Monitorday.com – “Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan kehidupan, sementara kekuasaan adalah kendaraan yang mengantarkan kita ke tujuan.” – Imam Al-Ghazali
Di pagi yang cerah ini, saya mendapatkan sebuah artkel oleh salah seorang dosen yang memiliki pandangan sendiri terhadap keberadaan akademisi di pusaran kekuasaan. Tampaknya, kedekatan antara akademisi dan kekuasaan dinilai sebagai kedekatan kompromistis yang sifatnya penuh pragmatis. Pertanyaannya? apakah selalu begitu?
Faktanya, akademisi di lingkaran kekuasaan bukanlah fenomena baru. Sejarah menunjukkan bahwa intelektual dari perguruan tinggi sering kali terlibat dalam politik, baik sebagai penasehat, pejabat negara, maupun aktor-aktor penting dalam pemerintahan.
Fenomena ini menunjukkan pentingnya peran akademisi dalam menciptakan kebijakan yang berbasis pada ilmu pengetahuan. Namun, hubungan ini juga memunculkan tantangan besar dalam menjaga independensi dan integritas akademik.
Akademisi, dengan pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki, memiliki potensi besar untuk mempengaruhi kebijakan publik. Melalui riset ilmiah dan pendekatan berbasis bukti, mereka bisa menginjeksi kebijakan dengan perspektif yang lebih rasional dan terukur, mengisi kekosongan analitis dalam birokrasi pemerintahan yang sering kali dibayangi oleh kepentingan politik semata.
Oleh karena itu, keberadaan akademisi dalam pemerintahan dapat menguntungkan, asalkan mereka menjaga prinsip ilmiah dan tidak terjerat dalam agenda politik.
Namun, masuknya akademisi ke dalam kekuasaan juga membawa risiko besar. Godaan untuk memanfaatkan posisi strategis dalam pemerintahan dapat mempengaruhi objektivitas ilmiah mereka. Misalnya, akademisi yang terlibat dalam penyusunan kebijakan mungkin harus menghadapi dilema etika ketika kebijakan tersebut tidak sepenuhnya didasarkan pada hasil riset ilmiah, melainkan dipengaruhi oleh kepentingan politik.
Hal ini bisa mengancam integritas akademik mereka, apalagi jika kebijakan yang dihasilkan justru bertentangan dengan nilai-nilai ilmiah yang mereka junjung.
Tentu saja, motivasi idealisme menjadi salah satu faktor utama mengapa akademisi mendekat kepada kekuasaan. Mereka ingin memperbaiki keadaan masyarakat dan negara melalui kebijakan yang berbasis riset ilmiah. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga kepentingan pribadi dan lembaga yang mendorong mereka untuk mengambil peran di pemerintahan, seperti kesempatan untuk memperluas jaringan dan memperkuat pengaruh. Ini menjadi dilema yang harus dihadapi oleh akademisi yang terlibat dalam politik.
Namun, jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, keterlibatan akademisi dalam pemerintahan dapat memperkuat posisi ilmu pengetahuan dalam pembangunan bangsa. Mereka dapat membantu merumuskan kebijakan yang lebih berbasis bukti dan data, yang pada gilirannya dapat membawa dampak positif bagi masyarakat. Kehadiran akademisi dalam pemerintahan juga dapat memberikan peluang bagi masyarakat untuk memperoleh kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada kebenaran ilmiah.
Sejumlah ulama dan pakar ilmu sosial juga menekankan pentingnya keberadaan akademisi dalam pemerintahan. Misalnya, Imam Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu adalah cahaya yang harus menerangi segala aspek kehidupan, termasuk dalam pemerintahan. Akademisi yang terlibat dalam pemerintahan, menurut beliau, memiliki tanggung jawab moral untuk menerjemahkan pengetahuan mereka demi kebaikan bersama.
Dengan demikian, akademisi di pemerintahan bukan hanya berfungsi sebagai penjaga kebenaran ilmiah, tetapi juga sebagai agen perubahan yang dapat memperbaiki struktur sosial dan politik.
Namun, penting bagi akademisi untuk tetap menjaga jarak kritis dengan kekuasaan. Mereka harus tetap memegang teguh prinsip-prinsip ilmiah dan tidak tergoda oleh kekuasaan yang dapat memengaruhi objektivitas mereka.
Dalam konteks ini, Foucault berpendapat bahwa kekuasaan dan pengetahuan selalu saling terkait. Kekuasaan bisa membentuk wacana yang dianggap sebagai kebenaran, dan akademisi yang terlalu dekat dengan kekuasaan bisa terperangkap dalam konstruksi kebenaran yang tidak sepenuhnya objektif.
Akademisi yang terlibat dalam kekuasaan harus mampu menjaga keseimbangan antara idealisme dan realitas politik. Mereka harus bisa memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar berlandaskan pada prinsip-prinsip ilmiah dan bukan hanya untuk kepentingan politik tertentu.
Dalam hal ini, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama. Akademisi yang terlibat dalam kebijakan publik harus terbuka terhadap evaluasi dan kritik dari masyarakat, media, dan komunitas ilmiah.
Dari sisi positifnya, keterlibatan akademisi dalam pemerintahan bisa membawa perubahan signifikan dalam sistem pemerintahan yang lebih berbasis pada bukti ilmiah dan data. Mereka dapat membantu menciptakan kebijakan yang lebih rasional, terukur, dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian, akademisi memiliki peran penting dalam mempengaruhi arah pembangunan bangsa dan menjaga agar kebijakan publik tidak hanya didasarkan pada kepentingan politik semata.
Namun, di sisi lain, akademisi juga harus terus mempertahankan independensi mereka. Mereka harus memastikan bahwa mereka tidak menjadi alat kekuasaan yang digunakan untuk memperkuat narasi politik tertentu yang tidak berbasis pada bukti ilmiah. Mereka harus mampu bertindak sebagai penjaga kebenaran dan tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip ilmiah, meskipun dihadapkan pada tekanan politik yang besar.
Sebagai penutup, kita harus menyadari bahwa keberadaan akademisi dalam pemerintahan bukanlah hal yang harus dipandang negatif. Justru, dengan peran yang tepat dan integritas yang kuat, akademisi dapat menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan bagi bangsa ini. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Ghazali, ilmu pengetahuan haruslah menjadi cahaya yang menerangi jalan kehidupan, dan kekuasaan harus digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sebagai negara yang terus berkembang, Indonesia sangat membutuhkan peran akademisi yang mampu menjaga integritas, kebenaran ilmiah, dan keadilan dalam setiap kebijakan yang diambil.