Connect with us

Ruang Sujud

Hari Tarwiyah: Awal Perjalanan Spiritual Menuju Puncak Haji

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Setiap tahapan dalam ibadah haji memiliki makna spiritual yang dalam. Salah satu hari yang sarat makna namun kurang dikenal secara luas adalah Hari Tarwiyah, yang jatuh pada tanggal 8 Dzulhijjah. Hari ini menjadi titik awal perjalanan fisik dan ruhani menuju puncak ibadah haji di Arafah. Para jamaah mulai bergerak dari Makkah ke Mina, menghidupkan kembali jejak Nabi Ibrahim dan Rasulullah SAW dalam ketaatan kepada perintah Allah.

Makna Kata “Tarwiyah”

Kata Tarwiyah berasal dari akar kata Arab “rawa–yurawi” yang berarti “memenuhi kebutuhan air” atau “merenungi”. Menurut beberapa riwayat, dinamai demikian karena para jamaah haji zaman dahulu mengisi perbekalan air sebelum melanjutkan perjalanan ke Arafah yang gersang. Di sisi lain, para ulama menafsirkan bahwa hari ini adalah saat Ibrahim AS merenungi perintah Allah yang ia terima dalam mimpi—perintah untuk menyembelih anaknya, Ismail.

Mina: Persinggahan Pertama Menuju Arafah

Pada Hari Tarwiyah, jamaah haji memulai perjalanannya ke Mina. Di sana, mereka melakukan salat Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Subuh dalam bentuk qashar (salat empat rakaat dipersingkat menjadi dua rakaat), tanpa jamak. Mina adalah tempat perenungan sebelum memasuki Arafah. Suasana hening dan fokus ibadah membantu menyiapkan mental dan spiritual jamaah untuk wukuf di Arafah.

Meneladani Ketaatan Nabi Ibrahim

Hari Tarwiyah juga menghidupkan kembali keteladanan Nabi Ibrahim dalam menjalani perintah yang paling berat dalam hidupnya—menyembelih anak kandungnya. Ia tidak langsung bertindak, tetapi bertarwiyah—merenung dan mencari petunjuk dari Allah dengan penuh kehati-hatian. Ini menjadi pelajaran bagi umat Islam bahwa dalam mengambil keputusan penting, terutama yang berkaitan dengan ketaatan kepada Allah, hendaknya disertai perenungan dan doa.

Hari untuk Menjernihkan Niat

Sebelum hari Arafah, Hari Tarwiyah memberi kesempatan kepada setiap jamaah untuk menyucikan niat. Ibadah haji bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan hati. Niat yang ikhlas sangat menentukan keberkahan ibadah. Di Mina, para jamaah seolah ‘berkemah’ di titik nol, tempat mereka membuang kepentingan duniawi dan menata kembali tujuan hidup.

Ibadah dan Zikir di Hari Tarwiyah

Hari Tarwiyah juga menjadi momentum untuk memperbanyak zikir, doa, dan istighfar. Tidak ada ritual khusus selain salat dan bermalam di Mina, sehingga waktu lebih banyak digunakan untuk berintrospeksi dan mendekatkan diri kepada Allah. Para jamaah dimotivasi untuk menghindari perkataan sia-sia, menjaga kesabaran, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Rabb-nya.

Relevansi Hari Tarwiyah di Era Modern

Di era serba cepat ini, Hari Tarwiyah mengajarkan pentingnya jeda. Manusia modern kerap kehilangan momen hening yang esensial untuk perenungan. Hari Tarwiyah mengingatkan kita agar menyediakan ruang untuk berpikir jernih, memperbaiki niat, dan menyucikan hati sebelum menghadapi tantangan besar dalam hidup. Seperti jamaah yang bersiap menuju Arafah, setiap insan juga butuh “persinggahan batin” sebelum memulai babak baru dalam hidupnya.

Penutup

Hari Tarwiyah adalah awal dari transformasi spiritual seorang muslim dalam ibadah haji. Dari Mina, para jamaah akan melangkah menuju Arafah, lalu Muzdalifah, dan Mina kembali untuk melontar jumrah. Namun, semua itu berakar dari satu titik penting: niat dan renungan yang dilakukan di Hari Tarwiyah. Sebuah momen untuk menyegarkan keimanan, menata hati, dan bersiap menjadi manusia baru yang lebih dekat kepada Allah.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Idul Adha di Era Digital: Tetap Bermakna Meski Berbeda Cara

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Era digital mengubah banyak hal dalam hidup kita, termasuk cara merayakan hari besar keagamaan seperti Idul Adha. Dari penyembelihan kurban online hingga khutbah Id yang disiarkan daring, semuanya mencerminkan adaptasi umat Islam terhadap zaman.

Kini, banyak lembaga dan platform menyediakan layanan kurban digital. Calon pekurban tinggal memilih hewan, mentransfer dana, dan menerima laporan pelaksanaan melalui email. Praktis dan efisien, terutama untuk yang tinggal jauh dari kampung halaman atau tak punya waktu untuk mengurus langsung.

Media sosial juga menjadi medium baru untuk menyebarkan pesan Idul Adha. Ucapan selamat, video takbir, hingga dokumentasi penyembelihan kurban ramai beredar. Meski bersifat virtual, konten-konten ini membantu menyebarkan semangat dan pesan keikhlasan yang menjadi inti dari Idul Adha.

Namun, tantangannya adalah bagaimana menjaga esensi ibadah tetap hidup di tengah digitalisasi ini. Jangan sampai semangat berkurban hanya berhenti pada transfer uang dan unggahan foto, tanpa disertai refleksi spiritual.

Idul Adha digital tetap bisa bermakna jika dijalani dengan kesadaran dan niat yang benar. Teknologi hanyalah alat. Yang paling penting adalah niat, keikhlasan, dan kepedulian terhadap sesama yang tetap menjadi jiwa dari perayaan ini.

Continue Reading

Ruang Sujud

Tradisi Kurban: Antara Ibadah, Sosial, dan Kearifan Lokal

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Tradisi kurban dalam Islam bukan hanya ibadah spiritual, tapi juga mengandung dimensi sosial yang sangat kuat. Bahkan di banyak daerah, tradisi ini dipadukan dengan kearifan lokal yang memperkaya makna dan pelaksanaannya.

Sebagai ibadah, kurban merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam QS. Al-Hajj: 37 bahwa “daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” Maka, niat dan ketulusan adalah yang utama.

Namun, kurban juga memiliki nilai sosial yang luar biasa. Daging kurban dibagikan kepada fakir miskin, tetangga, dan keluarga. Ini menjadi momen berbagi dan memperkuat solidaritas sosial. Di masyarakat pedesaan, daging kurban menjadi sumber protein langka yang sangat ditunggu.

Di Indonesia, pelaksanaan kurban sering diiringi dengan gotong royong. Warga saling bantu dalam proses penyembelihan, pemotongan, hingga distribusi daging. Inilah bentuk nyata dari semangat kebersamaan yang diwariskan secara turun-temurun.

Menariknya, tiap daerah memiliki kekhasan dalam merayakan kurban. Di Aceh ada tradisi meugang, di Jawa dikenal dengan selametan sebelum penyembelihan, sementara di Sulawesi kadang ada pengolahan daging menjadi makanan khas sebelum dibagikan.

Kurban tidak hanya ritual ibadah, tapi juga ruang untuk memperkuat identitas sosial dan budaya. Selama tetap pada koridor syariat, kearifan lokal justru membuat pelaksanaan kurban semakin membumi dan bermakna.

Continue Reading

Ruang Sujud

Amalan Sunnah di Hari Raya Idul Adha yang Sering Terlupakan

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Idul Adha datang dengan sejumlah anjuran amalan sunnah yang memiliki nilai ibadah tinggi. Namun, tak sedikit umat Islam yang justru melupakan atau mengabaikannya. Padahal, amalan-amalan ini bisa memperkaya makna Idul Adha secara spiritual.

Salah satu amalan yang dianjurkan adalah memperbanyak takbir sejak malam Idul Adha hingga hari Tasyrik berakhir. Takbir ini menjadi simbol pengagungan terhadap Allah dan bentuk syukur atas nikmat-Nya. Sayangnya, gema takbir sering hanya terdengar di malam takbiran saja, lalu menghilang keesokan harinya.

Amalan lain adalah mandi sebelum salat Id. Ini merupakan sunnah yang menandakan kesiapan lahir dan batin untuk menyambut hari raya. Mengenakan pakaian terbaik dan memakai wewangian juga menjadi anjuran, karena mencerminkan semangat merayakan hari besar Islam dengan bersih dan rapi.

Tak kalah penting adalah menyembelih hewan kurban bagi yang mampu. Kurban bukan sekadar penyembelihan, tapi bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sayangnya, ada sebagian orang yang lebih fokus pada urusan teknis dan pesta makan-makan, ketimbang niat ibadah di balik kurban itu.

Idul Adha juga bisa dimaknai dengan mempererat silaturahmi dan berbagi kepada yang membutuhkan. Jadi, daripada sekadar menjadi formalitas tahunan, mari hidupkan kembali amalan-amalan sunnah yang justru menjadi roh dari Idul Adha itu sendiri.

Continue Reading

Ruang Sujud

Makna Idul Adha: Meneladani Keikhlasan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Idul Adha bukan sekadar hari raya yang dirayakan dengan menyembelih hewan kurban dan berbagi daging kepada sesama. Di balik itu semua, terdapat pelajaran besar tentang keikhlasan dan kepatuhan kepada Allah SWT yang tercermin dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Dalam sejarahnya, Nabi Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih putranya, Ismail. Tanpa ragu, beliau menyampaikan perintah itu kepada sang anak. Respons Ismail begitu luar biasa: “Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 102).

Kisah ini menunjukkan bahwa keimanan dan keikhlasan bukan hanya dimiliki oleh Nabi Ibrahim, tapi juga oleh Nabi Ismail. Keduanya memberi contoh tentang bagaimana ketaatan total kepada perintah Allah adalah bentuk tertinggi dari keimanan.

Idul Adha mengajak umat Islam untuk meneladani nilai-nilai tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada berbagai bentuk ujian. Bisa jadi bukan dalam bentuk pengorbanan fisik, tapi dalam bentuk waktu, tenaga, dan keinginan pribadi. Menahan ego, bersabar menghadapi ujian, dan tetap taat pada ajaran agama merupakan bentuk pengorbanan di masa kini.

Dengan memahami makna Idul Adha secara mendalam, kita tak sekadar merayakannya sebagai tradisi tahunan, tapi menjadikannya sebagai momentum spiritual untuk memperbaiki diri, memperkuat iman, dan membangun hubungan yang lebih ikhlas dengan Tuhan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Kisah Nabi Ismail dan Hajar: Keajaiban Air Zamzam di Padang Tandus

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Kisah Nabi Ismail dan ibunya, Hajar, adalah sebuah narasi penuh keajaiban, ketabahan, dan keimanan yang tak lekang oleh waktu. Di tengah padang pasir Mekkah yang tandus dan tak berpenghuni, muncul sebuah mukjizat agung: air zamzam. Sebuah sumber air yang hingga kini terus mengalir tanpa henti, menjadi saksi dari kesabaran dan tawakkal dua hamba Allah yang luar biasa.

Cerita ini bermula ketika Nabi Ibrahim, atas perintah Allah, membawa Hajar dan Ismail yang masih bayi ke sebuah lembah gersang di Hijaz, yang kelak menjadi kota suci Mekkah. Tanpa perbekalan yang cukup, tanpa tempat tinggal, dan tanpa penduduk, Hajar ditinggalkan oleh Ibrahim karena ketaatannya kepada Allah. Meski awalnya berat, Hajar menerima dengan penuh iman karena tahu suaminya menjalankan titah Ilahi.

Saat persediaan makanan dan air habis, Hajar yang kehausan melihat bayinya menangis pilu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha. Ia berlari antara dua bukit—Shafa dan Marwah—sebanyak tujuh kali, dengan harapan ada manusia atau sumber air di sekitar. Usaha ini menjadi simbol dari keikhlasan dan kegigihan seorang ibu yang rela melakukan apa saja demi menyelamatkan anaknya.

Ketika semua usaha telah dilakukan dan Hajar kembali ke sisi Ismail, mukjizat Allah pun datang. Dari hentakan kaki kecil Ismail, memancar air yang terus mengalir dari tanah. Hajar spontan menampung air tersebut sambil berkata, “Zamzam, zamzam!” yang berarti “berkumpullah, berkumpullah!” Maka, air itu pun tidak hanya mengalir deras, tapi juga menjadi sumber kehidupan bagi masa depan kota Mekkah.

Keberadaan air zamzam inilah yang kemudian menarik kabilah-kabilah Arab untuk menetap di daerah tersebut, menjadikannya kawasan yang ramai dan makmur. Maka bisa dikatakan bahwa perjuangan Hajar dan keberadaan Ismail menjadi cikal bakal berdirinya kota Mekkah—kota suci yang kelak akan menjadi pusat spiritual umat Islam.

Kisah ini tidak hanya mencerminkan mukjizat dalam bentuk fisik, tetapi juga pelajaran spiritual yang sangat dalam. Hajar tidak tinggal diam menunggu pertolongan datang. Ia berikhtiar maksimal, berlari bolak-balik tanpa lelah. Barulah setelah itu, pertolongan Allah datang. Ini menjadi pelajaran penting bahwa ikhtiar dan tawakkal harus berjalan seiring—usaha tidak menghilangkan iman, dan iman tidak menggugurkan usaha.

Salah satu bentuk penghormatan terhadap perjuangan Hajar ini adalah diwajibkannya umat Islam untuk melakukan sa’i—berlari kecil antara Shafa dan Marwah—sebagai bagian dari rukun umrah dan haji. Aktivitas fisik ini bukan sekadar ritual, tetapi pengingat akan betapa besarnya pengorbanan dan keyakinan seorang ibu yang dijadikan syariat sepanjang zaman.

Kehadiran Nabi Ismail di tengah kisah ini pun memperkuat pesan bahwa mukjizat sering kali muncul melalui kelemahan yang tampak. Seorang bayi yang belum bisa berkata-kata justru menjadi sebab munculnya sumber kehidupan yang tak terputus. Hal ini mengajarkan bahwa dalam hidup, tak ada yang mustahil bagi Allah, dan bahkan kelemahan bisa menjadi kekuatan jika disertai keimanan.

Zamzam bukan hanya air biasa. Ia adalah simbol dari rahmat dan keberkahan. Dalam banyak hadis, air zamzam memiliki berbagai keutamaan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Air Zamzam tergantung kepada niat orang yang meminumnya.” Artinya, air ini bisa menjadi obat, kekuatan, atau berkah sesuai dengan niat peminumnya. Hingga hari ini, jutaan orang datang ke Mekkah untuk mencicipi air ini, menjadikannya bagian dari ibadah yang penuh makna.

Dalam konteks kehidupan modern, kisah Hajar dan Ismail mengajarkan ketabahan dalam menghadapi ujian. Ketika seseorang merasa berada di titik terendah, di padang tandus kehidupan, maka jangan pernah berhenti berusaha dan jangan pernah putus harapan. Pertolongan Allah bisa datang dari arah yang tak disangka, bahkan melalui sesuatu yang tampak mustahil.

Tak kalah penting, kisah ini juga menjadi pengingat tentang pentingnya peran ibu. Hajar bukan nabi, bukan tokoh kerajaan, tetapi seorang ibu yang kuat, penuh cinta, dan ikhlas. Allah mengabadikan perjuangannya dalam ritual haji, menunjukkan bahwa peran seorang ibu sangatlah mulia dan layak dikenang sepanjang masa.

Pada akhirnya, kisah Nabi Ismail dan Hajar bukan hanya sejarah, tetapi juga refleksi iman, usaha, dan pengharapan. Ia adalah bukti bahwa di balik setiap ujian, selalu ada rahmat yang menanti. Dan dari air zamzam yang terus mengalir, kita diajak untuk terus percaya bahwa kasih sayang Allah tidak pernah kering.

Continue Reading

Ruang Sujud

Sejarah Pengorbanan Nabi Ismail: Awal Mula Disyariatkannya Idul Adha

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Kisah pengorbanan Nabi Ismail ‘alaihis salam adalah salah satu momen paling menggetarkan dalam sejarah umat manusia, dan menjadi pondasi lahirnya syariat penyembelihan hewan qurban yang diperingati setiap Idul Adha. Peristiwa ini bukan hanya menyoal hubungan antara ayah dan anak, tetapi juga tentang ketaatan mutlak kepada perintah Allah.

Kisah ini bermula dari mimpi yang dialami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Dalam mimpi tersebut, beliau diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya yang sangat dicintainya, Ismail. Sebagai seorang nabi, Ibrahim memahami bahwa mimpi itu adalah wahyu dan bukan sekadar bunga tidur. Namun sebagai seorang ayah, tentu ini menjadi ujian berat yang tak terbayangkan.

Namun yang luar biasa, bukan hanya Nabi Ibrahim yang taat, tetapi Nabi Ismail juga menunjukkan sikap luar biasa. Ketika ayahnya menyampaikan perintah tersebut, Nabi Ismail dengan tenang menjawab bahwa ia siap untuk menjalani perintah Allah. Hal ini tercatat dalam Al-Qur’an, Surah Ash-Shaffat ayat 102:
“Wahai ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Ayat ini menggambarkan dua karakter besar dalam satu keluarga: seorang ayah yang patuh dan seorang anak yang ikhlas. Saat proses penyembelihan akan dilakukan, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba yang besar. Perintah itu sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menyembelih secara literal, tetapi sebagai ujian untuk membuktikan sejauh mana ketaatan dan keikhlasan hamba-Nya terhadap perintah yang sangat berat.

Peristiwa ini menjadi titik balik penting dalam sejarah spiritual umat manusia. Dari situlah, Allah menetapkan ibadah qurban sebagai bagian dari syariat Islam. Setiap tahun, umat Muslim di seluruh dunia menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan bentuk penghormatan terhadap pengorbanan agung Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Idul Adha bukan sekadar momen berbagi daging, tetapi lebih dari itu adalah refleksi spiritual yang dalam. Kita diingatkan untuk bersedia “menyembelih” ego, hawa nafsu, dan keinginan pribadi demi menjalankan kehendak Allah. Qurban menjadi simbol nyata dari penundukan diri kepada Sang Pencipta.

Dalam konteks sosial, semangat qurban juga menjadi pengingat untuk berbagi dan peduli terhadap sesama. Sebab daging hewan qurban dibagikan kepada fakir miskin dan yang membutuhkan, mencerminkan ajaran Islam yang adil, inklusif, dan penuh kasih sayang. Maka pengorbanan Nabi Ismail tidak hanya berdampak secara spiritual, tetapi juga sosial.

Banyak ulama menekankan bahwa makna terdalam dari kisah ini bukan pada darah atau daging hewan yang disembelih, tetapi pada niat dan ketakwaan. Seperti yang disebutkan dalam QS Al-Hajj ayat 37:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”

Kisah ini juga mengajarkan bahwa dalam hidup, ujian adalah keniscayaan. Bahkan seorang nabi seperti Ibrahim dan anaknya pun diuji dengan sesuatu yang sangat berat. Namun di balik ujian, selalu ada hikmah dan pengangkatan derajat bagi mereka yang lulus dengan sabar dan ikhlas.

Secara simbolik, kita semua adalah Ibrahim yang diuji dengan berbagai bentuk cinta dunia: harta, jabatan, keluarga, bahkan nyawa. Dan kita semua juga bisa menjadi Ismail yang siap untuk menyerahkan segala yang kita miliki demi keridaan Allah. Maka ibadah qurban bukan hanya seremoni tahunan, tetapi latihan spiritual yang menuntut kontinuitas dalam hidup sehari-hari.

Lebih jauh lagi, semangat pengorbanan ini juga sangat relevan dalam konteks modern. Di zaman yang penuh kompetisi dan materialisme, kita sering terlalu terikat dengan kesenangan duniawi. Padahal, ruh dari kisah Nabi Ismail mengajarkan pentingnya melepaskan keterikatan terhadap hal-hal dunia yang bisa menghalangi hubungan kita dengan Allah.

Sebagai penutup, sejarah pengorbanan Nabi Ismail adalah kisah tentang cinta—cinta kepada Allah yang mengalahkan cinta terhadap anak, cinta terhadap dunia, dan cinta terhadap diri sendiri. Dari kisah ini, kita belajar bahwa kepatuhan dan pengorbanan adalah kunci menuju kedekatan dengan Tuhan. Idul Adha menjadi waktu yang tepat untuk merenungkan kembali sejauh mana kita siap mengorbankan ego demi kebenaran dan nilai-nilai luhur dalam hidup.

Continue Reading

Ruang Sujud

Nabi Ismail: Teladan Ketaatan dan Keikhlasan Seorang Anak Saleh

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Nabi Ismail ‘alaihis salam adalah salah satu sosok luar biasa dalam sejarah kenabian yang patut menjadi teladan bagi setiap generasi, khususnya dalam hal ketaatan kepada Allah dan bakti kepada orang tua. Ia adalah putra Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan Hajar, lahir dari keluarga yang sarat dengan ujian, namun justru dari situlah muncul keteguhan iman yang luar biasa.

Sejak kecil, Nabi Ismail telah menunjukkan ketundukan kepada kehendak Allah. Hal ini terlihat dalam salah satu peristiwa paling menggetarkan dalam sejarah manusia, yaitu ketika ayahnya, Nabi Ibrahim, mendapat perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih putranya sendiri. Perintah ini bukan hanya menguji ketaatan seorang ayah, tetapi juga menguji kesediaan sang anak untuk taat pada perintah Allah, meski harus mengorbankan nyawa.

Ketika perintah tersebut disampaikan kepada Ismail, reaksinya bukan ketakutan atau penolakan, tetapi justru jawaban yang penuh keyakinan dan tawakkal. “Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,” demikian jawaban Nabi Ismail sebagaimana disebut dalam QS Ash-Shaffat ayat 102. Kalimat ini menggambarkan kedalaman iman dan ketulusan jiwa seorang remaja yang telah tertanam nilai-nilai tauhid sejak dini.

Pengorbanan Nabi Ismail tidak jadi dilaksanakan, karena Allah menggantikannya dengan seekor domba. Namun, peristiwa ini diabadikan menjadi syariat penyembelihan hewan qurban yang dilakukan setiap Hari Raya Idul Adha oleh umat Islam di seluruh dunia. Ini menjadi simbol keikhlasan dan pengorbanan yang diwariskan Nabi Ismail untuk seluruh umat.

Tidak hanya dalam kisah pengorbanan, Nabi Ismail juga dikenal sebagai anak yang berbakti, pekerja keras, dan pemimpin yang bijak. Dalam QS Maryam ayat 54-55, Allah memujinya sebagai seorang yang jujur dalam janji, seorang rasul dan nabi, serta orang yang menyuruh keluarganya untuk salat dan zakat. Karakter inilah yang menjadikannya panutan bukan hanya dalam konteks spiritual, tetapi juga sosial dan keluarga.

Dalam kehidupan sehari-hari, pelajaran dari Nabi Ismail bisa diterapkan oleh generasi muda. Misalnya, dalam hal ketaatan kepada orang tua, kemauan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi kebaikan yang lebih besar, serta keteguhan dalam memegang prinsip keimanan meskipun dihadapkan pada ujian berat. Di tengah zaman yang serba cepat dan individualistis, kisah Nabi Ismail menjadi pengingat tentang nilai-nilai luhur yang tak lekang oleh waktu.

Selain itu, Nabi Ismail juga dikenal sebagai pribadi yang tangguh dan tidak cengeng menghadapi ujian hidup. Saat ditinggalkan oleh ayahnya bersama ibunya, Hajar, di padang pasir yang tandus, ia tetap tumbuh menjadi anak yang kuat. Ia tidak tumbuh dalam kemewahan, tetapi dalam kondisi yang mengasah mental dan spiritualnya sejak dini. Ketegaran inilah yang akhirnya membentuk kepribadiannya sebagai seorang nabi yang layak menjadi contoh.

Keberkahan yang lahir dari ketaatan Nabi Ismail juga tidak main-main. Dari keturunannya, lahirlah Nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Ini menunjukkan bahwa ketaatan dan keikhlasan seorang anak kepada Allah bisa menjadi sebab munculnya generasi terbaik di masa depan. Maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa Ismail adalah fondasi awal dari risalah Islam yang diteruskan oleh keturunannya.

Kisah Nabi Ismail mengajarkan bahwa keimanan bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga mewujud dalam tindakan konkret, baik dalam hubungan dengan orang tua, masyarakat, maupun dalam menjalani perintah Allah yang terkadang terasa berat. Ia adalah gambaran sempurna dari integritas spiritual dan moral yang seharusnya menjadi cita-cita setiap insan.

Di era modern ini, keteladanan Nabi Ismail tetap relevan. Remaja dan anak muda dihadapkan pada banyak pilihan dan godaan yang bisa menjauhkan mereka dari nilai-nilai agama. Namun, dengan meneladani Nabi Ismail, mereka bisa belajar tentang arti pengorbanan, tanggung jawab, dan kesetiaan pada nilai-nilai ilahi yang abadi.

Akhirnya, Nabi Ismail bukan sekadar sosok dalam kisah keagamaan, tetapi inspirasi hidup nyata. Ketaatan dan keikhlasannya adalah warisan spiritual yang akan terus hidup dalam setiap hati yang ingin berjalan di jalan yang lurus. Semoga kita bisa meneladani semangatnya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Continue Reading

Ruang Sujud

Dialog Nabi Ibrahim dengan Kaumnya: Strategi Dakwah yang Lugas dan Lembut

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Salah satu keistimewaan Nabi Ibrahim AS adalah kepiawaiannya dalam berdakwah. Ia tidak sekadar menyampaikan ajaran tauhid, tetapi melakukannya dengan metode yang penuh hikmah, logika, dan kelembutan. Pendekatan ini menjadikan dakwahnya begitu relevan dan menginspirasi hingga hari ini.

Ketika berhadapan dengan kaumnya yang menyembah berhala, Ibrahim tidak langsung mencaci atau menghina. Ia memancing logika mereka. Dalam QS. Al-Anbiya ayat 52–67, Ibrahim bertanya, “Patung-patung apakah ini yang kalian tekun menyembahnya?” Lalu ia menghancurkan berhala-berhala itu dan meninggalkan satu yang terbesar, untuk menunjukkan absurditas kepercayaan mereka. Ketika kaumnya bertanya, Ibrahim menjawab dengan cerdas: “Tanyakan saja kepada berhala besar itu, jika ia bisa bicara!”

Strategi ini tidak sekadar provokatif, tapi juga mencerahkan. Ibrahim ingin agar kaumnya sadar melalui akal mereka sendiri, bukan hanya karena tekanan atau dogma. Bahkan ketika berdialog dengan Raja Namrud, Ibrahim dengan tenang menggunakan argumen cerdas. Ia berkata bahwa Tuhannya adalah yang menghidupkan dan mematikan. Ketika Namrud membalas bahwa ia juga bisa melakukan itu, Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.” Namrud pun terdiam.

Metode dakwah ini relevan dalam konteks kekinian. Bahwa berdakwah bukan hanya soal isi, tapi juga cara. Menyampaikan kebenaran dengan bijak, menggunakan pendekatan rasional, serta menjaga adab dan etika komunikasi adalah kunci keberhasilan. Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa dakwah bukan untuk memenangkan debat, tapi untuk membuka hati.

Continue Reading

Ruang Sujud

Jejak Perjalanan Spiritual Nabi Ibrahim: Dari Babilonia ke Tanah Suci

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Perjalanan hidup Nabi Ibrahim tidak hanya tentang tempat-tempat yang ia singgahi, tetapi juga tentang perjalanan batin dan spiritualitas yang luar biasa. Dari Babilonia yang penuh kemusyrikan, Ibrahim berhijrah menuju negeri Syam, kemudian Mesir, hingga akhirnya menetap di tanah tandus Makkah—sebuah tanah yang kelak menjadi pusat peribadahan umat Islam.

Hijrah Ibrahim bukan tanpa alasan. Ketika kaumnya tidak menerima dakwahnya dan bahkan berniat membunuhnya, Allah memerintahkannya untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Dalam QS. Al-Ankabut ayat 26, Allah berfirman, “Dan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat) yang diperintahkan oleh Tuhanku.”

Di Syam, ia tinggal bersama istrinya, Sarah. Di Mesir, ia diuji dengan banyak cobaan, termasuk fitnah dan rintangan. Namun semuanya dijalani dengan sabar. Dari Mesir, Ibrahim kemudian menikahi Hajar, yang kemudian melahirkan Ismail. Atas perintah Allah, ia membawa Hajar dan bayinya ke sebuah lembah yang sunyi dan gersang, yaitu Makkah.

Di sanalah titik balik sejarah terjadi. Dari lembah yang tandus itu, Allah menjadikan Makkah sebagai pusat peribadatan. Sumur Zamzam memancar, Ka’bah dibangun, dan keturunan Nabi Ibrahim berkembang menjadi bangsa besar. Seluruh ibadah haji berporos pada jejak-jejak perjuangan spiritual Nabi Ibrahim dan keluarganya.

Kisah ini mengajarkan bahwa hijrah bukan hanya tentang berpindah tempat, tetapi juga tentang berpindah hati dari yang batil menuju yang haq. Perjalanan Ibrahim adalah simbol bahwa keberkahan akan mengikuti mereka yang ikhlas menapaki jalan Allah, meski jalannya berat dan penuh tantangan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Kisah Pengorbanan Nabi Ibrahim: Makna Iman dan Ketaatan Tanpa Batas

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Salah satu ujian paling besar yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS adalah perintah untuk menyembelih putranya sendiri, Ismail. Peristiwa ini bukan sekadar episode sejarah, tetapi juga menjadi simbol agung dari ketaatan, keimanan, dan pengorbanan yang luar biasa. Ia menjadi fondasi dari pelaksanaan ibadah kurban yang dirayakan umat Islam di seluruh dunia setiap Idul Adha.

Setelah bertahun-tahun berdoa, Ibrahim akhirnya dikaruniai anak dari istrinya Hajar, yaitu Ismail. Ketika Ismail beranjak remaja dan menjadi anak yang salih dan patuh, Allah justru menguji Ibrahim dengan perintah menyembelih putranya. Perintah ini datang melalui mimpi yang diyakini oleh para nabi sebagai wahyu. Meski berat, Ibrahim tidak membantah.

Yang menggetarkan hati adalah respons dari Ismail. Dalam QS. Ash-Shaffat ayat 102, Ismail berkata, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Inilah bentuk kepatuhan dua hamba yang luar biasa: ayah dan anak yang rela mengorbankan segalanya demi menaati perintah Allah.

Ketika prosesi penyembelihan hampir terjadi, Allah kemudian mengganti Ismail dengan seekor domba sebagai bentuk penghargaan terhadap keikhlasan dan kesabaran keduanya. Momen ini kemudian diabadikan dalam syariat Islam sebagai ibadah kurban—sebuah praktik yang tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga spiritual, mengajarkan kepada kita arti pengorbanan dan keikhlasan.

Lebih dari itu, kisah ini menunjukkan bahwa dalam hidup, keimanan sejati akan selalu diuji. Allah ingin melihat sejauh mana hamba-Nya mencintai-Nya lebih dari apa pun di dunia. Nabi Ibrahim lulus dalam ujian itu dan menjadi contoh sempurna bagaimana cinta kepada Allah harus lebih besar dari cinta kepada makhluk.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Sportechment2 hours ago

Prabowo Bangga Timnas Bekuk China: Perjalanan Belum Usai, Siapa Tahu ke Piala Dunia

Sportechment3 hours ago

Ole Romeny Cetak Gol Lagi, Timnas Indonesia Tumbangkan China

Sportechment6 hours ago

Wuih! Awali Petualangan Global, Jumbo Rambah Bioskop Rusia hingga Kyrgystan

Ruang Sujud7 hours ago

Idul Adha di Era Digital: Tetap Bermakna Meski Berbeda Cara

News8 hours ago

Seskab Teddy Gercep Tanggapi Soal Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat

Ruang Sujud11 hours ago

Tradisi Kurban: Antara Ibadah, Sosial, dan Kearifan Lokal

News12 hours ago

Prabowo Salurkan 985 Sapi Kurban di Iduladha 1446 H, Terberat Capai 1,3 Ton

News12 hours ago

Jerman Jatuhkan Hukuman Seumur Hidup Kepada Mantan Milisi Suriah

Sportechment13 hours ago

5 Pemain Dicoret, Ini Skuad Final Timnas Indonesia Jelang Laga Kunci vs China

News13 hours ago

Trump Larang Warga dari 12 Negara Masuk AS, Lha Kok Kenapa?

Ruang Sujud14 hours ago

Amalan Sunnah di Hari Raya Idul Adha yang Sering Terlupakan

News16 hours ago

Pemukim Arab Saudi Tipu Jamaah Haji Ditangkap

Ruang Sujud18 hours ago

Makna Idul Adha: Meneladani Keikhlasan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail

Sportechment18 hours ago

Coach Kluivert Beberkan 3 Kelebihan Timnas China, Apa Saja?

News19 hours ago

Wujudkan Pendidikan RAMAH, Mendikdasmen Beri Penghargaan Kinerja di Satuan Kerja

Sportechment20 hours ago

Ronaldo Akhiri Kutukan 25 Tahun, Portugal Tumbangkan Jerman

Sportechment1 day ago

Piala Presiden 2025 Bakal Dihelat di Stadion Si Jalak Harupat

News1 day ago

Doa Nabi Ibrahim untuk Ismail: Fondasi Generasi Beriman yang Diberkahi

Sportechment1 day ago

Panasnya Semifinal UEFA Nations League: Jerman Tantang Portugal, Spanyol Bentrok Prancis

Sportechment1 day ago

Prabowo Diusulkan Jadi Dewan Kehormatan PSSI