia melakukan kebaikan karena tahu bahwa Allah mencatat semuanya. Hidupnya menjadi tenang, karena ia tidak sibuk membandingkan diri dengan orang lain. Ia sibuk memperbaiki dirinya sendiri.

Mempraktikkan ihsan dalam kehidupan sehari-hari memang butuh latihan. Tapi semakin dibiasakan, semakin kuat pula karakter kita sebagai hamba Allah. Kita akan menjadi pribadi yang disiplin, jujur, sabar, dan penuh cinta dalam setiap tindakan. Inilah esensi menjadi hamba yang berkualitas—bukan hanya rajin ibadah, tapi juga bermanfaat dan bermakna di tengah masyarakat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Makna Ihsan dalam Islam: Menyembah Allah Seakan Melihat-Nya

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam Islam, konsep ihsan menempati posisi yang sangat tinggi dan mulia. Kata “ihsan” berasal dari bahasa Arab yang berarti “berbuat baik” atau “melakukan sesuatu dengan sempurna.” Namun dalam konteks ajaran Islam, maknanya jauh lebih dalam dari sekadar kebaikan biasa. Ihsan adalah tingkatan tertinggi dalam beragama, yang menjadikan seorang hamba tidak hanya melaksanakan kewajiban agama, tetapi juga melakukannya dengan kesadaran penuh akan kehadiran Allah SWT.

Definisi ihsan dijelaskan secara langsung oleh Rasulullah ﷺ dalam hadis Jibril yang sangat masyhur. Ketika Malaikat Jibril datang dalam bentuk manusia dan bertanya tentang Islam, iman, dan ihsan, Nabi menjawab, “Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim). Jawaban ini menunjukkan bahwa ihsan adalah kualitas ibadah yang disertai rasa muraqabah, yaitu perasaan diawasi oleh Allah.

Makna ihsan bukan hanya terbatas pada ibadah ritual seperti salat atau puasa, tetapi juga mencakup segala aspek kehidupan seorang Muslim. Dalam muamalah, ihsan berarti bertransaksi dengan jujur. Dalam bekerja, ihsan mendorong seseorang untuk memberikan yang terbaik, bahkan ketika tidak ada yang mengawasi. Dalam keluarga, ihsan menjadikan seseorang lebih penyayang, sabar, dan penuh perhatian. Semua ini dilakukan dengan niat karena Allah, bukan karena ingin dipuji atau dihargai manusia.

Seseorang yang hidup dengan ihsan memiliki karakter yang kuat. Ia akan selalu menjaga integritas, sebab ia sadar bahwa Allah mengetahui setiap gerak-geriknya. Dalam suasana sepi maupun ramai, dalam kondisi lapang maupun sempit, ia tetap berpegang pada nilai-nilai kebaikan. Inilah yang membedakan ihsan dengan sekadar kebaikan biasa—ihsan selalu bernilai spiritual.

Melatih diri untuk mencapai ihsan bukan hal yang instan. Diperlukan mujahadah (kesungguhan), muraqabah (pengawasan diri), dan latihan hati agar setiap perbuatan selalu dilandasi niat karena Allah. Namun, buah dari ihsan sangatlah indah. Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-Baqarah: 195).

Akhirnya, memahami ihsan berarti mengajak diri kita untuk terus memperbaiki niat dan amal, serta menghadirkan kesadaran spiritual dalam seluruh aktivitas kehidupan. Dengan ihsan, hidup seorang muslim akan lebih bermakna, terarah, dan penuh keberkahan. Ihsan adalah jalan menuju kedekatan dengan Allah, dan merupakan mahkota dalam perjalanan spiritual seorang hamba.

Continue Reading

Ruang Sujud

Cara Menanamkan Cinta Asmaul Husna pada Anak Sejak Dini

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Menanamkan kecintaan terhadap Asmaul Husna pada anak sejak dini merupakan langkah penting dalam membentuk karakter islami sejak usia kecil.

Anak-anak adalah peniru ulung, dan masa golden age mereka adalah waktu terbaik untuk memperkenalkan nilai-nilai ketauhidan dengan cara yang menyenangkan.

Salah satu cara efektif untuk mengenalkan Asmaul Husna adalah melalui lagu-lagu anak yang ringan dan mudah diingat, seperti “Asmaul Husna 99 Nama Allah.”

Dengan irama yang ceria, anak-anak akan lebih cepat hafal dan mulai akrab dengan nama-nama indah Allah tanpa merasa terbebani.

Orang tua juga bisa membacakan dongeng sebelum tidur yang mengangkat kisah-kisah penuh hikmah dengan memasukkan makna dari salah satu nama Allah.

Misalnya, kisah tentang Ar-Rahman bisa dikaitkan dengan kasih sayang Allah kepada semua makhluk-Nya, agar anak memahami bahwa Allah itu Maha Penyayang.

Menggunakan media visual seperti poster Asmaul Husna berwarna-warni yang ditempel di kamar anak juga sangat membantu mengenalkan secara visual.

Anak juga bisa diajak menggambar atau mewarnai setiap nama dalam Asmaul Husna, sambil dijelaskan artinya dengan bahasa sederhana.

Selain itu, orang tua bisa mengajak anak menyebut satu atau dua nama Allah saat berdoa bersama, agar mereka terbiasa berdzikir sejak kecil.

Mengaitkan Asmaul Husna dengan kehidupan sehari-hari juga penting, seperti berkata, “Kamu baik sekali, Allah itu juga Al-Karim, Maha Dermawan.”

Dengan cara ini, anak tidak hanya hafal, tetapi juga mulai menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam Asmaul Husna ke dalam perilaku mereka.

Sekolah dan taman pendidikan Al-Qur’an juga dapat berperan aktif dengan membuat kegiatan hafalan Asmaul Husna yang disertai lomba atau kuis.

Reward kecil seperti stiker bintang atau pujian bisa menjadi motivasi tambahan bagi anak agar senang belajar dan menghafal.

Yang paling utama, tentu keteladanan dari orang tua—jika anak sering mendengar ayah dan ibu berdzikir dan menyebut nama Allah, mereka akan meniru.

Dengan pendekatan yang lembut, menyenangkan, dan konsisten, anak-anak akan tumbuh mencintai Asmaul Husna dan menjadikannya bagian dari kehidupan mereka.

Mari mulai hari ini, karena membesarkan anak dengan cinta kepada Allah adalah investasi terbaik dunia akhirat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Asmaul Husna dalam Al-Qur’an: Makna Mendalam di Balik Nama-Nama Allah

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Asmaul Husna tidak hanya dikenal melalui hadis, tetapi juga banyak disebut langsung dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Nama-nama tersebut menjadi penegasan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna dan layak disembah sebagai Tuhan satu-satunya.

Contoh yang paling dikenal adalah firman Allah dalam QS. Al-A’raf ayat 180: “Dan Allah memiliki Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu…”

Ayat ini mengisyaratkan bahwa nama-nama Allah bisa dijadikan wasilah (perantara) dalam berdoa dan bermunajat kepada-Nya.

Banyak dari nama-nama ini muncul secara langsung dalam konteks ayat yang menggambarkan keagungan, kekuasaan, kasih sayang, maupun keadilan Allah.

Misalnya, Ar-Rahman dan Ar-Rahim selalu disebut di awal setiap surat (kecuali At-Taubah), menekankan rahmat Allah sebagai fondasi utama hubungan-Nya dengan makhluk.

Nama Al-Aziz (Yang Maha Perkasa) dan Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana) sering muncul bersamaan dalam ayat-ayat yang membicarakan hukum dan ketetapan-Nya.

Sementara Al-Ghafur (Maha Pengampun) dan At-Tawwab (Maha Penerima Taubat) memperlihatkan sifat Allah yang selalu membuka pintu maaf.

Asmaul Husna juga menjadi sumber utama dalam membangun teologi Islam yang kokoh, karena setiap nama menunjukkan aspek yang konsisten dengan tauhid.

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa nama-nama Allah yang indah ini tidak hanya memberi informasi, tetapi juga mengandung perintah untuk meneladani maknanya.

Makna mendalam dari Asmaul Husna mengajarkan bahwa Allah bukan Tuhan yang jauh dan asing, tapi dekat, penuh cinta, dan selalu hadir dalam kehidupan hamba-Nya.

Menghayati Asmaul Husna dalam konteks ayat-ayat Al-Qur’an membantu kita memahami bagaimana Allah memperkenalkan diri-Nya kepada umat manusia.

Dengan mengenal-Nya melalui Al-Qur’an, kita belajar melihat kehidupan dari perspektif ilahi yang penuh harapan, keadilan, dan kebijaksanaan.

Oleh karena itu, merenungi ayat-ayat yang memuat Asmaul Husna bukan sekadar kegiatan intelektual, tapi juga spiritual dan reflektif.

Al-Qur’an tidak hanya meminta kita menyebut nama-nama itu, tapi juga menggunakannya untuk mendekatkan diri, memohon pertolongan, dan memperbaiki diri.

Mari jadikan Asmaul Husna sebagai jembatan untuk lebih memahami firman Allah dan memperkuat hubungan kita dengan Sang Pencipta.

Continue Reading

Ruang Sujud

Keutamaan Menghafal dan Mengamalkan Asmaul Husna dalam Kehidupan Sehari-hari

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Menghafal dan mengamalkan Asmaul Husna merupakan salah satu bentuk ibadah yang memiliki banyak keutamaan dalam Islam.

Asmaul Husna bukan sekadar nama-nama indah Allah, tetapi juga representasi dari sifat-sifat agung-Nya yang bisa menjadi teladan hidup bagi manusia.

Salah satu keutamaan paling utama dari menghafal Asmaul Husna adalah janji surga bagi mereka yang melakukannya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadis sahih.

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barang siapa yang menghitungnya (menghafal, memahami, dan mengamalkannya), maka ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mengamalkan Asmaul Husna berarti menjadikan nilai-nilai dari nama-nama Allah sebagai pedoman dalam bertindak sehari-hari.

Contohnya, seseorang yang memahami dan mengamalkan nama Al-‘Adl (Maha Adil) akan berusaha untuk selalu bersikap adil dalam segala situasi.

Begitu pula orang yang meneladani sifat Ar-Rahim (Maha Penyayang) akan tumbuh menjadi pribadi yang penyayang terhadap sesama dan lingkungan.

Dengan menjadikan Asmaul Husna sebagai bagian dari rutinitas dzikir, hati menjadi lebih tenang, pikiran lebih jernih, dan kehidupan terasa lebih bermakna.

Dzikir dengan menyebut Asmaul Husna juga bisa menjadi terapi spiritual yang sangat efektif dalam menghadapi stres dan kegelisahan.

Dalam konteks sosial, Asmaul Husna membentuk pribadi yang lebih positif, sabar, pengampun, dan dermawan—karakter yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Mengajarkan anak-anak Asmaul Husna sejak dini juga akan membantu menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan moral sejak usia belia.

Banyak sekolah Islam dan pesantren menjadikan hafalan Asmaul Husna sebagai bagian dari kurikulum, karena diyakini membentuk karakter yang kuat.

Selain itu, doa-doa yang dibaca dengan menyebut nama-nama Allah yang sesuai dengan hajat tertentu diyakini lebih mudah dikabulkan.

Misalnya, ketika memohon ampun, seseorang dapat menyebut Ya Ghaffar, dan saat memohon rezeki bisa menyebut Ya Razzaq.

Maka, menghafal dan mengamalkan Asmaul Husna adalah investasi spiritual yang tidak hanya berdampak di dunia, tetapi juga kelak di akhirat.

Sudahkah kita memulai langkah kecil hari ini untuk lebih dekat dengan Asmaul Husna?

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Sportechment15 minutes ago

PSSI Resmi Dapuk Simon Tahamata Jadi Kepala Pemandu Bakat

Ruang Sujud1 hour ago

Irhash dan Mukjizat: Apa Bedanya dan Mengapa Penting Dipahami?

News2 hours ago

IPA Convex 2025: PLN Teken Kerja Sama Pemanfaatan Gas Domestik

Sportechment2 hours ago

Gustavo Franca Siap Tutup Musim dengan Kemenangan Manis untuk Bobotoh

Migas4 hours ago

Dukung Transisi Energi Nasional, Pertamina Drilling Tingkatkan Layanan Terpadu

Sportechment4 hours ago

Yoni Dores Laporkan Lesti Kejora ke Polisi, Perkara Apa?

News4 hours ago

RI-Mongolia Jajaki Peluang Kerja Sama Perdagangan

News4 hours ago

Menteri Ketenagakerjaan Larang Perusahaan Tahan Ijazah Pekerja

Ruang Sujud5 hours ago

Irhash dalam Perspektif Ulama: Bukti Kerasulan Sejak Sebelum Wahyu

News7 hours ago

Guru Sekolah Rakyat Bukan Rekrutan Baru, Tegas Mendikdasmen Abdul Mu’ti

Ruang Sujud9 hours ago

Contoh Irhash dalam Kehidupan Nabi: Tanda-Tanda Kenabian yang Terlupakan

Sportechment9 hours ago

Foo Fighters Siap Gebrak Jakarta, Lihat Jadwal Konser dan Harga Tiketnya

Sportechment10 hours ago

Isu Tiket Tampil di Red Carpet Festival Cannes Bisa Dibeli, Christine Hakim Buka Suara

News10 hours ago

Kenangan Terakhir Bareng Suami Najwa Shihab, Singgung Soal Ini

Sportechment10 hours ago

Tangis Son Heung Min Usai Tottenham Benamkan MU di Final Liga Europa

Sportechment11 hours ago

Kemana Megawati Berlabuh Usai Bela Timnas Voli Putri? Ini Jawaban ‘Megatron’

News12 hours ago

Ambisi Trump Bangun Perhananan Udara Golden Dome, Ini Faktanya

Ruang Sujud12 hours ago

Mengenal Irhash: Mukjizat Terselubung Sebelum Kenabian Muhammad SAW

Sportechment12 hours ago

“Spirit of the Kantil” Karya Garin Nugroho Dikenalkan di Cannes 2025

Sportechment14 hours ago

Akhiri Puasa Gelar 17 Tahun, Tottenham Juara Liga Europa Usai Bekuk MU