Connect with us

Ruang Sujud

Jenis-Jenis Thawaf: Panduan Lengkap bagi Jamaah Haji dan Umrah

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Thawaf dalam syariat Islam terbagi ke dalam beberapa jenis, yang masing-masing memiliki ketentuan dan fungsinya tersendiri. Mengenal jenis-jenis thawaf sangat penting bagi setiap jamaah agar bisa menjalankan ibadah dengan tepat.

1. Thawaf Ifadah:
Thawaf ini merupakan rukun haji dan wajib dilakukan oleh setiap jamaah haji. Ia dilakukan setelah wukuf di Arafah dan melempar jumrah. Thawaf ifadah menandai kesempurnaan ibadah haji dan tidak sah haji tanpa thawaf ini.

2. Thawaf Qudum:
Thawaf ini adalah sunnah bagi jamaah yang baru tiba di Makkah sebagai bentuk penghormatan. Thawaf qudum biasanya dilakukan oleh jamaah haji ifrad dan qiran.

3. Thawaf Wada’:
Ini adalah thawaf perpisahan yang dilakukan sebelum meninggalkan Makkah. Hukum thawaf wada’ adalah wajib bagi jamaah haji, kecuali bagi wanita yang sedang haid atau nifas.

4. Thawaf Umrah:
Thawaf ini dilakukan oleh jamaah umrah sebagai bagian dari rangkaian ibadah umrah. Biasanya dilakukan sebelum sa’i antara Shafa dan Marwah.

5. Thawaf Nadzar:
Thawaf ini dilakukan jika seseorang bernazar untuk thawaf. Misalnya, jika dia berkata, “Jika aku lulus ujian, aku akan thawaf di Ka’bah.” Maka thawaf ini menjadi wajib baginya.

6. Thawaf Sunnah:
Ini thawaf yang dilakukan kapan pun di luar thawaf wajib atau rukun, sebagai bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah.

Setiap jenis thawaf memiliki aturan, niat, dan waktu pelaksanaannya masing-masing. Karena itu, penting bagi setiap muslim untuk memahami perbedaan ini agar ibadah yang dilakukan benar dan sah.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Langkah-Langkah Thawaf yang Benar Sesuai Sunnah Nabi

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Melaksanakan thawaf tidak bisa sembarangan. Rasulullah SAW telah memberikan contoh thawaf yang benar, dan setiap jamaah perlu mengikutinya agar ibadah menjadi sah dan berpahala.

Berikut langkah-langkah thawaf sesuai sunnah:

1. Bersuci (Berwudhu):
Thawaf mensyaratkan wudhu. Jika hadas kecil atau besar, thawaf menjadi tidak sah.

2. Memulai dari Hajar Aswad:
Thawaf dimulai dari sudut Ka’bah di mana terdapat Hajar Aswad. Disunnahkan untuk mengucapkan “Bismillah, Allahu Akbar” sambil mengangkat tangan atau mencium Hajar Aswad jika memungkinkan.

3. Mengelilingi Ka’bah Sebanyak Tujuh Kali:
Putaran dilakukan berlawanan arah jarum jam. Pastikan Ka’bah selalu berada di sisi kiri tubuh.

4. Berjalan di Syarat Putaran Pertama (Untuk Pria):
Pada tiga putaran pertama, bagi laki-laki disunnahkan untuk berjalan cepat (ramal) jika memungkinkan.

5. Membaca Doa atau Dzikir:
Tak ada bacaan khusus yang diwajibkan. Jamaah dapat membaca Al-Fatihah, dzikir, shalawat, atau doa pribadi.

6. Menyentuh Rukun Yamani:
Jika bisa, disunnahkan untuk menyentuh Rukun Yamani (sudut sebelum Hajar Aswad), tanpa mencium.

7. Menyelesaikan Putaran Ketujuh:
Setelah tujuh kali putaran, thawaf selesai dan dianjurkan salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim.

8. Minum Air Zamzam:
Setelah thawaf, minumlah air zamzam dan berdoalah karena itu termasuk sunnah.

Melakukan thawaf sesuai sunnah bukan hanya menjamin keabsahan ibadah, tapi juga memperdalam makna spiritual dan meneladani Rasulullah dalam setiap langkah.

Continue Reading

Ruang Sujud

Thawaf: Makna dan Filosofi Mengelilingi Ka’bah dalam Ibadah Haji dan Umrah

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Thawaf adalah salah satu rukun utama dalam ibadah haji dan umrah yang dilakukan dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Ibadah ini bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan memiliki makna dan filosofi mendalam yang mencerminkan ketaatan dan ketundukan seorang hamba kepada Allah.

Makna thawaf berakar dari cinta. Seperti planet yang terus mengelilingi pusat gravitasinya, thawaf menggambarkan manusia sebagai makhluk spiritual yang terus bergerak mengitari pusat tauhid, yaitu Ka’bah sebagai simbol keesaan Allah.

Dalam thawaf, jamaah mengelilingi Ka’bah dengan arah berlawanan jarum jam. Arah ini melambangkan bahwa seluruh gerakan hidup kita seharusnya mengikuti poros tauhid. Setiap putaran bukan hanya langkah kaki, tapi juga langkah hati menuju penghambaan sejati.

Filosofi thawaf juga mengajarkan kesetaraan. Tak ada perbedaan antara orang kaya atau miskin, pejabat atau rakyat biasa. Semua mengenakan pakaian ihram yang sama, tanpa atribut duniawi.

Lebih jauh lagi, thawaf melatih kesabaran, disiplin, dan keikhlasan. Dalam keramaian yang padat, jamaah tetap harus menjaga etika, tidak menyakiti, dan terus berdzikir. Ini menjadi simbol kehidupan sosial ideal dalam Islam.

Dengan demikian, thawaf bukan hanya ritual, melainkan pernyataan iman yang hidup: bahwa seluruh keberadaan manusia berpusat kepada Allah, dan setiap detik kehidupan adalah thawaf rohani untuk meraih ridha-Nya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Kesalahan Umum Saat Lempar Jumrah dan Cara Menghindarinya

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Meskipun lempar jumrah adalah bagian penting dari ibadah haji, banyak jemaah yang tanpa sadar melakukan kesalahan dalam pelaksanaannya. Kesalahan-kesalahan ini bisa berdampak pada keabsahan ibadah atau bahkan membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Salah satu kesalahan paling umum adalah melempar batu secara bersamaan, bukan satu per satu. Padahal syariat mengatur agar jemaah melempar tujuh batu kecil secara terpisah, dengan membaca takbir di setiap lemparan. Melempar beberapa batu sekaligus hanya dihitung satu lemparan saja, dan bisa menyebabkan kurang dari tujuh lemparan sah.

Kesalahan berikutnya adalah menggunakan batu yang terlalu besar atau benda sembarangan seperti sandal atau botol. Nabi Muhammad ﷺ mencontohkan batu yang digunakan seukuran ujung jari atau biji kacang. Melempar benda besar bukan hanya tidak sah, tapi juga membahayakan keselamatan jemaah lain.

Banyak jemaah juga salah arah, yaitu tidak mengarah ke pilar jumrah dengan tepat. Beberapa hanya melempar asal, tanpa memastikan batu masuk ke kolam tempat pilar berada. Padahal, lemparan yang tidak masuk ke area yang ditentukan tidak dihitung sah.

Selain itu, ada pula yang tidak menjaga urutan lemparan saat hari tasyrik (11–13 Dzulhijjah). Lemparan harus dimulai dari Jumrah Ula, lalu Wustha, dan terakhir Aqabah. Melanggar urutan ini bisa mengacaukan pelaksanaan ibadah karena tiap hari memiliki struktur yang teratur.

Menyerobot atau mendesak jemaah lain saat melempar juga termasuk kesalahan yang merusak adab dan bisa menimbulkan bahaya. Beberapa jemaah memaksakan diri ingin berada di posisi paling depan agar lemparannya “lebih afdol”, padahal pelemparan dari jarak jauh tetap sah asal masuk area.

Untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, jemaah disarankan untuk:

Mengikuti bimbingan dari pembimbing ibadah haji secara cermat.

Mempersiapkan batu yang sesuai ukuran sejak di Muzdalifah atau Mina.

Mengikuti jadwal lempar jumrah yang telah ditentukan petugas haji demi menghindari kerumunan.

Memastikan jumlah lemparan dengan menghitung setiap kali melempar sambil membaca “Allahu Akbar”.

Menjaga niat dan kesabaran, tidak terburu-buru, dan menghindari emosi saat berada di lokasi yang padat.

Bagi jemaah yang lanjut usia, sakit, atau perempuan yang rentan terdorong dalam kerumunan, sebaiknya meminta bantuan atau melakukan badal jumrah (diwakilkan oleh orang lain yang mampu).

Dengan memahami kesalahan umum ini dan menghindarinya, jemaah dapat melaksanakan lempar jumrah dengan lebih tenang, khusyuk, dan sah secara syariat. Ibadah haji bukan hanya soal menyelesaikan rangkaian ritual, tetapi tentang menjaga niat, disiplin, dan keselamatan dalam setiap amal.

Continue Reading

Ruang Sujud

Sejarah Lempar Jumrah: Jejak Perlawanan Nabi Ibrahim terhadap Setan

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Lempar jumrah adalah ritual yang memiliki akar sejarah mendalam, langsung terhubung dengan kisah perjuangan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam menghadapi godaan setan. Peristiwa ini menjadi inspirasi utama pelaksanaan lempar jumrah dalam ibadah haji hingga hari ini.

Menurut riwayat yang banyak dikenal, ketika Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah untuk menyembelih putranya, Ismail, setan mencoba menggoda beliau agar ragu dan membatalkan niatnya. Godaan ini terjadi di tiga tempat berbeda. Di setiap tempat itulah, Nabi Ibrahim melemparkan batu ke arah setan sebagai bentuk penolakan dan keteguhan iman.

Ketiga lokasi tersebut kini dikenal sebagai Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah, yang menjadi tempat pelemparan batu dalam ritual haji. Aksi Nabi Ibrahim ini bukanlah bentuk kekerasan fisik, melainkan manifestasi dari tekad bulat untuk tetap taat kepada perintah Tuhan meskipun harus mengorbankan hal yang paling dicintai.

Tak hanya Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Nabi Ismail juga dikisahkan mengalami gangguan setan dalam perjalanan menuju tempat penyembelihan. Namun ketiganya menolak godaan tersebut dengan keimanan yang kokoh. Peristiwa ini menunjukkan bahwa ujian dan godaan adalah bagian dari perjalanan spiritual manusia.

Sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ, tradisi lempar jumrah ini dilestarikan sebagai bagian dari ibadah haji. Rasulullah sendiri melakukan lemparan dengan batu kecil, membaca takbir di setiap lemparan, dan melakukannya secara tertib sesuai urutan. Beliau juga menekankan bahwa ritual ini adalah untuk mengenang tindakan Nabi Ibrahim dan sebagai simbol pengusiran setan dari kehidupan manusia.

Seiring berjalannya waktu, tempat-tempat jumrah dibangun menjadi pilar permanen, dan kini telah diperluas dengan struktur bertingkat untuk mengakomodasi jutaan jemaah haji dari seluruh dunia. Namun, esensi sejarahnya tetap sama: melawan setan dengan iman dan keteguhan hati.

Pelajaran dari sejarah lempar jumrah sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari. Setan hadir dalam banyak bentuk: kesombongan, ketamakan, kemalasan, dan kebencian. Dengan melempar jumrah, seorang muslim mengingat kembali perjuangan Nabi Ibrahim dan memperbaharui tekadnya untuk melawan hawa nafsu dan bisikan jahat.

Lempar jumrah bukan sekadar ritual fisik, tapi adalah simbol perlawanan spiritual terhadap segala bentuk kejahatan yang bersemayam di hati dan lingkungan. Semangat Nabi Ibrahim dalam menolak ajakan setan menjadi warisan abadi yang terus dikenang dan diamalkan oleh umat Islam hingga hari ini.

Continue Reading

Ruang Sujud

Tata Cara Lempar Jumrah: Panduan Lengkap untuk Jemaah Haji

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Lempar jumrah adalah salah satu rukun wajib dalam ibadah haji yang dilaksanakan di Mina, dan memiliki prosedur pelaksanaan yang telah diatur dengan rinci dalam syariat Islam. Ketaatan terhadap tata cara ini menjadi bagian penting dari kesempurnaan ibadah haji seorang muslim.

Secara umum, lempar jumrah dilakukan dengan melemparkan tujuh batu kecil ke masing-masing dari tiga jumrah: Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah. Ketiga jumrah tersebut berjejer dalam satu jalur yang menjadi lokasi khusus di Mina. Namun, tidak semua jumrah dilempar pada hari yang sama.

Pada tanggal 10 Dzulhijjah, jemaah hanya melempar Jumrah Aqabah sebanyak tujuh kali lemparan. Ini dilakukan setelah melaksanakan wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah. Setiap lemparan diiringi dengan bacaan “Allahu Akbar”, menandakan keteguhan hati dalam menolak godaan setan.

Selanjutnya pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah (hari-hari tasyrik), jemaah melempar ketiga jumrah secara berurutan: dimulai dari Jumrah Ula, dilanjutkan dengan Wustha, dan diakhiri dengan Aqabah. Masing-masing jumrah dilempar dengan tujuh batu, dengan total 21 batu per hari. Jemaah dapat memilih hanya dua hari (11 dan 12 Dzulhijjah) dan meninggalkan Mina setelahnya (nafar awal), atau menambah satu hari lagi hingga tanggal 13 (nafar tsani).

Batu yang digunakan untuk lempar jumrah adalah batu kecil seukuran ujung jari atau kelereng kecil, bukan batu besar. Batu tersebut diambil saat mabit di Muzdalifah, atau bisa juga diambil dari area Mina selama sesuai ukuran dan ketentuan. Batu harus dilempar satu per satu, tidak boleh sekaligus, dan harus benar-benar masuk ke dalam kolam tempat pilar jumrah berada.

Jemaah juga harus menjaga niat dan tidak terburu-buru. Lempar jumrah bukan sekadar “menyelesaikan tugas”, melainkan ibadah yang penuh makna. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memperbanyak doa dan dzikir selama melaksanakan ritual ini.

Karena situasi di lokasi bisa sangat padat dan panas, Pemerintah Arab Saudi membagi waktu pelaksanaan lempar jumrah untuk mencegah penumpukan. Jemaah Indonesia umumnya mengikuti jadwal yang ditetapkan oleh petugas haji agar pelaksanaan tetap aman dan lancar.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah tidak mendorong atau menyakiti jemaah lain, menghindari membawa barang berat, serta memperhatikan kondisi fisik. Bila memungkinkan, jemaah lanjut usia atau sakit dapat diwakilkan oleh orang lain untuk melaksanakan lempar jumrah (badal).

Dengan mengikuti tata cara lempar jumrah secara tertib, jemaah tidak hanya menyempurnakan ibadah haji secara teknis, tetapi juga menunjukkan ketaatan dan kecintaan kepada Allah dalam bentuk paling nyata.

Continue Reading

Ruang Sujud

Idul Adha di Era Digital: Tetap Bermakna Meski Berbeda Cara

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Era digital mengubah banyak hal dalam hidup kita, termasuk cara merayakan hari besar keagamaan seperti Idul Adha. Dari penyembelihan kurban online hingga khutbah Id yang disiarkan daring, semuanya mencerminkan adaptasi umat Islam terhadap zaman.

Kini, banyak lembaga dan platform menyediakan layanan kurban digital. Calon pekurban tinggal memilih hewan, mentransfer dana, dan menerima laporan pelaksanaan melalui email. Praktis dan efisien, terutama untuk yang tinggal jauh dari kampung halaman atau tak punya waktu untuk mengurus langsung.

Media sosial juga menjadi medium baru untuk menyebarkan pesan Idul Adha. Ucapan selamat, video takbir, hingga dokumentasi penyembelihan kurban ramai beredar. Meski bersifat virtual, konten-konten ini membantu menyebarkan semangat dan pesan keikhlasan yang menjadi inti dari Idul Adha.

Namun, tantangannya adalah bagaimana menjaga esensi ibadah tetap hidup di tengah digitalisasi ini. Jangan sampai semangat berkurban hanya berhenti pada transfer uang dan unggahan foto, tanpa disertai refleksi spiritual.

Idul Adha digital tetap bisa bermakna jika dijalani dengan kesadaran dan niat yang benar. Teknologi hanyalah alat. Yang paling penting adalah niat, keikhlasan, dan kepedulian terhadap sesama yang tetap menjadi jiwa dari perayaan ini.

Continue Reading

Ruang Sujud

Tradisi Kurban: Antara Ibadah, Sosial, dan Kearifan Lokal

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Tradisi kurban dalam Islam bukan hanya ibadah spiritual, tapi juga mengandung dimensi sosial yang sangat kuat. Bahkan di banyak daerah, tradisi ini dipadukan dengan kearifan lokal yang memperkaya makna dan pelaksanaannya.

Sebagai ibadah, kurban merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam QS. Al-Hajj: 37 bahwa “daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” Maka, niat dan ketulusan adalah yang utama.

Namun, kurban juga memiliki nilai sosial yang luar biasa. Daging kurban dibagikan kepada fakir miskin, tetangga, dan keluarga. Ini menjadi momen berbagi dan memperkuat solidaritas sosial. Di masyarakat pedesaan, daging kurban menjadi sumber protein langka yang sangat ditunggu.

Di Indonesia, pelaksanaan kurban sering diiringi dengan gotong royong. Warga saling bantu dalam proses penyembelihan, pemotongan, hingga distribusi daging. Inilah bentuk nyata dari semangat kebersamaan yang diwariskan secara turun-temurun.

Menariknya, tiap daerah memiliki kekhasan dalam merayakan kurban. Di Aceh ada tradisi meugang, di Jawa dikenal dengan selametan sebelum penyembelihan, sementara di Sulawesi kadang ada pengolahan daging menjadi makanan khas sebelum dibagikan.

Kurban tidak hanya ritual ibadah, tapi juga ruang untuk memperkuat identitas sosial dan budaya. Selama tetap pada koridor syariat, kearifan lokal justru membuat pelaksanaan kurban semakin membumi dan bermakna.

Continue Reading

Ruang Sujud

Amalan Sunnah di Hari Raya Idul Adha yang Sering Terlupakan

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Idul Adha datang dengan sejumlah anjuran amalan sunnah yang memiliki nilai ibadah tinggi. Namun, tak sedikit umat Islam yang justru melupakan atau mengabaikannya. Padahal, amalan-amalan ini bisa memperkaya makna Idul Adha secara spiritual.

Salah satu amalan yang dianjurkan adalah memperbanyak takbir sejak malam Idul Adha hingga hari Tasyrik berakhir. Takbir ini menjadi simbol pengagungan terhadap Allah dan bentuk syukur atas nikmat-Nya. Sayangnya, gema takbir sering hanya terdengar di malam takbiran saja, lalu menghilang keesokan harinya.

Amalan lain adalah mandi sebelum salat Id. Ini merupakan sunnah yang menandakan kesiapan lahir dan batin untuk menyambut hari raya. Mengenakan pakaian terbaik dan memakai wewangian juga menjadi anjuran, karena mencerminkan semangat merayakan hari besar Islam dengan bersih dan rapi.

Tak kalah penting adalah menyembelih hewan kurban bagi yang mampu. Kurban bukan sekadar penyembelihan, tapi bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sayangnya, ada sebagian orang yang lebih fokus pada urusan teknis dan pesta makan-makan, ketimbang niat ibadah di balik kurban itu.

Idul Adha juga bisa dimaknai dengan mempererat silaturahmi dan berbagi kepada yang membutuhkan. Jadi, daripada sekadar menjadi formalitas tahunan, mari hidupkan kembali amalan-amalan sunnah yang justru menjadi roh dari Idul Adha itu sendiri.

Continue Reading

Ruang Sujud

Makna Idul Adha: Meneladani Keikhlasan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Idul Adha bukan sekadar hari raya yang dirayakan dengan menyembelih hewan kurban dan berbagi daging kepada sesama. Di balik itu semua, terdapat pelajaran besar tentang keikhlasan dan kepatuhan kepada Allah SWT yang tercermin dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Dalam sejarahnya, Nabi Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih putranya, Ismail. Tanpa ragu, beliau menyampaikan perintah itu kepada sang anak. Respons Ismail begitu luar biasa: “Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 102).

Kisah ini menunjukkan bahwa keimanan dan keikhlasan bukan hanya dimiliki oleh Nabi Ibrahim, tapi juga oleh Nabi Ismail. Keduanya memberi contoh tentang bagaimana ketaatan total kepada perintah Allah adalah bentuk tertinggi dari keimanan.

Idul Adha mengajak umat Islam untuk meneladani nilai-nilai tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada berbagai bentuk ujian. Bisa jadi bukan dalam bentuk pengorbanan fisik, tapi dalam bentuk waktu, tenaga, dan keinginan pribadi. Menahan ego, bersabar menghadapi ujian, dan tetap taat pada ajaran agama merupakan bentuk pengorbanan di masa kini.

Dengan memahami makna Idul Adha secara mendalam, kita tak sekadar merayakannya sebagai tradisi tahunan, tapi menjadikannya sebagai momentum spiritual untuk memperbaiki diri, memperkuat iman, dan membangun hubungan yang lebih ikhlas dengan Tuhan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Kisah Nabi Ismail dan Hajar: Keajaiban Air Zamzam di Padang Tandus

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Kisah Nabi Ismail dan ibunya, Hajar, adalah sebuah narasi penuh keajaiban, ketabahan, dan keimanan yang tak lekang oleh waktu. Di tengah padang pasir Mekkah yang tandus dan tak berpenghuni, muncul sebuah mukjizat agung: air zamzam. Sebuah sumber air yang hingga kini terus mengalir tanpa henti, menjadi saksi dari kesabaran dan tawakkal dua hamba Allah yang luar biasa.

Cerita ini bermula ketika Nabi Ibrahim, atas perintah Allah, membawa Hajar dan Ismail yang masih bayi ke sebuah lembah gersang di Hijaz, yang kelak menjadi kota suci Mekkah. Tanpa perbekalan yang cukup, tanpa tempat tinggal, dan tanpa penduduk, Hajar ditinggalkan oleh Ibrahim karena ketaatannya kepada Allah. Meski awalnya berat, Hajar menerima dengan penuh iman karena tahu suaminya menjalankan titah Ilahi.

Saat persediaan makanan dan air habis, Hajar yang kehausan melihat bayinya menangis pilu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha. Ia berlari antara dua bukit—Shafa dan Marwah—sebanyak tujuh kali, dengan harapan ada manusia atau sumber air di sekitar. Usaha ini menjadi simbol dari keikhlasan dan kegigihan seorang ibu yang rela melakukan apa saja demi menyelamatkan anaknya.

Ketika semua usaha telah dilakukan dan Hajar kembali ke sisi Ismail, mukjizat Allah pun datang. Dari hentakan kaki kecil Ismail, memancar air yang terus mengalir dari tanah. Hajar spontan menampung air tersebut sambil berkata, “Zamzam, zamzam!” yang berarti “berkumpullah, berkumpullah!” Maka, air itu pun tidak hanya mengalir deras, tapi juga menjadi sumber kehidupan bagi masa depan kota Mekkah.

Keberadaan air zamzam inilah yang kemudian menarik kabilah-kabilah Arab untuk menetap di daerah tersebut, menjadikannya kawasan yang ramai dan makmur. Maka bisa dikatakan bahwa perjuangan Hajar dan keberadaan Ismail menjadi cikal bakal berdirinya kota Mekkah—kota suci yang kelak akan menjadi pusat spiritual umat Islam.

Kisah ini tidak hanya mencerminkan mukjizat dalam bentuk fisik, tetapi juga pelajaran spiritual yang sangat dalam. Hajar tidak tinggal diam menunggu pertolongan datang. Ia berikhtiar maksimal, berlari bolak-balik tanpa lelah. Barulah setelah itu, pertolongan Allah datang. Ini menjadi pelajaran penting bahwa ikhtiar dan tawakkal harus berjalan seiring—usaha tidak menghilangkan iman, dan iman tidak menggugurkan usaha.

Salah satu bentuk penghormatan terhadap perjuangan Hajar ini adalah diwajibkannya umat Islam untuk melakukan sa’i—berlari kecil antara Shafa dan Marwah—sebagai bagian dari rukun umrah dan haji. Aktivitas fisik ini bukan sekadar ritual, tetapi pengingat akan betapa besarnya pengorbanan dan keyakinan seorang ibu yang dijadikan syariat sepanjang zaman.

Kehadiran Nabi Ismail di tengah kisah ini pun memperkuat pesan bahwa mukjizat sering kali muncul melalui kelemahan yang tampak. Seorang bayi yang belum bisa berkata-kata justru menjadi sebab munculnya sumber kehidupan yang tak terputus. Hal ini mengajarkan bahwa dalam hidup, tak ada yang mustahil bagi Allah, dan bahkan kelemahan bisa menjadi kekuatan jika disertai keimanan.

Zamzam bukan hanya air biasa. Ia adalah simbol dari rahmat dan keberkahan. Dalam banyak hadis, air zamzam memiliki berbagai keutamaan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Air Zamzam tergantung kepada niat orang yang meminumnya.” Artinya, air ini bisa menjadi obat, kekuatan, atau berkah sesuai dengan niat peminumnya. Hingga hari ini, jutaan orang datang ke Mekkah untuk mencicipi air ini, menjadikannya bagian dari ibadah yang penuh makna.

Dalam konteks kehidupan modern, kisah Hajar dan Ismail mengajarkan ketabahan dalam menghadapi ujian. Ketika seseorang merasa berada di titik terendah, di padang tandus kehidupan, maka jangan pernah berhenti berusaha dan jangan pernah putus harapan. Pertolongan Allah bisa datang dari arah yang tak disangka, bahkan melalui sesuatu yang tampak mustahil.

Tak kalah penting, kisah ini juga menjadi pengingat tentang pentingnya peran ibu. Hajar bukan nabi, bukan tokoh kerajaan, tetapi seorang ibu yang kuat, penuh cinta, dan ikhlas. Allah mengabadikan perjuangannya dalam ritual haji, menunjukkan bahwa peran seorang ibu sangatlah mulia dan layak dikenang sepanjang masa.

Pada akhirnya, kisah Nabi Ismail dan Hajar bukan hanya sejarah, tetapi juga refleksi iman, usaha, dan pengharapan. Ia adalah bukti bahwa di balik setiap ujian, selalu ada rahmat yang menanti. Dan dari air zamzam yang terus mengalir, kita diajak untuk terus percaya bahwa kasih sayang Allah tidak pernah kering.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Review19 minutes ago

Prof Rokhmin: Mari Jaga Raja Ampat, Pesonanya kini Terancam

Ruang Sujud3 hours ago

Jenis-Jenis Thawaf: Panduan Lengkap bagi Jamaah Haji dan Umrah

Ruang Sujud6 hours ago

Langkah-Langkah Thawaf yang Benar Sesuai Sunnah Nabi

Sportechment10 hours ago

Inter Milan Dapuk Cristian Chivu Jadi Arsitek Baru

Sportechment10 hours ago

Ivan Gunawan Pamer Kepala Botak Usai Tuntaskan Rangkaian Ibadah Haji

Ruang Sujud11 hours ago

Thawaf: Makna dan Filosofi Mengelilingi Ka’bah dalam Ibadah Haji dan Umrah

Sportechment11 hours ago

Kapan Liga Spanyol 2025/2026 Dimulai?

Review18 hours ago

Perjamuan Kekuasaan di Meja Makan

Review18 hours ago

Listyo Sigit Tetap Kapolri, Tak Tergoyahkan

Ruang Sujud22 hours ago

Kesalahan Umum Saat Lempar Jumrah dan Cara Menghindarinya

Sportechment23 hours ago

Menanti Pembuktian Marquez Sang Penakluk Sirkuit Aragon, Lihat Jadwalnya

Sportechment1 day ago

Usai Bertemu Prabowo di Kertanegara, Pemain Timnas Pulang Bawa Jam Tangan Mewah

Ruang Sujud1 day ago

Sejarah Lempar Jumrah: Jejak Perlawanan Nabi Ibrahim terhadap Setan

News1 day ago

Kurban, Pendidikan dan Misi Peradaban

Ruang Sujud1 day ago

Tata Cara Lempar Jumrah: Panduan Lengkap untuk Jemaah Haji

News1 day ago

Makna dan Hikmah di Balik Lempar Jumrah dalam Ibadah Haji

Sportechment2 days ago

Prabowo Bangga Timnas Bekuk China: Perjalanan Belum Usai, Siapa Tahu ke Piala Dunia

Sportechment2 days ago

Ole Romeny Cetak Gol Lagi, Timnas Indonesia Tumbangkan China

Sportechment2 days ago

Wuih! Awali Petualangan Global, Jumbo Rambah Bioskop Rusia hingga Kyrgystan

Ruang Sujud2 days ago

Idul Adha di Era Digital: Tetap Bermakna Meski Berbeda Cara