Monitorday.com – Setiap manusia pasti menginginkan hidup yang tenang, damai, dan terbebas dari kegelisahan. Tapi di tengah kesibukan, persaingan, dan hiruk-pikuk kehidupan modern, ketenangan hati seolah menjadi sesuatu yang langka. Banyak orang mengejarnya melalui materi, hiburan, atau pencapaian karier. Namun, semakin dicari ke luar, semakin sulit ditemukan. Padahal, salah satu kunci ketenangan hati justru terletak dalam nilai Islam yang luhur—yaitu zuhud.
Zuhud sering disalahpahami sebagai sikap menjauhi dunia secara total, hidup miskin, atau menolak harta. Padahal, makna sebenarnya jauh lebih dalam. Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan bahwa zuhud bukan berarti tidak memiliki dunia, tetapi tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Orang yang zuhud bisa kaya raya, namun hatinya tidak terikat pada kekayaannya. Ia memegang dunia, tapi tidak digenggam olehnya.
Zuhud berasal dari akar kata “zahada” yang berarti meninggalkan. Dalam konteks spiritual, artinya meninggalkan keterikatan terhadap dunia demi sesuatu yang lebih mulia—yaitu akhirat. Zuhud bukanlah membenci dunia, melainkan menempatkannya pada posisi yang benar: sebagai alat, bukan tujuan.
Lalu bagaimana praktik zuhud dalam kehidupan sehari-hari? Apakah mungkin di era modern ini kita bisa mengamalkannya tanpa harus menjadi pertapa? Jawabannya: sangat mungkin. Justru di tengah kehidupan yang penuh distraksi dan kompetisi ini, zuhud menjadi pelindung hati agar tidak hanyut dalam keserakahan dan kecemasan.
Zuhud bisa dimulai dengan melatih diri untuk merasa cukup. Sifat qana’ah—merasa puas dengan apa yang ada—adalah saudara kembar dari zuhud. Saat orang lain sibuk mengejar tren, kita memilih untuk hidup sederhana. Saat orang lain panik karena merasa kurang, kita tenang karena yakin bahwa rezeki sudah ditakar oleh Allah. Sikap ini menumbuhkan rasa syukur, dan dari syukur itulah lahir ketenangan.
Dalam kehidupan sehari-hari, praktik zuhud bisa diterapkan dalam cara kita mengelola waktu, harta, dan perhatian. Misalnya, menghindari belanja berlebihan hanya demi gengsi. Atau, memilih pekerjaan yang halal dan memberi keberkahan, walau tidak membuat cepat kaya. Bahkan dalam penggunaan media sosial, zuhud mengajarkan kita untuk tidak tergoda oleh pencitraan, dan fokus pada kualitas hidup yang sesungguhnya.
Zuhud juga mendorong kita untuk tidak iri terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ketika melihat orang lain punya rumah mewah, mobil mahal, atau liburan ke luar negeri, hati yang zuhud tidak tergerak oleh rasa ingin memiliki yang sama. Ia sadar bahwa dunia bukan tolok ukur kebahagiaan. Justru, zuhud membantu kita menciptakan kebahagiaan dari dalam diri, tanpa harus membandingkan hidup dengan orang lain.
Salah satu pelajaran zuhud terbaik datang dari Nabi Muhammad SAW sendiri. Beliau adalah pemimpin umat, tokoh besar, namun hidup dalam kesederhanaan. Beliau tidur di atas tikar kasar, tidak pernah menimbun kekayaan, dan selalu memberi bahkan saat beliau sendiri kekurangan. Namun, justru dari sana lahir pribadi yang kuat, penuh kasih, dan paling tenang menghadapi dunia.
Bahkan para sahabat yang kaya seperti Abdurrahman bin Auf tetap bersikap zuhud. Kekayaan yang ia miliki tidak menjadikannya sombong atau bergantung pada dunia. Ia menggunakan hartanya untuk akhirat, bukan untuk membanggakan diri. Dari sini kita belajar bahwa zuhud bukan soal jumlah, tapi soal sikap hati.
Dalam dunia kerja, zuhud bisa menjelma sebagai kejujuran dan kesederhanaan dalam ambisi. Kita tetap berusaha meraih yang terbaik, namun tidak sampai mengorbankan prinsip atau menjadikan kesuksesan duniawi sebagai segalanya. Zuhud menjaga agar kita tetap rendah hati dalam kemenangan, dan tetap berserah diri saat menghadapi kegagalan.
Zuhud juga memperhalus hubungan sosial. Orang yang zuhud tidak mudah tersinggung, tidak mudah marah karena urusan dunia. Ia tidak berebut pujian, tidak haus pengakuan. Karena hatinya tenang, ia bisa memaafkan, bersabar, dan menghindari konflik yang tidak perlu. Zuhud menanamkan rasa damai, dan kedamaian ini menular ke sekitar.
Ketenangan yang lahir dari zuhud adalah ketenangan sejati—bukan ketenangan yang dibeli atau dicari di luar diri. Zuhud membebaskan hati dari perbudakan dunia. Ia memberi ruang bagi ruhani untuk tumbuh, bagi jiwa untuk merasa cukup, dan bagi pikiran untuk jernih. Zuhud bukan sekadar ajaran, tapi seni menjalani hidup dengan ringan dan bermakna.
Akhirnya, zuhud bukanlah ajaran kuno yang tidak relevan. Justru dalam dunia yang makin bising, zuhud adalah jalan sunyi yang membawa kita kembali pada diri, kembali pada Allah. Dengan zuhud, kita belajar bahwa hidup bukan tentang memiliki segalanya, tapi tentang melepaskan apa yang tidak perlu. Di sanalah rahasia ketenangan hati disimpan, dan hanya mereka yang zuhud-lah yang bisa merasakannya.