Monitorday.com – Suasana peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Senin (2/6/2025), mendadak menjadi panggung drama politik tingkat tinggi. Di sana, Presiden terpilih Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri tampil bersama dalam satu frame publik yang langka pasca-Pilpres 2024. Namun, publik tidak hanya melihat seremoni, melainkan membaca sandi kekuasaan yang sedang dinegosiasikan tanpa kata, tapi penuh makna.
Di satu sisi, Prabowo tampil luwes, seolah mengukuhkan dirinya sebagai pemegang kendali narasi. Gibran berdiri di sisi setia, tersenyum datar, namun sorot matanya tajam. Di sisi lain lapangan, ada sosok Try Sutrisno, tokoh senior militer dan mantan wakil presiden yang gencar menggaungkan isu pemakzulan Gibran. Sebuah ironi visual terjadi—Gibran dan Try berada dalam satu ruang negara, tapi terpisah oleh kredo yang berbeda. Satu bicara loyalitas, yang lain bicara pelanggaran etika.
Upacara ini bukan sekadar upacara. Ini adalah panggung simbolik dari “perjamuan kekuasaan”—di mana gesture, pakaian, dan siapa berdiri di mana, lebih vokal dari pidato kenegaraan manapun. Kajian linguistik terapan dalam konteks ini menunjukkan bahwa jamuan makan atau pertemuan seremonial memiliki muatan komunikasi non-verbal yang kental. Dalam budaya politik Indonesia, pertemuan fisik seperti ini adalah pesan tersirat: harmoni semu, atau upaya menutup retakan yang menganga.
Try Sutrisno jelas tidak mundur. Seruan pemakzulan terhadap Gibran masih ia gaungkan sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik politik dinasti dan pelanggaran konstitusi. Namun di balik itu, publik menyaksikan bagaimana Prabowo memainkan peran sebagai dirigen, mengatur irama ketegangan agar tetap terdengar merdu di telinga rakyat. Ia mempertemukan lawan dan kawan di satu ruang, mengesankan stabilitas, meski substansi konfliknya belum selesai.
Prabowo tidak hanya sedang menunjukkan kekuatan politik, tapi juga kecerdikan dalam mengelola opini. Ini yang membuat analis wacana kritis melihat bahwa kekuasaan dalam politik tidak hanya dibangun melalui argumen, tetapi juga melalui kontrol atas simbol, ruang, dan narasi publik. Bahasa tubuh, kehadiran tokoh, dan framing media menjadi instrumen dominasi yang halus namun efektif.
Makna linguistik dari “jamuan kekuasaan” ini terletak pada kemampuannya membungkus konflik dalam balutan harmoni. Prabowo mempertemukan Megawati, Gibran, dan bahkan Try, bukan untuk menyatukan visi, tapi untuk mengontrol persepsi. Sebuah komunikasi politik tingkat tinggi, di mana yang tidak dikatakan justru paling keras berbicara.
Publik pun dibuat semakin bingung: apakah ini bentuk rekonsiliasi, sandiwara politik, atau pengalihan isu? Namun satu hal pasti, wacana pemakzulan yang terus digaungkan Try Sutrisno menjadi ancaman simbolik bagi stabilitas awal pemerintahan Prabowo-Gibran. Meski tertutup dalam jamuan simbolis, luka politik tetap menganga, menunggu momentum baru untuk meledak.