Monitorday.com –Di balik gemerlap demokrasi dan retorika hak asasi manusia yang selalu dikumandangkan Amerika Serikat, terselip jejak-jejak kelam imperialisme modern yang kian mencemaskan masa depan dunia.
Amerika Serikat, negeri yang kerap mengangkat bendera kebebasan dan keadilan, tengah berdiri di ambang krisis kepercayaan global. Dunia telah lama menyaksikan bagaimana kekuatan adidaya ini tidak hanya mencampuri urusan negara lain, tetapi secara aktif menciptakan ketegangan, perang, dan kerusakan struktural di berbagai belahan bumi. Retorika tentang demokrasi sering kali menjadi kedok manis untuk ambisi-ambisi geopolitik yang tidak segan menyulut konflik dan mengorbankan jutaan jiwa.
Di Timur Tengah, luka-luka yang ditinggalkan belum sembuh. Irak, Suriah, Libya—semuanya menjadi ladang eksperimen atas kebijakan luar negeri Amerika yang destruktif. Perang dilancarkan atas nama kebebasan, namun hasilnya adalah kehancuran negara, runtuhnya peradaban, dan munculnya kelompok-kelompok perlawanan di cap radikal dan di labeli teroris.
Tak bisa di bayangkan, mereka yang melawan karena ditindas malah dituduh penjahat sementara negara penjajah dielu-elukan sebagai bangsa yang menjunjung hak asasi manusia.
Dunia tahu siapa dalang dari semua ini, tetapi suara-suara perlawanan kerap dibungkam oleh dominasi media dan kekuatan politik yang dimiliki Washington.
Tak hanya itu, ambisi ekspansionis Amerika terlihat jelas ketika secara terang-terangan ingin mencaplok Greenland, wilayah otonom yang berada di bawah Denmark. Upaya ini bukan hanya bentuk arogansi kekuasaan, tapi juga menunjukkan betapa Amerika merasa berhak atas segala sesuatu yang strategis dan menguntungkan secara ekonomi maupun militer. Terusan Panama pun tak luput dari incaran mereka—jalur perdagangan vital dunia yang ingin mereka kontrol sepenuhnya demi kepentingan ekonomi dan militer mereka sendiri.
Amerika juga tak ragu menyulut konflik dengan kekuatan besar lain seperti Rusia. Alih-alih mencari jalur diplomasi, mereka memilih membiayai kelompok-kelompok separatis dan memperluas pengaruh NATO hingga ke perbatasan negara yang mereka anggap rival. Ketegangan di Ukraina dan wilayah sekitarnya adalah bukti nyata betapa Amerika tidak segan menyalakan api perang baru demi mempertahankan hegemoni global mereka.
Di banyak negara, Amerika hadir bukan sebagai penyelamat, tapi perusak dari dalam. Mereka mendanai kelompok separatis, memicu instabilitas, dan mengintervensi politik domestik melalui berbagai cara—baik terang-terangan maupun tersembunyi.
Demokrasi dijual sebagai produk ekspor, padahal dalam praktiknya, mereka sendiri sering kali menutup mata terhadap kudeta, pelanggaran HAM, dan pemilu curang—selama itu menguntungkan kepentingan mereka.
Ironi terbesar tampak dalam sikap Amerika terhadap Palestina. Di saat dunia menyaksikan genosida sistematis yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, Amerika justru tampil sebagai pelindung utama. Mereka memveto resolusi-resolusi penting di PBB, menyuplai senjata, dan memberikan dukungan politik tanpa syarat kepada Israel. Dalam hal ini, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia seolah menjadi selektif: berlaku bagi yang tunduk, diabaikan bagi yang melawan.
Kita patut bertanya: sampai kapan dunia akan membiarkan satu negara bertindak bak dewa di panggung global, menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang harus hancur? Sampai kapan kekuatan uang dan militer dijadikan alat untuk membungkam keadilan dan nurani? Amerika boleh saja membungkus semua tindakan mereka dalam jargon-jargon idealistik, tapi dunia telah lama melihat wajah aslinya.
Sebuah kehancuran moral dan politis tengah mengintai Amerika, dan dunia harus bersiap untuk tak hanya menyaksikan, tetapi mengambil sikap.
Rezim di Amerika, siapapun presiden dan wakil presidennya, akan terus menghancurkan fondasi perdamaian dan keadilan internasional.
Dunia bukan milik satu negara, dan masa depan tidak boleh dikendalikan oleh tangan-tangan yang berlumur darah sejarah.
Mungkinkah ini pertanda, imam mahdi sudah di depan mata? sebentar lagi akan datang.
Datangnya Imam Mahdi bukan sekadar narasi spiritual, melainkan momen monumental yang mengguncang tatanan lama dan membuka jalan bagi era keemasan. Dalam pusaran kekacauan global—korupsi merajalela, kesenjangan sosial menganga, nilai-nilai luhur diinjak-injak—sosok ini hadir sebagai penyeimbang, penyatu, dan pembebas.
Dengan kepemimpinan yang penuh hikmah dan keberanian, Imam Mahdi akan menghancurkan tirani, membangkitkan semangat keadilan, dan menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan sejati. Tak ada lagi dominasi kekuatan zolim, tak ada lagi ketakutan bagi yang lemah. Dunia akan menyaksikan transformasi masif—sistem yang korup runtuh, kebenaran bersinar, dan solidaritas antarumat manusia menguat.
Masa keemasan bukan sekadar impian, tapi realitas yang dibangun dari kebangkitan spiritual dan kesadaran kolektif. Dunia akan berdetak dalam irama kedamaian, keadilan, dan keberkahan. Inilah momentum kebangkitan, saat sejarah menulis ulang dirinya dengan tinta cahaya, dan umat manusia meraih kembali martabatnya yang hakiki.