Salah satu nama Allah SWT yang terdapat dalam Asmaul Husna adalah Al Malik, yang berarti Yang Maha Raja. Artinya Allah SWT lah raja dari segala raja. Kekuasaannya di atas seluruh penguasa di kalangan makhluknya. Allah SWT yang memberikan makhluknya kekuasaan dan Dia pula yang bisa mencabutnya.
Hal ini difirmankan langsung oleh Allah SWT dalam QS. Ali Imran: 26:
Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Dalam QS. Al Baqarah: 247 Allah SWT berfirman: Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?”
Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
Berdasarkan dua ayat di atas, tak perlu diperdebatkan lagi bahwa kekuasaan adalah kehendak Allah SWT. Siapapun yang memegangnya, maka tak lepas dari Kuasa Allah SWT. Hal ini berarti bahwa seorang penguasa tidak boleh sombong dan angkuh, karena kekuasaan yang dipegang semata-mata adalah pemberianNya.
Muncul pertanyaan menarik, bagaimana jika ada seseorang yang dianugerahi kekuasaan, namun dia menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi dan melakukan penyimpangan? Apakah artinya Allah SWT melakukan kesalahan karena memilih penguasa yang zalim?
Jawabannya mudah. Dalam ilmu akidah dasar, kita diajarkan bahwa sesuatu yang dikehendaki Allah SWT bukan berarti diridhai olehNya. Perbuatan maksiat seseorang adalah atas kehendak Allah, namun hal itu tidak diridhai olehNya.
Artinya perbuatan penguasa yang zalim juga atas kehendak Allah SWT. Namun bukan berarti Allah ridha atas hal tersebut. Kelak pelakunya akan mendapatkan balasan, jika tidak di dunia maka di akhirat tempatnya.
Oleh karena itu, hendaknya siapapun yang dikehendaki Allah SWT menjadi penguasa, dia harus menjalankan amanah itu dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Umar Bin Khattab, yang merupakan prototipe pemimpin ideal.
Adapun jika seseorang malah melakukan penyimpangan melalui kekuasaannya, maka pembalasan Allah akan lebih berat dibanding dengan yang tidak berkuasa.