PRINSIP dasar wara’ adalah sifat yang berisi kehati-hatian yang luar biasa dan tidak adanya keberanian untuk mendekati sesuatu yang bersifat haram, termasuk juga hal-hal yang sifatnya ragu-ragu atau syubhat.
Dalam suatu perjalanan bersama para sahabat, ‘Umar bin Khaththab pernah bertanya kepada mereka, “Menurut kalian, apa yang halal bagiku dari harta ini?“
Mereka kemudian menjawab, “Dalam urusan ini, engkau lebih mengetahui daripada kami.”
‘Umar kembali berkata, “Jika kalian berkenan, aku akan menjelaskan mana yang menjadi hak diriku atas ini; binatang tunggangan untuk perjalanan haji dan umarah, pakaian di musim dingin dan panas, kebutuhan belanja untuk keluargaku, dan bagianku dari harta rampasan perang, karena aku salah satu dari kaum muslim.”
Abu Dawud meriwayatkan dari Malik bin Aus bin Hadatsan, “’Umar berbicara tentang harta rampasan perang, “Aku tidak lebih berhak terhadap harta ini daripada kalian. Dan tak seorang pun di antara kita yang lebih berhak terhadap harta ini daripada yang lain. Namun, kita semua memiliki kedudukan di hadapan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, yaitu seseorang dan kediniannya (masuk Islam), seseorang dan ujian yang dihadapinya (di jalan Allah), seseorang dan keluarganya, seseorang dan kebutuhannya.”
‘Abdurrahman bin Najih meriwayatkan bahwa suatu ketika saat ia bertamu ke rumah ‘Umar. Lalu pembantu ‘Umar memberikan susu yang rasanya berbeda dengan susu yang biasa ia minum. ‘Umar kemudian berkata kepada pembantunya, “Celaka engkau! Dari mana engkau mendapatkan susu ini?” pembantu itu berkata bahwa anak unta telah meminum susu induknya dan menghabiskannya. Lalu, ia mengambil susu dari unta lain milik kaum Muslim. Mendengar penjelasan itu, seketika ‘Umar marah, “Celaka engkau. Apakah engkau menginginkan aku meminum api?” Setelah kejadian it, ‘Umar mengumpulkan beberapa sahabatnya untuk meminta pendapat mereka. Kemudian mereka mengatakan kepada ‘Umar bahwa susu itu halal untuknya, bahkan dagingnya.” []