Connect with us

Ruang Sujud

Cara Praktis Mengamalkan Ikramu Dhuyuf di Kehidupan Sehari-hari

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Ikramu dhuyuf atau memuliakan tamu adalah akhlak mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam. Namun, dalam kesibukan zaman modern, banyak orang merasa kesulitan mengamalkannya. Padahal, memuliakan tamu bisa dilakukan dengan cara-cara yang sederhana dan praktis tanpa harus mengorbankan banyak waktu atau biaya.

Pertama, mulailah dengan sambutan hangat. Saat tamu datang, sambutlah mereka dengan wajah ceria dan kata-kata yang baik. Ini sejalan dengan sabda Nabi SAW bahwa senyuman adalah sedekah. Sikap positif ini akan menciptakan kesan baik dan membuat tamu merasa dihargai sejak awal.

Kedua, sediakan tempat duduk yang nyaman. Tidak perlu mewah, yang penting bersih dan tertata rapi. Jika rumah dalam kondisi berantakan, cukup bersihkan area yang akan digunakan untuk menerima tamu agar mereka merasa diterima dengan baik.

Ketiga, beri hidangan sesuai kemampuan. Tidak ada kewajiban menyajikan makanan mewah. Bahkan segelas air putih dan camilan sederhana pun cukup, selama diberikan dengan hati yang tulus. Ingatlah bahwa yang dinilai bukan jumlah, tetapi niat dan keikhlasan.

Keempat, berikan perhatian penuh. Saat tamu berbicara, dengarkan dengan saksama. Jangan terlalu sibuk dengan ponsel atau aktivitas lain yang membuat tamu merasa diabaikan. Ini adalah bentuk penghormatan yang sangat berkesan.

Kelima, jaga waktu kunjungan. Jika tamu hendak pamit, antarkan mereka sampai ke pintu dengan senyum dan doa yang baik. Bila memungkinkan, tanyakan kabar setelah kunjungan untuk menunjukkan kepedulian lanjutan.

Terakhir, ajarkan anak-anak untuk ikut menyambut tamu. Ini akan menanamkan nilai-nilai akhlak mulia sejak dini dan menjadi kebiasaan baik dalam keluarga.

Dengan langkah-langkah praktis tersebut, kita bisa tetap menjaga ajaran Islam tentang ikramu dhuyuf, sekaligus membangun hubungan sosial yang hangat dan harmonis dalam kehidupan sehari-hari.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Keutamaan Ikramu Dhuyuf: Menggapai Berkah Lewat Tamu

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Memuliakan tamu atau ikramu dhuyuf adalah salah satu amal saleh yang tidak hanya memperkuat hubungan sosial, tetapi juga membuka pintu keberkahan dalam hidup. Dalam Islam, kehadiran tamu dianggap sebagai rahmat yang membawa kebaikan bagi tuan rumah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Tamu datang dengan rezekinya dan pulang dengan menghapus dosa tuan rumahnya.” (HR. Al-Bazzar).

Salah satu keutamaan terbesar dari memuliakan tamu adalah bertambahnya rezeki. Banyak kisah dari para salafus shalih yang menyaksikan langsung keberkahan yang datang setelah mereka menyambut tamu dengan ikhlas dan penuh hormat. Baik berupa kemudahan dalam urusan, datangnya bantuan tak terduga, hingga bertambahnya ketenangan hati.

Selain itu, ikramu dhuyuf juga merupakan bentuk nyata dari pengamalan iman. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari-Muslim). Ini menunjukkan bahwa sikap terhadap tamu bukan sekadar etika, melainkan refleksi dari kualitas iman seseorang.

Tamu juga menjadi sarana penghapus dosa. Saat kita melayani tamu dengan sepenuh hati, bisa jadi Allah SWT menjadikan amal tersebut sebagai kafarat (penebus) atas kesalahan-kesalahan kecil yang pernah kita lakukan. Maka tidak heran jika para ulama terdahulu sangat menghormati tamu hingga mempersembahkan makanan terbaik mereka, walau dengan kondisi seadanya.

Bukan hanya itu, ikramu dhuyuf juga mempererat silaturahmi dan membangun keharmonisan di tengah masyarakat. Dalam budaya Islam yang menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah, menjaga hubungan baik melalui penghormatan terhadap tamu menjadi langkah nyata membangun persatuan.

Maka, jangan remehkan kehadiran tamu di rumah kita. Bukan hanya membawa kabar atau cerita, tapi juga membawa keberkahan dari langit.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ikramu Dhuyuf: Adab Memuliakan Tamu dalam Perspektif Islam

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam ajaran Islam, ikramu dhuyuf atau memuliakan tamu merupakan salah satu bentuk akhlak mulia yang sangat dianjurkan. Rasulullah SAW bahkan menempatkan sikap ini sebagai salah satu indikator keimanan seseorang. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” Hal ini menunjukkan bahwa memuliakan tamu bukan sekadar sopan santun, melainkan bagian dari iman.

Adab dalam menyambut tamu dimulai dari cara menyambut mereka dengan wajah berseri dan penuh keramahan. Islam mengajarkan bahwa senyuman adalah sedekah, apalagi jika ditujukan kepada tamu yang datang. Setelah itu, tuan rumah dianjurkan untuk menyuguhi tamunya dengan makanan atau minuman, bahkan jika hanya mampu menyediakan sesuatu yang sederhana. Rasulullah SAW mencontohkan hal ini dalam kehidupannya sehari-hari, bahkan rela berbagi makanan terakhirnya demi menjamu tamu.

Selain memberi jamuan, mendengarkan tamu dengan penuh perhatian dan menunjukkan sikap hormat juga merupakan bagian dari ikramu dhuyuf. Jangan sampai seorang tamu merasa tidak dihargai atau diabaikan. Jika memungkinkan, tuan rumah sebaiknya menyediakan tempat duduk yang nyaman dan menjaga agar tamu merasa aman serta diterima dengan sepenuh hati.

Menariknya, dalam Islam, tamu memiliki hak selama tiga hari. Setelah itu, jika tamu masih menetap, maka ia tidak lagi memiliki hak khusus sebagai tamu, dan perlakuan baik selanjutnya adalah bagian dari kemurahan hati tuan rumah. Ini menjadi pengingat agar tamu juga menjaga etika dalam bertamu.

Ikramu dhuyuf bukan hanya tentang memberi, tetapi juga tentang menjaga silaturahmi, mempererat ukhuwah, dan menebar keberkahan dalam rumah tangga. Ketika seseorang dengan ikhlas memuliakan tamunya, maka insya Allah Allah akan memuliakannya pula.

Continue Reading

Ruang Sujud

Irhash dan Mukjizat: Apa Bedanya dan Mengapa Penting Dipahami?

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam memahami perjalanan kenabian, sering kali orang menyamakan antara irhash dan mukjizat, padahal keduanya memiliki perbedaan penting baik dari segi waktu maupun tujuan. Memahami perbedaan ini membantu kita lebih dalam mengapresiasi bagaimana Allah SWT menyiapkan dan mendukung para nabi-Nya, khususnya Nabi Muhammad SAW.

Irhash adalah kejadian luar biasa yang terjadi sebelum seorang nabi diangkat secara resmi oleh Allah. Fungsinya adalah sebagai tanda awal kenabian dan untuk menarik perhatian masyarakat terhadap keistimewaan calon nabi tersebut. Contoh dari irhash adalah peristiwa Tahun Gajah, padamnya api Majusi, serta akhlak agung yang dimiliki Nabi Muhammad SAW sejak kecil.

Sementara itu, mukjizat adalah kejadian luar biasa yang terjadi setelah kenabian diresmikan, sebagai bukti kerasulan dan senjata menghadapi kaum yang menentang. Mukjizat seperti terbelahnya bulan, Isra’ Mi’raj, dan tentu saja Al-Qur’an adalah bukti-bukti kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Mukjizat memiliki fungsi pembuktian langsung terhadap klaim kenabian.

Mengapa penting memahami perbedaan ini? Karena hal ini menunjukkan bahwa kenabian adalah proses yang tidak terjadi tiba-tiba. Allah mempersiapkan utusan-Nya jauh sebelum mereka menerima wahyu. Ini juga menjadi dalil bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah sosok biasa, melainkan telah berada dalam pengawasan dan penjagaan Allah sejak sebelum lahir.

Dengan mengetahui apa itu irhash dan membedakannya dari mukjizat, kita bisa memahami bahwa seluruh kehidupan Nabi Muhammad SAW—sebelum dan sesudah wahyu—adalah bukti kebenaran dan kebesaran Allah SWT dalam memilih utusan-Nya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Irhash dalam Perspektif Ulama: Bukti Kerasulan Sejak Sebelum Wahyu

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Para ulama memiliki perhatian besar terhadap irhash karena fenomena ini menunjukkan bahwa kenabian adalah proses yang disiapkan secara ilahiah, bukan tiba-tiba datang begitu saja. Dalam berbagai kitab sirah dan tafsir, irhash dipandang sebagai bentuk pemuliaan Allah terhadap calon nabi, dan sebagai pengantar bagi masyarakat agar mengenali sosok tersebut sebagai pilihan Tuhan.

Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menyebut bahwa irhash adalah tanda-tanda yang terjadi sebelum kenabian yang hanya bisa terjadi dengan izin Allah dan tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa. Ulama lain seperti Ibn Hajar al-Asqalani juga menjelaskan bahwa irhash bukan hanya berlaku pada Nabi Muhammad SAW, tapi juga terjadi pada nabi-nabi sebelumnya, seperti Musa AS dan Isa AS yang juga mengalami keajaiban sebelum diangkat menjadi rasul.

Dalam kasus Nabi Muhammad SAW, irhash tidak hanya hadir dalam bentuk peristiwa fisik seperti hancurnya pasukan Abrahah atau padamnya api Majusi, tetapi juga dalam bentuk akhlak yang luar biasa sejak muda. Ulama menjelaskan bahwa sirah nabawiyah menjadi saksi bagaimana beliau dijauhkan dari dosa-dosa, dilindungi dari syirik, dan dipelihara hatinya dari keburukan sejak kecil.

Menurut ulama, irhash adalah bentuk persiapan spiritual, sosial, dan bahkan politis dari Allah terhadap dunia, bahwa akan datang seorang pemimpin besar yang membawa kebenaran. Ini menjelaskan mengapa bangsa Arab, Romawi, dan Persia pada masa itu merasakan kegelisahan dan tanda-tanda perubahan besar, karena dunia sedang menanti cahaya kenabian terakhir.

Dengan memahami perspektif para ulama tentang irhash, kita tidak hanya mendapatkan pengetahuan sejarah, tapi juga semakin yakin bahwa setiap nabi adalah hasil bimbingan dan penjagaan Allah sejak awal kehidupan mereka.

Continue Reading

Ruang Sujud

Contoh Irhash dalam Kehidupan Nabi: Tanda-Tanda Kenabian yang Terlupakan

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad SAW sudah menunjukkan banyak tanda kenabian. Peristiwa-peristiwa ini dikenal sebagai irhash, yaitu kejadian luar biasa yang menandai bahwa seorang nabi telah dipersiapkan oleh Allah SWT. Sayangnya, tak sedikit dari kita yang justru melupakan keajaiban-keajaiban ini karena lebih fokus pada mukjizat setelah turunnya wahyu.

Salah satu contoh paling terkenal adalah peristiwa Tahun Gajah, di mana pasukan Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah dihancurkan oleh burung ababil. Tahun tersebut adalah tahun kelahiran Rasulullah SAW. Ini adalah sinyal kuat bahwa sosok istimewa akan hadir ke dunia. Selain itu, ketika beliau lahir, api suci kaum Majusi di Persia yang tak pernah padam selama lebih dari seribu tahun, tiba-tiba padam. Peristiwa ini sangat mengguncang spiritualitas bangsa Persia saat itu.

Dalam masa kecilnya, Nabi Muhammad juga mengalami kejadian luar biasa seperti dibelah dadanya oleh malaikat Jibril untuk dibersihkan hatinya. Kejadian ini terjadi dua kali—pertama saat beliau masih kecil dan kedua menjelang Isra Mi’raj. Selain itu, kejujuran, amanah, dan ketenangan yang beliau miliki sejak remaja sudah menjadi tanda bahwa dirinya berbeda dari yang lain. Julukan Al-Amin bukanlah sekadar pujian, tapi isyarat irhash sosial yang menandakan kualitas kenabian.

Contoh-contoh ini seharusnya menjadi bahan renungan kita bahwa kenabian bukan muncul secara mendadak, melainkan disiapkan dan diberi tanda sejak jauh hari. Irhash bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan pelajaran bahwa Allah selalu memberikan petunjuk dan tanda bagi orang-orang yang dipilih-Nya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mengenal Irhash: Mukjizat Terselubung Sebelum Kenabian Muhammad SAW

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW, sering kali kita hanya mengenal mukjizat yang datang setelah turunnya wahyu, seperti Al-Qur’an. Namun, sebelum Muhammad SAW diangkat menjadi nabi, sudah banyak kejadian luar biasa yang disebut sebagai irhash. Istilah irhash merujuk pada kejadian luar biasa atau tanda-tanda kenabian yang dialami calon nabi sebelum kenabian resmi dimulai.

Irhash menjadi salah satu bukti bahwa Allah SWT telah mempersiapkan utusan-Nya sejak jauh hari. Peristiwa seperti guncangnya istana Kisra saat Nabi lahir, padamnya api suci kaum Majusi, serta hancurnya tentara bergajah Abrahah dalam peristiwa Tahun Gajah, semua dikategorikan sebagai bentuk irhash. Kejadian-kejadian ini bukan hanya luar biasa, tetapi juga sarat makna dan isyarat spiritual.

Para ulama menyebut irhash sebagai bagian dari kemuliaan Allah kepada calon nabi-Nya. Ini menjadi pembuka jalan agar manusia mulai memperhatikan sosok tersebut sebelum kenabian tiba. Rasulullah SAW sendiri mengalami banyak pengalaman spiritual dan sosial yang membuatnya menonjol di masyarakat Mekah, bahkan sebelum wahyu pertama turun.

Memahami irhash bukan hanya soal mengenal sejarah, tapi juga menyadari bahwa perjalanan kenabian adalah proses panjang yang penuh hikmah. Dengan mengenal irhash, kita diajak merenungi bahwa kenabian bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, tetapi hasil dari proses pendidikan ilahi sejak dini.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mendidik Anak dengan Nilai Ihsan: Membangun Generasi Berakhlak Mulia

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Mendidik anak dalam Islam tidak hanya soal memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai spiritual dan akhlak. Salah satu nilai tertinggi yang perlu dikenalkan sejak dini adalah ihsan. Ihsan mengajarkan anak bahwa setiap perbuatannya dilihat oleh Allah, sehingga ia terdorong untuk bersikap jujur, bertanggung jawab, dan penuh kasih, meski tanpa pengawasan manusia.

Mengajarkan ihsan pada anak dimulai dari hal paling mendasar: kesadaran bahwa Allah Maha Melihat. Ketika anak diberitahu bahwa Allah melihat saat ia berbohong atau menolong temannya, ia belajar untuk mengontrol diri dari dalam, bukan karena takut dimarahi orang tua, tetapi karena ingin dicintai Allah. Inilah pondasi moral yang kokoh—motivasi berbuat baik karena dorongan iman, bukan semata tekanan sosial.

Orang tua berperan penting dalam menumbuhkan ihsan. Bukan sekadar memerintah, tapi menjadi teladan nyata. Anak-anak cenderung meniru, bukan mendengar. Jika orang tua salat dengan khusyuk, berkata lembut, menepati janji, dan menolong orang lain, maka anak akan meniru perilaku itu. Bahkan dalam interaksi sehari-hari, seperti meminta maaf, mengucapkan terima kasih, atau berbagi makanan, semua bisa menjadi ladang pembelajaran ihsan jika dijelaskan maknanya dengan baik.

Sekolah juga bisa menjadi tempat strategis untuk menanamkan nilai ihsan. Guru yang mengajar dengan ikhlas, menghargai murid, dan memberikan penilaian yang adil sedang memperlihatkan praktik ihsan dalam dunia pendidikan. Begitu juga ketika anak diajak berdiskusi tentang empati, kejujuran, dan tanggung jawab, semua itu akan membentuk karakter yang kuat.

Menanamkan nilai ihsan bukanlah proses instan. Butuh waktu, konsistensi, dan lingkungan yang mendukung. Tapi hasilnya luar biasa. Anak yang tumbuh dengan ihsan akan menjadi pribadi yang tidak mudah tergoda berbuat curang, tidak menyakiti orang lain, dan memiliki kesadaran moral tinggi meski sedang sendiri. Mereka menjadi generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang secara spiritual.

Di era modern yang penuh distraksi dan tantangan moral, nilai ihsan adalah pelindung hati anak-anak kita. Ia menjadi kompas yang membimbing mereka dalam memilih yang benar meskipun tak ada yang melihat. Mendidik dengan ihsan berarti membangun generasi masa depan yang bukan hanya sukses, tapi juga mulia.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ihsan sebagai Pilar Tertinggi dalam Agama: Di Atas Iman dan Islam

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam struktur beragama Islam, terdapat tiga lapisan utama yang saling melengkapi: Islam, Iman, dan Ihsan. Islam adalah fondasi lahiriah—syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Iman adalah keyakinan batiniah kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir. Namun, di puncak tertinggi, ada ihsan—sebuah kualitas spiritual yang menjadikan seseorang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya. Jika tidak mampu, maka ia sadar bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.

Ihsan tidak menggantikan Islam atau Iman, melainkan menyempurnakannya. Seorang muslim bisa saja menunaikan semua rukun Islam dan memiliki keyakinan yang kuat, tetapi tanpa ihsan, amalnya bisa terasa hambar dan rutinitas. Ihsan memberikan ruh, rasa, dan kedalaman dalam setiap ibadah dan amal perbuatan.

Rasulullah ﷺ dalam hadis Jibril menunjukkan secara eksplisit bahwa ihsan adalah dimensi tertinggi dalam beragama. Ihsan adalah buah dari iman yang mendalam dan keislaman yang konsisten. Seorang yang berihsan tidak hanya menjalankan kewajiban karena aturan, tapi karena cinta. Ia salat dengan hati yang hadir, bukan sekadar gerakan tubuh. Ia memberi dengan ikhlas, bukan karena ingin dipuji. Ia bersabar karena percaya bahwa semua ujian mengandung hikmah dari Allah.

Dalam konteks kehidupan sosial, ihsan mendorong kita untuk berbuat lebih dari sekadar adil. Ihsan berarti membalas keburukan dengan kebaikan, memberi tanpa berharap kembali, dan memaafkan meski mampu membalas. Al-Qur’an menyebutkan, “Balaslah kejahatan dengan yang lebih baik, maka orang yang bermusuhan denganmu akan menjadi seperti teman yang setia.” (QS. Fussilat: 34).

Ihsan juga mengubah perspektif seorang hamba. Ia tidak lagi melihat hidup ini hanya dari sisi duniawi, tetapi juga dari sisi ukhrawi. Ia memandang masalah sebagai sarana mendekat kepada Allah, dan kesuksesan sebagai ujian kesyukuran. Semua dilihat dalam bingkai ridha dan pengawasan Allah.

Maka, berusahalah untuk naik dari level Islam dan Iman menuju Ihsan. Tidak mudah, tapi sangat berharga. Karena ihsan adalah tanda bahwa seseorang benar-benar dekat dengan Tuhannya—bukan hanya melalui ibadahnya, tapi juga melalui setiap langkah kehidupannya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ihsan dalam Kehidupan Sehari-hari: Menjadi Hamba yang Berkualitas

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Ihsan bukan hanya soal ibadah di masjid atau saat kita berdoa dengan khusyuk. Ihsan adalah cara pandang hidup, cara kita menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas harian—di rumah, di tempat kerja, di jalan, bahkan saat kita bersosialisasi. Ihsan menjadikan hidup lebih berkualitas karena setiap perbuatan dilakukan dengan penuh kesadaran, niat baik, dan keinginan untuk memberi yang terbaik, bukan hanya untuk manusia, tapi untuk Allah.

Coba bayangkan seseorang yang bekerja di kantoran, lalu ia datang tepat waktu, menyelesaikan tugas dengan rapi, dan tidak menipu waktu kerja meskipun atasan tidak melihat. Ia melakukan semua itu bukan semata karena takut dimarahi, tapi karena yakin bahwa Allah selalu mengawasinya. Inilah ihsan dalam bekerja—bekerja dengan jujur dan sungguh-sungguh karena Allah.

Atau lihatlah seorang ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak, membersihkan rumah, dan menyiapkan makanan. Meski tak ada yang memberi pujian, ia tetap menjalankan perannya dengan penuh cinta dan tanggung jawab. Ketika semua itu diniatkan sebagai ibadah, dan dikerjakan dengan kesungguhan, itu juga termasuk ihsan.

Ihsan menjadikan seseorang tidak mudah mengeluh. Ia melihat segala hal sebagai ladang pahala. Bahkan saat berinteraksi dengan orang lain—menyapa dengan ramah, membantu tetangga, memberi makan kucing liar, atau membuang duri dari jalan—semua bisa bernilai ibadah jika dilakukan dengan ihsan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan dalam segala hal…” (HR. Muslim).

Orang yang hidup dengan ihsan tidak mencari pujian manusia, dan tidak bergantung pada pengakuan. Ia melakukan kebaikan karena tahu bahwa Allah mencatat semuanya. Hidupnya menjadi tenang, karena ia tidak sibuk membandingkan diri dengan orang lain. Ia sibuk memperbaiki dirinya sendiri.

Mempraktikkan ihsan dalam kehidupan sehari-hari memang butuh latihan. Tapi semakin dibiasakan, semakin kuat pula karakter kita sebagai hamba Allah. Kita akan menjadi pribadi yang disiplin, jujur, sabar, dan penuh cinta dalam setiap tindakan. Inilah esensi menjadi hamba yang berkualitas—bukan hanya rajin ibadah, tapi juga bermanfaat dan bermakna di tengah masyarakat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Makna Ihsan dalam Islam: Menyembah Allah Seakan Melihat-Nya

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam Islam, konsep ihsan menempati posisi yang sangat tinggi dan mulia. Kata “ihsan” berasal dari bahasa Arab yang berarti “berbuat baik” atau “melakukan sesuatu dengan sempurna.” Namun dalam konteks ajaran Islam, maknanya jauh lebih dalam dari sekadar kebaikan biasa. Ihsan adalah tingkatan tertinggi dalam beragama, yang menjadikan seorang hamba tidak hanya melaksanakan kewajiban agama, tetapi juga melakukannya dengan kesadaran penuh akan kehadiran Allah SWT.

Definisi ihsan dijelaskan secara langsung oleh Rasulullah ﷺ dalam hadis Jibril yang sangat masyhur. Ketika Malaikat Jibril datang dalam bentuk manusia dan bertanya tentang Islam, iman, dan ihsan, Nabi menjawab, “Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim). Jawaban ini menunjukkan bahwa ihsan adalah kualitas ibadah yang disertai rasa muraqabah, yaitu perasaan diawasi oleh Allah.

Makna ihsan bukan hanya terbatas pada ibadah ritual seperti salat atau puasa, tetapi juga mencakup segala aspek kehidupan seorang Muslim. Dalam muamalah, ihsan berarti bertransaksi dengan jujur. Dalam bekerja, ihsan mendorong seseorang untuk memberikan yang terbaik, bahkan ketika tidak ada yang mengawasi. Dalam keluarga, ihsan menjadikan seseorang lebih penyayang, sabar, dan penuh perhatian. Semua ini dilakukan dengan niat karena Allah, bukan karena ingin dipuji atau dihargai manusia.

Seseorang yang hidup dengan ihsan memiliki karakter yang kuat. Ia akan selalu menjaga integritas, sebab ia sadar bahwa Allah mengetahui setiap gerak-geriknya. Dalam suasana sepi maupun ramai, dalam kondisi lapang maupun sempit, ia tetap berpegang pada nilai-nilai kebaikan. Inilah yang membedakan ihsan dengan sekadar kebaikan biasa—ihsan selalu bernilai spiritual.

Melatih diri untuk mencapai ihsan bukan hal yang instan. Diperlukan mujahadah (kesungguhan), muraqabah (pengawasan diri), dan latihan hati agar setiap perbuatan selalu dilandasi niat karena Allah. Namun, buah dari ihsan sangatlah indah. Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-Baqarah: 195).

Akhirnya, memahami ihsan berarti mengajak diri kita untuk terus memperbaiki niat dan amal, serta menghadirkan kesadaran spiritual dalam seluruh aktivitas kehidupan. Dengan ihsan, hidup seorang muslim akan lebih bermakna, terarah, dan penuh keberkahan. Ihsan adalah jalan menuju kedekatan dengan Allah, dan merupakan mahkota dalam perjalanan spiritual seorang hamba.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



News6 minutes ago

Ternyata Haji Furoda Bisa Gagal Berangkat, Ini Sebabnya!

Ruang Sujud2 hours ago

Cara Praktis Mengamalkan Ikramu Dhuyuf di Kehidupan Sehari-hari

News4 hours ago

Kemenag Bakal Gelar Sidang Isbat Pada Selasa 27 Mei

Ruang Sujud6 hours ago

Keutamaan Ikramu Dhuyuf: Menggapai Berkah Lewat Tamu

News8 hours ago

MUI Tolak Usulan Sembelih Hewan Dam Tamattu di Indonesia

Ruang Sujud10 hours ago

Ikramu Dhuyuf: Adab Memuliakan Tamu dalam Perspektif Islam

News20 hours ago

Dukung Palestina, Pemerintah Catalonia Tutup Kantor Dagang di Tel Aviv

News21 hours ago

Mendikdasmen Temui Keluarga Guru Korban Kecelakaan di Purworejo

News21 hours ago

Bareskrim Hentikan Penyelidikan Dugaan Ijazah Palsu Jokowi

Sportechment21 hours ago

Kimberly Ryder Batal Berangkat Haji Tahun ini, Apa Penyebabnya?

Sportechment22 hours ago

PSSI Resmi Dapuk Simon Tahamata Jadi Kepala Pemandu Bakat

Ruang Sujud23 hours ago

Irhash dan Mukjizat: Apa Bedanya dan Mengapa Penting Dipahami?

News23 hours ago

IPA Convex 2025: PLN Teken Kerja Sama Pemanfaatan Gas Domestik

Sportechment24 hours ago

Gustavo Franca Siap Tutup Musim dengan Kemenangan Manis untuk Bobotoh

News24 hours ago

China Dikabarkan Dukung Pakistan Dalam Konflik Dengan India

Migas1 day ago

Dukung Transisi Energi Nasional, Pertamina Drilling Tingkatkan Layanan Terpadu

Sportechment1 day ago

Yoni Dores Laporkan Lesti Kejora ke Polisi, Perkara Apa?

News1 day ago

RI-Mongolia Jajaki Peluang Kerja Sama Perdagangan

News1 day ago

Menteri Ketenagakerjaan Larang Perusahaan Tahan Ijazah Pekerja

Ruang Sujud1 day ago

Irhash dalam Perspektif Ulama: Bukti Kerasulan Sejak Sebelum Wahyu