Monitorday.com – Hari Tasyriq memiliki hubungan erat dengan pelaksanaan ibadah haji. Dalam rentang waktu 11-13 Zulhijjah, para jemaah haji berada di Mina untuk melaksanakan rangkaian ibadah penting. Di sinilah tiga ritual utama dilakukan: melontar jumrah, bermalam di Mina (mabit), dan berdzikir kepada Allah.
Mina, sebuah lembah kecil yang dikelilingi bukit-bukit batu di dekat Mekah, menjadi saksi bisu perjalanan spiritual para jemaah haji sejak masa Nabi Ibrahim hingga masa kini. Di sinilah Ibrahim AS melempar setan yang menghalangi tekadnya untuk menyembelih Ismail atas perintah Allah. Kisah inilah yang menjadi dasar pelaksanaan melontar jumrah oleh jemaah haji.
Selama hari-hari Tasyriq, setiap jemaah wajib melempar tujuh batu kecil ke tiga tiang jumrah: Ula, Wustha, dan Aqabah. Amalan ini bukan ritual kosong, melainkan simbol penegasan untuk melawan hawa nafsu dan godaan setan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap lemparan adalah bentuk pernyataan iman dan keteguhan hati.
Di sela-sela kegiatan tersebut, jemaah juga dianjurkan untuk bermabit, yaitu menginap di Mina selama malam hari. Ini merupakan bentuk pengabdian dan ketundukan total kepada Allah SWT. Para jemaah mengisi malam-malam itu dengan dzikir, salat malam, dan tilawah Al-Qur’an, menciptakan suasana spiritual yang khusyuk dan damai di tengah lautan manusia dari berbagai negara.
Hari-hari Tasyriq dalam konteks haji menjadi semacam latihan intensif rohani. Setelah puncak ibadah di Arafah dan hari kurban, jemaah tetap dituntut untuk konsisten dalam ibadah dan menjaga kedekatan dengan Allah.
Dengan demikian, hari Tasyriq tidak hanya menjadi bagian dari sejarah ibadah haji, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya istiqamah dalam beribadah, tidak cepat puas setelah mencapai puncak ibadah, dan terus memperbaiki diri dalam setiap langkah hidup.