Connect with us

Ruang Sujud

Landasan Hukum Qital dalam Al-Qur’an dan Hadis

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Qital bukanlah tindakan sembarangan dalam Islam. Ia memiliki dasar hukum yang kuat dalam Al-Qur’an dan hadis, serta diatur secara rinci dalam fiqh siyar (hukum perang Islam). Tujuannya adalah untuk menjaga kedamaian yang adil, bukan menciptakan kerusakan.

Salah satu ayat yang paling jelas tentang hukum qital adalah Surah Al-Hajj ayat 39: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” Ini menegaskan bahwa izin berperang diberikan kepada kaum Muslimin yang tertindas.

Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Jangan membunuh wanita, anak-anak, orang tua, atau orang yang tidak ikut berperang.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa qital dibatasi oleh norma dan etika. Islam tidak mengenal doktrin perang total atau genosida.

Para ulama membagi qital dalam dua kategori besar: qital difa’i (defensif) dan qital thalabi (ofensif untuk mencegah kerusakan lebih besar). Keduanya harus mengikuti prinsip-prinsip syariat dan tidak boleh berdasarkan ambisi duniawi.

Dalam fikih, para ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, hingga Hanbali sepakat bahwa qital hanya dilakukan jika telah terpenuhi syarat seperti adanya penindasan, pengusiran dari tanah air, atau penghalangan terhadap penyebaran Islam.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Qital dalam Islam: Antara Pertahanan Diri dan Menegakkan Keadilan

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Qital dalam bahasa Arab berarti peperangan atau pertempuran. Dalam konteks syariat Islam, qital merujuk pada peperangan fisik yang dilakukan untuk tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Islam tidak memulai dengan kekerasan, tetapi ketika kedamaian terusik dan penindasan merajalela, maka qital menjadi bentuk perlawanan yang sah.

Dalam Al-Qur’an, perintah qital muncul pada saat umat Islam telah mengalami penindasan yang luar biasa. Surah Al-Baqarah ayat 190 menegaskan, “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Ayat ini menjadi dasar bahwa qital bersifat defensif dan bertujuan menegakkan keadilan.

Qital bukan untuk ekspansi kekuasaan, balas dendam, atau pembunuhan massal. Ia dilakukan ketika tidak ada jalan lain untuk menjaga eksistensi umat dan agama. Rasulullah SAW sendiri menghindari peperangan selama mungkin. Baru ketika tekanan Quraisy makin kuat dan kaum Muslimin diburu di Makkah, barulah beliau diberi izin untuk berperang setelah hijrah ke Madinah.

Oleh karena itu, qital dalam Islam adalah bentuk jihad fi sabilillah, yaitu perjuangan yang terukur dan bertujuan menegakkan kebenaran serta melindungi yang tertindas. Qital tidak boleh dilepaskan dari etika, syarat, dan tujuan yang mulia.

Continue Reading

Ruang Sujud

Thagut di Era Modern: Mengidentifikasi Simbol-Simbol Penyesatan dalam Kehidupan Sehari-hari

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Di zaman modern, thagut tidak selalu hadir dalam bentuk yang mencolok seperti berhala atau raja yang mengaku tuhan. Justru dalam era digital dan globalisasi, thagut hadir dalam bentuk yang lebih halus dan terselubung.

Misalnya, media massa yang menyebarkan ideologi liberalisme dan permisivisme moral sering kali menjadi alat thagut. Ketika standar hidup diukur dari materi, popularitas, atau kenikmatan sesaat, maka masyarakat sedang diarahkan menjauhi Allah secara sistemik. Ini adalah bentuk penyembahan terhadap hawa nafsu dan dunia.

Sistem perbankan riba, hukum yang anti syariat, budaya yang menormalisasi maksiat, hingga tokoh-tokoh yang menyuarakan nilai-nilai antiagama—semuanya bisa menjadi thagut modern. Bahkan media sosial yang mempromosikan ketenaran di atas ketaatan juga bisa menjadi alat penyesatan jika tidak digunakan dengan bijak.

Maka penting bagi seorang muslim untuk senantiasa melakukan muhasabah (evaluasi diri) dan tajdid (pembaharuan iman). Kita harus bertanya: apakah gaya hidup kita mencerminkan tauhid? Apakah nilai-nilai yang kita konsumsi setiap hari membangun keimanan, atau justru menjerumuskan kita ke dalam cengkraman thagut?

Solusi dari semua ini adalah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Pendidikan tauhid sejak dini, lingkungan yang islami, dan keberanian untuk berkata tidak pada kebatilan adalah langkah awal untuk menangkal thagut zaman sekarang.

Continue Reading

Ruang Sujud

Perlawanan terhadap Thagut: Konsep Tauhid dalam Menolak Kekuasaan yang Zalim

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Tauhid bukan hanya ucapan lisan tentang keesaan Allah, tapi juga komitmen penuh terhadap ketaatan kepada-Nya semata. Konsekuensi dari kalimat Lā ilāha illallāh adalah menolak semua bentuk ketundukan kepada selain Allah, termasuk kepada thagut.

Kekuasaan yang zalim, yang menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu atau logika manusia semata, adalah bentuk nyata dari thagut. Ketika kekuasaan tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan justru menindas umat serta mempromosikan kemaksiatan, maka umat Islam wajib menolaknya.

Penolakan terhadap thagut bukan berarti anarkisme atau pemberontakan sembarangan. Islam memiliki manhaj (metodologi) dalam melakukan perubahan, dimulai dari dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, hingga hijrah apabila diperlukan. Namun prinsipnya jelas: tidak ada kompromi dengan thagut.

Ulama seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan bahwa inti dari dakwah tauhid adalah menolak thagut dan mentauhidkan Allah. Ini adalah dua sisi dari satu mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Tauhid tanpa penolakan terhadap thagut adalah keimanan yang cacat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Thagut dalam Al-Qur’an dan Hadis: Siapa Mereka dan Mengapa Harus Dijauhi?

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam Al-Qur’an, thagut disebut sebanyak delapan kali dan selalu dalam konteks yang negatif. Istilah ini mencakup berbagai makna, mulai dari setan, penyihir, dukun, penguasa lalim, hingga hukum-hukum buatan yang menyalahi wahyu Allah. Para ulama, seperti Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa thagut adalah segala sesuatu yang disembah atau ditaati selain Allah dan ridha terhadap ketaatan itu.

Contoh nyata thagut dalam sejarah adalah Firaun, yang mengaku sebagai tuhan dan menolak risalah Nabi Musa. Ia tidak hanya menyesatkan dirinya sendiri, tetapi juga membawa umatnya kepada kehancuran. Firaun adalah gambaran sempurna seorang thagut: arogan, zalim, dan menolak kebenaran.

Hadis Nabi Muhammad SAW juga menegaskan perlawanan terhadap thagut. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” Ini termasuk membenci dan menjauhi thagut, karena cinta terhadap Allah tidak akan pernah bersatu dengan kecintaan terhadap kebatilan.

Meninggalkan thagut bukan hanya soal menolak berhala, tetapi juga meninggalkan sistem hidup yang bertentangan dengan Islam. Umat Islam harus waspada terhadap thagut modern yang tersembunyi dalam bentuk gaya hidup, hukum, ideologi, dan sistem yang tidak bersumber dari wahyu.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mengenal Thagut dalam Islam: Makna, Bentuk, dan Bahayanya bagi Keimanan

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam ajaran Islam, konsep thagut merupakan istilah penting yang terkait erat dengan keimanan dan tauhid. Kata “thagut” berasal dari akar kata thaghā yang berarti melampaui batas atau durhaka. Dalam konteks syar’i, thagut merujuk pada segala sesuatu yang disembah selain Allah, atau segala bentuk kekuasaan, hukum, dan pengaruh yang mengajak manusia menyimpang dari jalan Allah.

Thagut tidak hanya berarti berhala atau setan secara literal. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, bentuk thagut bisa sangat beragam. Ia bisa berupa individu yang mengaku sebagai tuhan, penguasa yang menetapkan hukum bertentangan dengan syariat, sistem politik sekuler yang menolak hukum Allah, bahkan media atau budaya yang menyeret manusia menjauh dari tauhid.

Al-Qur’an berulang kali menyebutkan istilah thagut. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 256, Allah berfirman: “Barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat.” Ayat ini menegaskan bahwa menolak thagut adalah syarat utama dalam membangun keimanan yang lurus.

Bahaya thagut sangat besar karena ia menyesatkan dan menghancurkan pondasi iman seseorang. Oleh karena itu, seorang muslim wajib mengenali dan menjauhi semua bentuk thagut dalam kehidupannya. Menolak thagut berarti meneguhkan tauhid dan menolak segala bentuk penyekutuan terhadap Allah.

Continue Reading

Ruang Sujud

Hikmah di Balik Mabit: Merenungi Kehidupan dan Penghambaan kepada Allah

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Mabit dalam ibadah haji bukan sekadar bermalam secara fisik di Muzdalifah atau Mina, melainkan sebuah ibadah yang penuh dengan nilai-nilai spiritual dan sosial. Di balik aktivitas yang tampak sederhana itu, terdapat hikmah besar yang mampu memperkuat keimanan dan mengasah kepekaan hati seorang Muslim.

Salah satu hikmah utama dari mabit adalah latihan untuk bersabar dan berserah diri kepada Allah. Jamaah haji dituntut untuk meninggalkan kenyamanan hidup, tidur di tempat terbuka, tanpa kasur empuk, tanpa fasilitas mewah. Dalam kondisi tersebut, seseorang diajak untuk menyadari bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara, dan kemewahan bukanlah tujuan akhir hidup ini.

Mabit juga menjadi momen perenungan dan kontemplasi, terutama di Muzdalifah yang sunyi dan lapang. Di sana, ribuan orang bermalam dalam keheningan malam, langit terbuka, dan udara dingin. Dalam suasana itu, hati lebih mudah tersentuh untuk mengingat dosa, meminta ampun, dan memperbaiki diri. Ini adalah waktu yang sangat tepat untuk menyendiri bersama Allah, jauh dari hiruk pikuk dunia.

Selain itu, mabit mengajarkan kesetaraan dan kebersamaan. Tidak peduli kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, semua orang tidur di tempat yang sama. Ini adalah bentuk nyata bahwa di hadapan Allah, semua manusia adalah sama. Yang membedakan hanyalah ketakwaan. Dari sinilah lahir nilai ukhuwah Islamiyah yang sejati — saling membantu, berbagi, dan menghargai.

Mabit juga menyimpan pelajaran dari sejarah perjuangan para nabi, terutama Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW. Di Mina, kita mengenang bagaimana Ibrahim diuji untuk menyembelih anaknya, Ismail, dan bagaimana keduanya menunjukkan ketaatan luar biasa. Mabit menjadi bagian dari kisah pengorbanan itu, sebagai refleksi bagi umat Islam agar selalu siap taat kepada perintah Allah, meskipun terasa berat.

Dalam konteks ibadah haji yang serba padat, mabit justru menjadi jeda yang sangat berharga. Ia menjadi titik perenungan di antara perjalanan spiritual yang melelahkan. Ini adalah saatnya untuk menguatkan niat, memperbarui tekad, dan memperdalam makna ibadah, bukan hanya menjalankan ritual semata.

Di balik semua hikmah itu, mabit juga mengajarkan kita untuk menghargai waktu malam, yang dalam Islam memiliki kedudukan istimewa. Allah banyak menyebut malam dalam Al-Qur’an sebagai waktu yang penuh keberkahan, tempat terbaik untuk berdoa, berdzikir, dan bertobat. Mabit menghidupkan kembali tradisi malam yang penuh makna tersebut.

Hikmah lainnya adalah membangun ketahanan diri. Bermalam di tengah keterbatasan fisik dan kenyamanan melatih mental, mengajarkan rasa syukur atas nikmat yang sering dilupakan, dan membentuk pribadi tangguh dalam menghadapi tantangan hidup.

Bagi sebagian jamaah, mabit bisa menjadi titik transformasi spiritual. Di sanalah mereka merenung, menangis, memohon ampun, dan merasa benar-benar dekat dengan Allah. Banyak yang membawa pulang pengalaman mabit sebagai momen paling menyentuh selama haji, bahkan melebihi puncak wukuf di Arafah.

Mabit bukan hanya tempat untuk tidur, tapi tempat untuk bangkit — dari kelalaian menuju kesadaran, dari kesombongan menuju kerendahan hati. Mabit mengajarkan bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan, dan setiap kita akan kembali kepada Allah, satu per satu, tanpa harta dan status.

Dengan semua hikmah itu, mabit bukan hanya kewajiban haji, tapi juga pelajaran hidup yang mendalam. Siapa yang menjalaninya dengan hati, akan pulang dengan jiwa yang lebih bersih, lebih kuat, dan lebih dekat kepada Tuhan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Panduan Lengkap Mabit: Waktu, Tempat, dan Tata Cara Sesuai Syariat

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Mabit adalah salah satu rangkaian wajib dalam ibadah haji yang berarti bermalam di tempat tertentu dalam waktu yang ditetapkan. Meski terlihat sederhana, pelaksanaan mabit memiliki aturan yang harus dipahami agar ibadah haji menjadi sah dan sempurna menurut syariat Islam.

Ada dua tempat utama untuk melaksanakan mabit, yaitu Muzdalifah dan Mina. Mabit di Muzdalifah dilakukan setelah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah malam hingga menjelang subuh pada tanggal 10 Dzulhijjah. Sedangkan mabit di Mina dilakukan pada malam-malam hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.

1. Waktu Mabit di Muzdalifah

Setelah meninggalkan Arafah, jamaah haji menuju Muzdalifah. Di sinilah mereka diwajibkan bermalam minimal hingga pertengahan malam, meskipun yang utama adalah sampai menjelang subuh. Pelaksanaan mabit ini menjadi bentuk ketaatan dan mengikuti jejak Rasulullah SAW. Di waktu malam inilah jamaah juga disunnahkan mengumpulkan batu untuk lempar jumrah.

2. Waktu Mabit di Mina

Mabit di Mina dilakukan pada malam 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, tergantung lamanya jamaah menetap di sana. Untuk yang akan meninggalkan Mina pada tanggal 12, cukup bermalam dua malam. Namun yang memilih hingga tanggal 13, maka wajib bermalam tiga malam. Setiap malam harus diisi minimal lebih dari separuh waktu malam berada di Mina.

3. Tata Cara Mabit yang Sesuai Syariat

Tata cara mabit sebenarnya cukup sederhana. Jamaah hanya perlu berada di lokasi yang telah ditentukan, tidak harus dalam keadaan tidur atau melakukan aktivitas khusus. Yang penting adalah keberadaan fisik mereka di tempat mabit selama waktu yang disyariatkan. Namun demikian, para jamaah dianjurkan memperbanyak zikir, doa, membaca Al-Qur’an, dan tafakur selama mabit.

Untuk mabit di Muzdalifah, jamaah disarankan menunaikan salat Maghrib dan Isya secara jamak takhir dengan satu azan dan dua iqamah. Lalu menginap hingga fajar atau minimal hingga tengah malam bagi yang lemah atau lanjut usia.

Sementara di Mina, selain bermalam, jamaah juga melakukan lempar jumrah di siang harinya. Lemparan dilakukan ke tiga jumrah: Ula, Wustha, dan Aqabah dengan masing-masing tujuh batu kecil yang dikumpulkan sebelumnya dari Muzdalifah.

4. Siapa yang Mendapat Keringanan dalam Mabit?

Islam adalah agama yang penuh kasih dan memberikan keringanan (rukhshah) bagi mereka yang memiliki uzur. Bagi lansia, orang sakit, wanita hamil, atau petugas haji yang memiliki tanggung jawab pelayanan, diperbolehkan meninggalkan mabit dengan syarat tertentu, termasuk membayar dam jika memang diperlukan.

Ulama sepakat bahwa mabit adalah bagian dari wajib haji. Oleh karena itu, jika seseorang tidak melaksanakannya tanpa alasan yang dibenarkan syariat, maka ia wajib membayar dam (denda) berupa penyembelihan hewan.

5. Adab dan Etika Selama Mabit

Selama mabit, penting untuk menjaga ketertiban, kebersihan, dan adab terhadap sesama jamaah. Mabit bukan sekadar bermalam, tetapi juga merupakan bentuk latihan spiritual dan sosial. Jamaah hendaknya bersabar, saling membantu, dan menghindari keluhan agar ibadah ini benar-benar membawa keberkahan.

Dengan mengikuti panduan syariat secara benar dalam mabit, jamaah dapat menjalani ibadah haji dengan lebih sempurna. Mabit bukan hanya perhentian fisik, melainkan momen untuk mendekat kepada Allah dalam kesunyian malam dan kebersamaan sesama umat Islam dari seluruh dunia.

Continue Reading

Ruang Sujud

Keutamaan Mabit di Muzdalifah dan Mina: Meneladani Sunnah Rasulullah SAW

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Mabit di Muzdalifah dan Mina bukan sekadar aktivitas fisik bermalam di tempat tertentu, tetapi merupakan ibadah yang sarat makna dan penuh keutamaan. Ibadah ini menjadi bagian dari rangkaian haji yang langsung dicontohkan oleh Rasulullah SAW, menjadikannya sunnah yang sangat dianjurkan untuk diikuti oleh seluruh umat Islam yang menunaikan haji.

Mabit di Muzdalifah dilakukan setelah wukuf di Arafah, pada malam 10 Dzulhijjah. Di tempat ini, para jamaah berkumpul dan bermalam dalam kesederhanaan, sebagai bentuk kesatuan dan kerendahan hati di hadapan Allah. Rasulullah SAW sendiri bermalam di Muzdalifah hingga menjelang subuh, lalu melanjutkan perjalanan ke Mina. Dalam hadits riwayat Muslim, Nabi bersabda bahwa siapa yang mengikuti langkahnya, maka ia telah beribadah dengan benar.

Salah satu keutamaan mabit di Muzdalifah adalah sebagai bentuk penyempurnaan wukuf di Arafah. Jika Arafah menjadi puncak haji, maka Muzdalifah adalah tahap kontemplasi yang memperkuat spiritualitas jamaah. Di sinilah jamaah dianjurkan untuk memperbanyak doa dan zikir di bawah langit malam, tanpa tenda, dalam kondisi seadanya.

Di Muzdalifah pula jamaah mengumpulkan batu kerikil untuk digunakan dalam ritual lempar jumrah di Mina. Aktivitas ini melambangkan kesiapan fisik dan mental untuk melawan bisikan setan dan hawa nafsu, sebagai bentuk jihad pribadi yang simbolik.

Sementara itu, mabit di Mina dilakukan pada malam hari setelah lempar jumrah, yaitu malam tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Rasulullah SAW sendiri bermalam di Mina selama tiga malam dan melakukan lempar jumrah setiap harinya. Keutamaan bermalam di Mina adalah mengikuti jejak Nabi dalam menghadapi ujian kesabaran dan keteguhan iman.

Mina merupakan tempat yang penuh sejarah. Di sinilah Nabi Ibrahim AS pernah diuji saat hendak menyembelih putranya, Ismail AS. Lempar jumrah menjadi simbol pengusiran setan yang menggoda Nabi Ibrahim, dan mabit menjadi bagian dari perenungan atas perjuangan beliau. Dengan demikian, mabit di Mina mengajarkan tentang keteguhan, keberanian, dan ketaatan.

Dalam kondisi darurat, syariat Islam memberikan keringanan (rukhshah) untuk mabit, seperti bagi petugas pelayanan haji atau orang sakit. Namun, bagi yang mampu, menjalankan mabit dengan sempurna akan mendatangkan keutamaan besar dan pahala mengikuti sunnah Rasulullah SAW secara utuh.

Keutamaan mabit tidak hanya bersifat ibadah ritual, tetapi juga ibadah sosial. Jamaah dari berbagai bangsa dan latar belakang hidup bersama dalam suasana kebersamaan, saling membantu, dan menghilangkan sekat-sekat duniawi. Ini menjadi latihan hidup dalam ukhuwah Islamiyah yang sesungguhnya.

Lebih dari itu, mabit mengajarkan kesabaran, karena dilaksanakan dalam kondisi terbatas, sederhana, dan kadang tidak nyaman. Justru dari ketidaknyamanan itulah muncul rasa syukur dan kerendahan hati yang sejati, menghapus kesombongan dan melatih keikhlasan.

Dengan meneladani sunnah Rasulullah SAW dalam mabit di Muzdalifah dan Mina, jamaah tidak hanya melaksanakan rukun haji secara teknis, tetapi juga menyerap ruh spiritual yang terkandung di dalamnya. Setiap malam yang dilalui di sana adalah malam penyucian hati dan jiwa.

Maka, siapa pun yang menunaikan haji, hendaknya tidak meremehkan mabit. Sebab, dalam keheningan malam itulah tersembunyi keutamaan besar, keteladanan Nabi, dan kesempatan untuk benar-benar dekat dengan Allah.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mabit dalam Ibadah Haji: Makna, Tujuan, dan Pelaksanaannya

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Mabit adalah salah satu rangkaian ibadah dalam haji yang sering dianggap sederhana, tetapi menyimpan makna yang sangat dalam. Kata mabit berasal dari bahasa Arab yang berarti bermalam, dan dalam konteks haji, berarti bermalam di tempat tertentu sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Dua lokasi utama untuk mabit adalah Muzdalifah dan Mina.

Secara makna, mabit tidak hanya sekadar menginap atau beristirahat. Ia merupakan simbol kepasrahan, ketundukan, dan kesediaan seorang hamba untuk mengikuti perintah Allah, meskipun tampak sederhana dan tidak selalu mudah. Mabit mengajarkan pentingnya disiplin spiritual dan keteguhan dalam menjalani setiap perintah agama.

Tujuan dari mabit adalah untuk melatih kesabaran, memperkuat hubungan spiritual, serta mengenang perjuangan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan risalah Islam. Di Muzdalifah, jamaah haji mengumpulkan kerikil untuk lempar jumrah, sementara di Mina, mereka bermalam dan melaksanakan lempar jumrah sebagai bentuk simbolik perlawanan terhadap setan.

Pelaksanaan mabit memiliki waktu dan tata cara yang telah ditentukan. Di Muzdalifah, mabit dilakukan setelah wukuf di Arafah pada malam 10 Dzulhijjah hingga menjelang subuh. Sedangkan mabit di Mina dilakukan pada malam-malam hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Lama dan waktu mabit memiliki perbedaan tergantung pada kondisi jamaah, dan ada keringanan (rukhshah) bagi yang memiliki uzur.

Mabit juga menunjukkan nilai kebersamaan dalam Islam. Para jamaah dari berbagai penjuru dunia berkumpul dan beristirahat bersama di tempat terbuka, tanpa sekat, tanpa status sosial, dalam suasana yang penuh kesederhanaan. Ini menjadi momen refleksi bahwa di hadapan Allah, semua manusia sama, yang membedakan hanyalah ketakwaan.

Ulama sepakat bahwa mabit merupakan bagian dari wajib haji. Artinya, apabila tidak dilaksanakan tanpa alasan yang dibenarkan syariat, maka jamaah wajib membayar dam sebagai bentuk pengganti. Namun bagi yang memiliki alasan kuat seperti sakit atau dalam tugas pelayanan, ada keringanan sesuai panduan syariah.

Dalam pelaksanaannya, mabit juga menjadi sarana memperbanyak zikir, doa, dan istighfar. Waktu malam yang tenang di Muzdalifah atau Mina bisa dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bukan sekadar tidur atau istirahat, tetapi juga renungan dan penguatan iman.

Dengan memahami makna dan tujuan mabit, jamaah haji diharapkan tidak menjalankannya sekadar menggugurkan kewajiban. Setiap detik di tanah suci adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dan memperkuat spiritualitas. Mabit menjadi simbol dari kesediaan berhenti sejenak dari dunia, merenungi hidup, dan berserah kepada Sang Maha Pencipta.

Mabit mengingatkan bahwa dalam hidup, ada saatnya untuk berhenti, menenangkan hati, dan kembali pada Allah. Di tengah keramaian ibadah haji, mabit adalah jeda yang bermakna — jeda untuk kembali mengisi ruhani sebelum melanjutkan perjalanan kehidupan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Maqam Ibrahim dalam Al-Qur’an dan Hadis: Bukti Keagungan dan Keteladanan Nabi

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Maqam Ibrahim disebut secara eksplisit dalam Al-Qur’an sebagai tempat yang diberkahi dan penuh makna.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 125, Allah memerintahkan umat Islam menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.
Ayat ini menjadi landasan syariat untuk shalat sunnah setelah tawaf di belakang batu bersejarah itu.
Rasulullah SAW sendiri mencontohkan langsung pelaksanaan shalat di dekat Maqam Ibrahim saat melaksanakan umrah.
Hadis-hadis yang sahih menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad memperlakukan tempat ini dengan penuh penghormatan.
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar, disebutkan bahwa Rasulullah shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim setelah tawaf.
Hadis tersebut menegaskan bahwa sunnah ini terus diwariskan sebagai amalan yang penuh pahala.
Selain dalam ibadah, Maqam Ibrahim juga menjadi simbol penghormatan umat kepada perjuangan para nabi.
Al-Qur’an mengangkat kisah Nabi Ibrahim sebagai suri teladan dalam iman, kesabaran, dan pengorbanan.
Batu tersebut menjadi perwujudan nyata dari jejak Nabi yang tak lekang oleh waktu.
Hadis-hadis lainnya juga menceritakan bahwa para sahabat sangat menghormati tempat tersebut dan tidak melewatkannya.
Para ulama klasik seperti Imam Nawawi dan Ibnu Kathir turut membahas keutamaan Maqam Ibrahim dalam tafsir dan syarah mereka.
Dari perspektif syariat, Maqam Ibrahim menjadi bukti bahwa simbol dalam Islam memiliki dasar wahyu dan bukan sekadar tradisi.
Nilainya bukan hanya pada benda fisik, tapi pada makna spiritual dan warisan kenabian yang dikandungnya.
Melalui Al-Qur’an dan Hadis, umat Islam diajak merenungi makna terdalam dari setiap elemen yang ada di Tanah Suci.
Maqam Ibrahim mengajarkan kita bahwa sejarah para nabi bukan untuk dikenang saja, tapi juga diteladani dan diamalkan.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Sportechment19 minutes ago

Wuih! Saingi iPhone, Donald Trump Luncurkan Smartphone T1

News55 minutes ago

Puluhan WNI Tertahan di 3 Negara Ini Gegara Konflik Iran-Israel

Sportechment1 hour ago

Dua Pemain Persib Bandung Dicoret dari TC Timnas U-23, Ini Alasannya

Ruang Sujud3 hours ago

Landasan Hukum Qital dalam Al-Qur’an dan Hadis

Ruang Sujud7 hours ago

Qital dalam Islam: Antara Pertahanan Diri dan Menegakkan Keadilan

News7 hours ago

Memanas! Iran Bombardir Kilang Minyak Terbesar Israel

Sportechment8 hours ago

Florian Wirtz Segera Merapat ke Liverpool, Pecahkan Rekor Transfer Liga Inggris

Sportechment8 hours ago

Kata-kata Enzo Maresca Usai Chelsea Bungkam LAFC

News9 hours ago

Iran Tegas Tolak Gencatan Senjata, Nyatakan Siap Perang Total dengan Israel

News10 hours ago

Saatnya Nelayan Jadi Penjaga Laut

Sportechment15 hours ago

Alex Warren Gaet Rosé BLACKPINK di Single Terbaru “On My Mind”

Sportechment16 hours ago

Wejangan Erick Thohir Usai Timnas Putri U-19 Dicukur Vietnam

News17 hours ago

Kapal Induk USS Nimitz Bergerak ke Timteng Usai Kedubes AS di Israel Kena Hantam Rudal Iran

News17 hours ago

Prabowo dan PM Singapura Teken 19 Kesepakatan Strategis

Sportechment18 hours ago

Malut United Tendang Pelatih dan Direktur Teknik, Lha Kok Kenapa?

Sportechment18 hours ago

Jelang ASEAN U-23 Championship 2025, Gerald Vanenburg Panggil 30 Pemain ke Timnas U-23

Ruang Sujud19 hours ago

Thagut di Era Modern: Mengidentifikasi Simbol-Simbol Penyesatan dalam Kehidupan Sehari-hari

News21 hours ago

INATKF Kaltim Cetak Generasi Emas

Ruang Sujud23 hours ago

Perlawanan terhadap Thagut: Konsep Tauhid dalam Menolak Kekuasaan yang Zalim

Ruang Sujud1 day ago

Thagut dalam Al-Qur’an dan Hadis: Siapa Mereka dan Mengapa Harus Dijauhi?