Monitorday.com – Pertanyaan kenapa alokasi anggaran 20 persen untuk pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang-undang tidak bisa mencegah kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) akhirnya terjawab.
Anggaran pendidikan dari pemerintah tersebut ternyata lebih banyak mengalir ke sekolah dan kampus yang dikelola kementrian/lembaga.
Hal itu diungkap oleh Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] Pahala Nainggolan. Padahal, kata dia, banyak lulusan sekolah itu tidak otomatis menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan ilmunya tidak spesifik.
“Nah itu kebanyakan begitu, Sudah bukan PNS lulusannya, yang ketiga full boarding. Dikasih seragam, dikasih asrama, lulusannya bukan asrama,” kata Pahala dalam acara diskusi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin [10/6].
Mantan auditor Bank Dunia ini juga bilang, KPK menemukan terdapat kementrian yang membuka SMK, namun menggunakan anggaran untuk perguruan tinggi dari negara.
“Ini kalau kita bersihin bisa masuk ke Dikti, bisa nambahin bantuan operasional perguruan tinggi negeri [BOPTN],” pungkas Pahala.
Sehingga wajar, kata Pahala, jika alokasi dana dari 20 persen anggaran untuk Kementrian Pendidikan, Riset, dan teknologi [APBN] tidak maksimal. Apalagi belakangan nilainya dipangkas menjadi 15 persen.
“Kita lihat, berapa sih [anggaran] yang [disalurkan] ke mahasiswa PTN? Ternyata cuma Rp 7 triliun. Sementara, Rp 32 triliun ada di perguruan tinggi yang diselenggarakan kementrian/lembaga,” kata dia.
Menurut dia, agar pendidikan tinggi layak mestinya tiap mahasiswa diberi bantuan Rp 10 juta per semester. Tapi nyatanya, pemerintah cuma memberi bantuan operasional Rp 3 juta saja.
“PTN dikasih per siswa hanya Rp 3 juta, yang Rp 7 juta disuruh cari sendiri lewat orangtua. Itulah UKT, itulah jalur mandiri, itulah bisnis PTN,” ujar Pahala.