Review
Amien Rais, Jokowi, dan Demokrasi Digital
Published
10 months agoon
By
Muchlas RowiSEPERTINYA, ada yang belum selesai dalam diri Ketua Majelis Syuro Partai Umat, Amien Rais. Karena di usia senjanya, langgam politiknya belum juga berubah. Masih ambisius dan provokatif.
Terbaru, Amien Rais bahkan terang-terangan mengkritik seluruh anggota keluarga Presiden Jokowi, termasuk anak, isteri, bahkan menantunya di Medan.
Kritik itu disampaikan Amien lewat Chanel Youtube pribadinya pada Kamis 25 Januari 2024. dengan sebuah video berjudul ‘Jokowi Sudah Jadi Beban Nasional’.
“Ternyata seluruh anggota Jokowi juga, maaf memalukan. Gibran bodoh dan memalukan, Kaesang sama. Ibunya Iriana juga agak memalukan. Menantunya di Medan, sami mawon,” ujar Amien.
Tampil dengan baju koko putih sederhana dan peci hitam merk Haji Iming, Amien lantas menunjuk hidung Jokowi soal posisinya yang saat ini tengah dikeroyok anak bangsa. Jokowi, kata Amien, sudah tak punya malu lagi.
“Jokowi saat ini sedang dikeroyok anak bangsa karena sudah sangat muak dengan pikiran dan perilaku Jokowi sudah tidak punya malu lagi. Jadi beban nasional yaah Pak Jokowi sekarang,” ujar Amien sambil mengangkat jari telunjuknya.
Tak sampai situ, Amien bahkan menyindir Jokowi jika ia tak lebih baik dari seekor hewan atau binatang.
“Jika ada ayam jago mengejar-ngejar ayam betina tanpa rasa malu, ya wajar-wajar saja, wong binatang atau hewan,” pungkas Amien.
Argumentum Ad Homenim
Sebagai guru besar ilmu politik, Amien Rais tentu saja mengerti argumentasi yang digunakannya masuk kategori haram. Karena argumentasi harus substansial dan fokus pada masalah yang dibahas.
Dalam debat akademik, pihak yang terpojok dan nyaris kalah memang bisa terjerembab dalam argumentasi ad hominem. Rumus sederhananya, jika sudah tak bisa menemukan kesalahan pada tindakan dan argumentasi lawan, serang saja orangnya.
Keluarkan bahasa-bahasa dari kebun binatang; bodoh, ugal-ugalan, planga-plongo, tak punya etika, mirip hewan atau binatang. Harapannya, agar publik tergiring dengan argumentasi yang disorongnya lalu sang lawan dalam hal ini Jokowi bisa terintimidasi.
Sayangnya, tokoh-tokoh populis macam Jokowi, Obama, hingga The Iron Lady Margaret Thatcher yang hingga masa jabatannya masih memiliki elektabilitas yang tinggi, paham jika upaya-upaya seperti itu tak punya efek apa-apa.
Itu sebabnya, Thatcer malah senang jika ada lawan politik yang menyerangnya dengan argumentum ad hominem. Baginya, orang makin tidak bisa menemukan kelemahan argumentasi dan keputusan politik.
Apa yang dilakukan Amien seumpama menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Serangan Amien Rais kepada Jokowi hanya membuat tabir ambisinya makin transparan. Amien Rais yang seorang maestro politik seperti masih memiliki ambisi menaklukan ajang kontestasi kepemimpinan nasional.
Sehingga Amien Rais ini bisa dibilang post power syndrome. Merasa pernah sukses menjadi penentu arah perbaikan bangsa, namun urung sampai di puncak kekuasaan. Sempat dielu-elukan dalam kampanye Pilpres 2004, namun menemukan hasil berbeda di hari pemungutan suara Pilpres 2004.
Eep Saefullah Fatah memilih fenomena tersebut dengan istilah Amien Rais Syndrom. Sebagai tokoh gerakan politik ’98, sosok Amien Rais sempat melambung tinggi. Acara apa pun yang melibatkannya selalu dibanjiri penonton. Sayang, popularitasnya tak berbanding lurus dengan elektabilitasnya.
Di Pilpres 2004, Amien Rais hanya memperoleh 14,66 persen suara dan menempati posisi keempat dari lima kontestan. Jauh di bawah SBY [33,57 persen], Megawati [26,61 persen], dan Wiranto [22,15 persen].
Ambisi Amien Rais makin besar, mendapati tukang kayu dari tempatnya berasal [Solo] sukses memimpin negara dua periode. Amien merasa dirinya lebih layak, dari sisi manapun, bahkan dari caranya dalam mendidik anak.
Amien sampai harus menyebut isteri dan anak-anak Jokowi bodoh dan memalukan. Kata-kata yang haram diucapkan oleh seorang cendekiawan dan begawan politik.
Demokrasi digital
Kritik adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan berdemokrasi. Namun, ketika kritik berubah menjadi serangan pribadi yang tak berdasar, menimbulkan pertanyaan tentang batas-batas kebebasan berbicara dan tanggung jawab dalam menyampaikan pendapat.
Seperti yang dilakukan Amien Rais, yang dalam beberapa tahun terakhir terus mengeluarkan kritik pedas terhadap anggota keluarga Presiden Jokowi. Pernyataan yang dilontarkan Amien Rais tersebut jelas mengandung nada merendahkan dan tidak berdasar.
Memang, sebagian menganggap kritik Amien Rais sebagai bentuk ekspresi kebebasan berbicara yang dilindungi oleh konstitusi. Namun, di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa kritik semacam ini tidak hanya tidak berkonstruktif, tetapi juga dapat membahayakan stabilitas sosial dan hubungan antarwarga negara.
Kontroversi seputar kritik Amien Rais menggarisbawahi pentingnya memiliki diskusi yang terbuka dan inklusif dalam masyarakat. Namun, di sisi lain, hal ini juga menyoroti perlunya batasan-batasan yang jelas dalam menyampaikan pendapat, terutama ketika pendapat tersebut merugikan atau merendahkan martabat orang lain.
Meminjam analisa Paul Ricceur, kita patut mencurigai [hermeneutic of suspicion] bahwa apa yang selama ini dilakukan Amien Rais turut membentuk semua perilaku pembenci Jokowi dalam melahirkan narasi bernada kebencian.
Terutama di media sosial, Kementrian Komunikasi dan Informatika [Kemenkominfo] menyebutkan pihaknya telah menangani konten mengenai ujaran kebencian berbasis SARA sebanyak 3.640 konten. Pihak Kominfo telah melakukan pemutusan akses atau takedown.
Dalam jangka panjang, narasi-narasi kebencian tersebut membanjiri ruang-ruang digital. Menciptakan apa yang disebut echo-chamber [ruang gema]. Kondisi dimana seseorang menerima informasi, ide dan gagasan homogen secara berkala.
Algoritma pun membuat filter sehingga pandangan lain tidak dapat masuk dalam ruang gelap tersebut. para user yang satu irama lantas hanya meraih nformasi sesuai riwayat penggunanya, secara perlahan namun pasti informasi yang dipasok disesuaikan dengan preferensi yang dikehendaki. Sementara yang tak sesuai akan teringkir dengan sendirinya.
Narasi-narasi kebencian yang diproduksi tersebut, pada akhirnya membuat kualitas demokrasi kita mengalami degradasi. Melahirkan tirani media sosial, memperkuat kecenderungan politik identitas dan yang paling fatal merusak demokrasi kita.