Monitorday.com – Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, sebagai fenomena gunung es yang semakin menambah daftar panjang kasus serupa di Indonesia.
“Kita masih memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar untuk menghapuskan kekerasan seksual di Indonesia. Ini sudah menjadi fenomena gunung es yang harus menjadi perhatian kita bersama,” ujar Puan dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat.
Puan menegaskan bahwa perlindungan terhadap anak dan perempuan harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan negara, bukan sekadar wacana tanpa tindakan nyata. Menurutnya, jika negara gagal memberikan keadilan bagi korban dan tidak serius dalam upaya pencegahan, kasus serupa akan terus berulang.
Dia juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual. “Tidak boleh ada toleransi sedikit pun terhadap tindak kekerasan seksual, terutama terhadap anak. Pelaku harus dihukum seberat-beratnya,” kata Puan.
Sebagai bentuk penegakan hukum, Puan meminta semua pihak mengawal proses hukum dalam kasus ini. Dia mengingatkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), terdapat tambahan hukuman bagi pelaku yang merupakan pejabat publik.
Lebih lanjut, Puan meminta aparat penegak hukum dan pemangku kepentingan terkait untuk menjamin perlindungan maksimal bagi korban. Ia menegaskan bahwa pemenuhan hak-hak korban harus menjadi fokus utama dalam kasus ini.
“Penegakan hukum dalam kasus kekerasan seksual ini sangat penting, namun pemenuhan hak-hak korban juga harus menjadi perhatian. Hal ini merupakan amanat dalam UU TPKS,” jelasnya.
Menurut Puan, pelecehan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang berdampak serius pada psikologis korban dan menyebabkan trauma jangka panjang. Oleh karena itu, negara harus hadir untuk memberikan perlindungan, pendampingan psikologis, serta keadilan bagi para korban.
“Saya tidak bisa membayangkan pilu yang dirasakan anak-anak ini. Bagaimana bisa orang dewasa yang seharusnya melindungi dan menjaga mereka, justru melakukan kejahatan luar biasa yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan,” ungkapnya.
Puan juga mendukung langkah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta Kementerian Sosial (Kemensos) yang memberikan pendampingan bagi korban. Ia juga mengimbau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk turun tangan dalam memberikan pendampingan lebih lanjut.
“Korban harus mendapatkan layanan pemulihan trauma secara komprehensif. Anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual harus diberikan terapi psikososial agar mereka dapat pulih dari dampak psikologis yang dialami,” jelasnya.
Selain itu, ia meminta pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait untuk memenuhi hak rehabilitasi sosial bagi korban kekerasan seksual dengan menyediakan program pemulihan jangka panjang, termasuk konseling dan terapi psikologis yang memadai.
Puan juga mengingatkan bahwa proses hukum harus dilakukan dengan pendekatan yang tidak memperparah trauma korban. “Pastikan tidak ada tekanan atau intimidasi dari pihak mana pun selama proses hukum berlangsung,” tambahnya.
Selain penegakan hukum, Puan menekankan pentingnya upaya pencegahan melalui edukasi mengenai kekerasan seksual yang harus diberikan oleh lembaga pendidikan, lingkungan keluarga, serta komunitas kepada anak-anak. Hal ini sejalan dengan Target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 5 yang bertujuan mencapai kesetaraan gender dan menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Terakhir, Puan memastikan bahwa DPR bersama pemerintah akan terus memperkuat regulasi perlindungan terhadap anak dan perempuan guna mencegah kekerasan seksual di masa depan.
“Memerangi kekerasan seksual membutuhkan kerja sama dari semua pihak, termasuk berbagai elemen bangsa dan masyarakat. Mari bersama-sama membawa Indonesia terbebas dari aksi kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan dan anak,” tutupnya.