Connect with us

Review

Anggrek untuk Megawati: Simbol Sahabat Sejati

Bunga anggrek dari Prabowo untuk Megawati melambangkan doa tulus dan perhatian mendalam, mencerminkan hubungan persahabatan yang melampaui formalitas politik.

N Ayu Ashari

Published

on

Monitorday.com – Setiap bunga memiliki kisahnya sendiri, dan kali ini, bunga anggrek menjadi pembawa pesan hangat di ulang tahun ke-78 Megawati Soekarnoputri.

Bayangkan sebuah momen sederhana namun penuh makna: Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia, memilih anggrek sebagai simbol persahabatan untuk Ketua Umum PDI Perjuangan itu. Tidak hanya sekadar ucapan selamat, pemberian ini mengandung doa dan perhatian yang mendalam.

Menurut Ahmad Muzani, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, bunga anggrek tersebut melambangkan doa tulus dari seorang sahabat. “Itu doa dari seorang kawan. Semakin banyak doa, semakin bagus. Mudah-mudahan doa-doa itu dikabulkan,” ungkap Muzani usai Rapat Pimpinan Nasional Perempuan Indonesia Raya (Pira) di Jakarta.

Pilihan anggrek bukanlah kebetulan. Muzani menjelaskan bahwa Megawati memiliki ketertarikan khusus pada bunga ini. Di antara banyak bunga favoritnya, anggrek menjadi yang istimewa. Sentuhan personal ini menunjukkan perhatian mendalam Prabowo terhadap detail yang penting bagi Megawati.

Selain bunga, ada cerita lain yang memperkuat kesan perhatian Prabowo. Muzani menceritakan kebiasaan Prabowo membeli vitamin saat perjalanan dinas dan menghadiahkannya kepada tokoh-tokoh penting. Megawati adalah salah satu penerima perhatian ini, bersama Presiden Joko Widodo dan tokoh lainnya. “Pak Prabowo merasa mereka harus sehat dan fit karena mereka memikirkan bangsa ini dengan segala kompleksitasnya,” tambah Muzani.

Tindakan Prabowo ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan para pemimpin bangsa. Dalam pandangannya, kesehatan adalah aset penting untuk mengayomi masyarakat dan mengatasi tantangan besar negara. Dengan memberikan vitamin, ia secara simbolis mendukung vitalitas para tokoh bangsa.

Ketua DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani, turut menyampaikan rasa terima kasih kepada Prabowo atas kiriman bunga tersebut. Menurutnya, perhatian ini menunjukkan hubungan baik di tengah dinamika politik yang sering kali keras. “Terima kasih atas perhatian dari semua pihak, khususnya kepada Presiden Prabowo, yang sudah memberikan perhatiannya kepada Ibu Megawati,” kata Puan.

Kisah sederhana ini menyiratkan pesan yang lebih besar: persahabatan sejati melampaui batas-batas formalitas. Sebuah bunga anggrek, dengan segala keindahan dan maknanya, menjadi simbol yang mengingatkan kita bahwa perhatian dan kepedulian adalah bahasa universal yang menyatukan. Di tengah hiruk-pikuk politik, sebuah anggrek mampu menjadi jembatan yang menghubungkan hati, membawa pesan damai dan harapan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Review

Damai yang Membunuh Palestina

Perjanjian damai Gaza yang digagas Mesir, Yordania, dan Prancis justru berpotensi membunuh perjuangan Palestina. Meletakkan senjata adalah jalan cepat menuju pembantaian.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Di tengah reruntuhan Gaza dan suara rintihan rakyat yang kehilangan keluarga, rumah, dan harapan—dunia sekali lagi berusaha menjual “perdamaian” yang semu. Tapi benarkah ini damai, atau sekadar jebakan sejarah yang sedang berulang?

Perjanjian damai yang sedang digagas oleh Presiden Mesir Abdel Fattah As-Sisi, Raja Yordania Abdullah II, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron mengusung misi mulia: menghentikan pertumpahan darah di Gaza. Tapi sejatinya, perjanjian ini bukan solusi—ia adalah pisau yang dibungkus pita. Salah satu syarat utama yang diajukan adalah pelucutan senjata para pejuang Hamas dengan iming-iming dana rekonstruksi miliaran dolar. Sebuah tawaran yang terdengar seperti hadiah, tapi sesungguhnya beracun.

Sejarah mengajarkan kita untuk tidak mudah lupa. Pada 1994, Ukraina melepaskan senjata nuklirnya dengan janji keamanan dari kekuatan besar. Hari ini, Ukraina dilanda perang dan kehilangan wilayahnya. Pada 1982, PLO meletakkan senjata di Lebanon setelah perjanjian damai. Hasilnya? Kamp pengungsi Sabra dan Shatila menjadi ladang pembantaian berdarah selama 43 jam, dengan ribuan warga sipil yang dibunuh secara brutal. Lalu apakah kita masih percaya bahwa pelucutan senjata adalah jalan menuju kedamaian?

Delegasi Hamas tidak bodoh. Mereka tahu, satu-satunya alasan musuh bersedia duduk di meja perundingan adalah karena mereka tidak bisa menang di medan perang. Persis seperti yang dikatakan oleh seorang wakil Taliban dalam perundingan dengan Amerika, “Senjata inilah yang membawa kalian ke meja ini.” Pernyataan ini bukan hanya cerdas, tapi mencerminkan harga diri sebuah perjuangan yang tak bisa ditukar dengan janji kosong.

Taliban akhirnya berhasil memaksa Amerika Serikat angkat kaki dari Afghanistan. Bukan karena diplomasi, tapi karena keteguhan dalam berjuang. Gaza hari ini menghadapi dilema yang sama: tunduk pada perjanjian damai yang mematikan atau terus berdiri dengan senjata sebagai satu-satunya penjaga kehormatan.

Tawaran “damai” ini menuntut para pejuang meletakkan senjata dan rakyat Gaza menerima bantuan. Tapi apakah para penandatangan perjanjian itu akan menjamin keselamatan mereka? Sejarah mengatakan: tidak. Musuh tidak menghargai kelemahan. Ketika senjata diletakkan, pembantaian dimulai. Itulah narasi yang berulang dan terus berulang dalam sejarah umat ini.

Perjanjian ini justru membuka jalan bagi penyembelihan berikutnya, bukan menghentikannya. Inilah jebakan klasik yang menyamar sebagai diplomasi. Inilah konspirasi halus yang memakai jargon “kemanusiaan” untuk memandulkan perlawanan.

Yang dibutuhkan hari ini bukan tekanan kepada para pejuang, tapi tekanan kepada penjajah. Bukan seruan untuk menyerah, tapi dukungan bagi mereka yang mempertahankan kehormatan tanah suci Al-Aqsa. Jangan jadi umat yang dua kali dibodohi oleh sejarah. Jangan biarkan Gaza menjadi Sabra dan Shatila kedua.

Hari ini, tanggung jawab kita adalah berdiri tegak. Kirimkan doa, donasi, dan desakan politik. Gunakan suara kita untuk melawan propaganda perdamaian palsu yang justru menguntungkan penjajah dan membunuh perlawanan.

Sebab satu kebenaran tak terbantahkan tetap berdiri tegak:
Bangsa yang meletakkan senjatanya, sedang menandatangani surat kematiannya sendiri.

Continue Reading

Review

S3 Bukan Sekadar Gelar, Tapi Lompatan Hidup! Ini Alasannya!

Motivasi dan strategi cerdas adalah kunci menyelesaikan studi doktoral, menurut Dr. Ratna Dewanti. S3 bukan sekadar gelar, tapi lompatan hidup yang penuh makna.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com –  “Motivasi adalah juru kunci untuk menyelesaikan studi doktoral. Work hard itu bagus, tapi lebih bagus work smart.”
— Dr. Ratna Dewanti, M.Pd., Dosen Isu Kritis Penelitian Linguistik Terapan, Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

Saat semangat mulai kendur di tengah perjuangan studi doktoral, motivasi pribadi bisa menjadi api kecil yang tak pernah padam. Itulah pesan kunci dari Dr. Ratna Dewanti, M.Pd., yang dikenal sebagai dosen dengan kepedulian tinggi terhadap mahasiswa S3 yang tengah berjuang menyelesaikan risetnya. Dalam satu kesempatan yang hangat namun membakar semangat, Dr. Ratna menegaskan bahwa kunci keberhasilan bukan hanya pada kerja keras, tetapi pada strategi cerdas yang dijalankan konsisten. “Work hard itu bagus, tapi lebih bagus work smart,” katanya lugas.

Dr. Ratna tidak hanya bicara sebagai akademisi, tetapi sebagai pembimbing yang memahami betul dinamika mahasiswa doktoral. Ia melihat langsung betapa banyak mahasiswa yang kehilangan arah di tengah jalan. Maka, dalam setiap diskusi, ia tak lelah mengingatkan: “Selesaikan studi karena Anda yang memutuskan untuk memulainya. Kembalikan fokus pada niat awal dan alasan mengapa Anda mengambil S3.”

Bagi Dr. Ratna, penyelesaian studi adalah kombinasi dari motivasi, fokus, dan keseriusan. Ia mengajak para mahasiswa untuk menjadikan program doktoral bukan sekadar status, tetapi contoh nyata bahwa ketekunan dan integritas bisa mengubah arah hidup seseorang. Program doktoral bukan hanya tentang teori dan disertasi, tetapi tentang pembentukan karakter intelektual yang tahan banting.

Semangat yang dikobarkan Dr. Ratna menggugah. Ia meyakini bahwa setiap mahasiswa doktoral punya potensi besar untuk berhasil, asal tahu cara mengelola waktu, tekanan, dan ekspektasi. Strategi menjadi hal vital—bagaimana mengatur jadwal membaca literatur, menyusun argumen dalam tulisan, hingga menjalin komunikasi aktif dengan promotor. Semua itu adalah bagian dari kerja cerdas yang disarankannya.

“Kalau hanya mengandalkan semangat sesaat, pasti tumbang di tengah jalan,” ucapnya tegas. Oleh karena itu, ia menyarankan mahasiswa membangun sistem yang mendukung keberhasilan: lingkungan yang mendukung, jadwal kerja yang realistis, serta target jangka pendek yang jelas.

Lebih jauh, Dr. Ratna berpesan agar para mahasiswa S3 tak mudah terjebak dalam kompetisi yang melelahkan. Ia menyarankan untuk fokus pada progres pribadi, bukan membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. “S3 itu bukan lomba cepat-cepatan. Ini soal perjalanan intelektual yang dalam dan personal,” tambahnya.

Satu pesan paling menyentuh dari Dr. Ratna adalah soal warisan akademik. Ia berharap mahasiswa S3 menjadikan pencapaian mereka sebagai inspirasi bagi lingkungan sekitar. Menjadi contoh bagi anak, kolega, bahkan komunitas, bahwa ilmu pengetahuan bisa menjadi jalan perubahan. “Jadikan S3 ini sebagai contoh. Bukan untuk pamer, tapi untuk menunjukkan bahwa ketekunan itu berbuah hasil,” pungkasnya.

Dengan gaya bertutur yang lugas dan membumi, Dr. Ratna telah menyalakan semangat baru di hati para pejuang S3. Dalam tiap kalimatnya, terselip dorongan kuat untuk tidak menyerah, untuk terus maju, dan untuk menjadikan setiap tantangan sebagai bagian dari proses menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Karena pada akhirnya, gelar doktor bukan hanya simbol akademik, melainkan simbol keberhasilan dalam mengalahkan diri sendiri.

Continue Reading

News

80 Ribu Kopdes Merah Putih Diluncurkan, Dananya dari Mana?

N Ayu Ashari

Published

on

Monitorday.com – Langkah Presiden Prabowo Subianto membentuk 80 ribu Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) menjadi kejutan yang mengguncang panggung kebijakan nasional. Di tengah narasi efisiensi dan pemangkasan anggaran, tiba-tiba muncul Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 yang memerintahkan percepatan pembentukan koperasi skala nasional ini. Energi politik langsung tersedot ke satu pertanyaan mendasar: dari mana semua ini akan didanai?

Dalam Inpres yang diteken pada 27 Maret 2025 tersebut, Presiden Prabowo memerintahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menyediakan dana modal awal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025. Tak hanya itu, pendanaan juga disebut akan ditopang oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana desa, bahkan sumber lain yang “sah dan tidak mengikat”. Skema pendanaan ini membuka ruang multitafsir, termasuk kekhawatiran soal transparansi dan potensi tumpang tindih fiskal antara pusat dan daerah.

Publik pun sontak menaruh perhatian. Di saat pemerintah tengah menyisir pos-pos anggaran untuk efisiensi—termasuk pengurangan subsidi, penundaan sejumlah proyek infrastruktur, hingga pembatasan perjalanan dinas—keputusan untuk membiayai program raksasa koperasi tampak bagai paradoks. Apalagi, belum ada rincian angka konkret tentang berapa nominal total yang dibutuhkan untuk 80 ribu koperasi. Jika masing-masing koperasi hanya diberi modal awal Rp100 juta, maka negara harus menggelontorkan setidaknya Rp8 triliun.

Nada kritis pun bermunculan dari sejumlah pengamat kebijakan fiskal. Mereka mempertanyakan prioritas negara di tengah tantangan defisit dan tekanan ekonomi global. “Program koperasi itu baik, tetapi konteks fiskalnya harus tepat. Jangan sampai semangat pemberdayaan menutupi ketidakjelasan sumber pendanaan,” ujar seorang ekonom dari lembaga riset independen di Jakarta. Kekhawatiran juga muncul dari daerah. Beberapa kepala desa mulai gelisah bila dana desa yang selama ini difokuskan untuk infrastruktur dasar dan pelayanan publik tiba-tiba harus dialihkan demi pembentukan koperasi yang belum tentu siap dikelola secara profesional.

Meski begitu, semangat program ini juga tak bisa diabaikan. Presiden Prabowo ingin membangkitkan ekonomi rakyat dari akar rumput melalui koperasi sebagai tulang punggung ekonomi desa. Ia bahkan memerintahkan seluruh menteri dan kepala daerah untuk bersinergi aktif. Kopdes Merah Putih tak hanya diminta terbentuk cepat, tapi juga diwajibkan memberi laporan berkala ke Presiden—sebuah tanda bahwa Prabowo akan mengawasi langsung proyek ini.

Secara ide, koperasi sebagai institusi ekonomi gotong royong memang menjanjikan kemandirian ekonomi. Namun tantangan implementasi di lapangan bukan perkara ringan. Banyak koperasi desa sebelumnya mati suri akibat lemahnya manajemen, intervensi politik lokal, dan minimnya pengawasan. Tanpa pelatihan, tata kelola yang kuat, dan sistem audit transparan, Kopdes Merah Putih bisa jadi hanya label tanpa nyawa.

Yang tak kalah penting: komunikasi publik dan transparansi pendanaan. Rakyat berhak tahu bagaimana program ini akan berjalan, siapa yang mengelola, dan bagaimana dampaknya di tengah gelombang efisiensi anggaran nasional. Jika dana miliaran dialihkan dari program prioritas tanpa pengawasan ketat, maka bukan pemberdayaan yang muncul, melainkan potensi pemborosan sistemik.

Program ini adalah taruhan besar. Bila berhasil, Kopdes Merah Putih bisa jadi revolusi ekonomi desa. Tapi bila gagal, bisa menjadi monumen ambisi yang tumbang di tengah jalan.

Continue Reading

Review

Ridwan Kamil dan Bayang-Bayang Korupsi

Dugaan korupsi iklan Bank BJB menyeret nama Ridwan Kamil. KPK terus mendalami perannya, publik menanti langkah tegas dan transparan

N Ayu Ashari

Published

on

Monitorday.com – Di balik citra arsitek yang memesona dan pemimpin progresif, Ridwan Kamil kini berada dalam pusaran sorotan tajam. Kasus korupsi iklan Bank BJB mengintip dari balik bayang kekuasaan.

Seperti menara indah yang tampak kokoh dari kejauhan, karier politik Ridwan Kamil tengah mengalami guncangan besar. Mantan Gubernur Jawa Barat ini terseret dalam pusaran dugaan korupsi pengadaan iklan di Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB). Jumlah yang disebut bukan sekadar angka: Rp222 miliar. Angka fantastis itu menjadi simbol dari potensi kebocoran anggaran dalam tubuh pemerintahan daerah yang selama ini dibanggakan sebagai model pembangunan urban dan tata kelola BUMD yang efisien.

Kisah ini tak sekadar tentang mark-up dana iklan. Ia menjadi narasi tentang bagaimana kekuasaan bisa terjebak dalam labirin kepentingan, dan bagaimana eksistensi figur publik berpotensi menjadi tameng maupun instrumen dalam skema besar yang tak kasatmata. Rumah Ridwan Kamil telah digeledah KPK pada 10 Maret 2025, sebuah langkah investigatif yang menandai babak serius penyelidikan. Namun, yang menarik: Ridwan Kamil belum dipanggil. Bukan karena tak terkait, tapi karena—mengutip Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu—“perannya ada di belakang.”

Frasa itu menyimpan banyak makna. Dalam logika penyidikan, ini berarti peran eks-Gubernur belum bisa dilepas begitu saja. Ada benang kusut yang harus diurai. Penyidik masih mengumpulkan informasi dari saksi-saksi internal Bank BJB dan vendor pengadaan iklan. Lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Direktur Utama Bank BJB dan Kepala Divisi Corsec. Tapi, atmosfer publik jelas menanti: ke mana arah sorotan KPK berikutnya? Apakah Ridwan Kamil akan jadi simbol jatuhnya pejabat yang selama ini dielu-elukan karena gaya komunikasinya yang segar dan pendekatannya yang milenial?

Ridwan Kamil menegaskan dirinya sebagai ex-officio dalam pengawasan BUMD. Sebuah argumen struktural yang sah, namun dalam praktiknya sering kali tak sesederhana itu. Apalagi, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah sejak awal mengindikasikan adanya selisih dana yang sangat mencurigakan antara anggaran dan nilai yang diterima media. Puluhan miliar rupiah tak bisa begitu saja menguap dari sistem, tanpa campur tangan atau pembiaran dari otoritas di atasnya.

Framing publik pun bergerak cepat. Media, warganet, dan pengamat hukum memutar rekaman masa lalu, membandingkan integritas, dan menyusun hipotesis. Apakah ini bagian dari ‘konspirasi politik’? Atau memang Ridwan Kamil terseret oleh struktur kekuasaan yang terlalu kompleks untuk dihindari? Kita belajar dari banyak kasus sebelumnya: dari mulut ikan kecil bisa terbuka mulut hiu. Dan publik sudah tak sabar melihat apakah sosok “RK” akan benar-benar dipanggil atau tetap menjadi bayangan di tepi penyidikan.

KPK, sebagai institusi yang terus berjuang menjaga integritasnya, berada di titik penting. Menyentuh nama besar selalu berarti dua hal: risiko dan legitimasi. Jika KPK berhasil mengurai dan membuktikan keterlibatan pejabat di level atas, maka kepercayaan publik akan meningkat. Tapi jika kasus ini stagnan, hanya menyentuh peran-peran teknis semata, publik akan kembali menyimpulkan: korupsi di Indonesia bukan soal hukum, tapi kekuasaan siapa yang paling kuat.

Proses masih panjang. Tapi satu hal pasti: waktu tak bisa lagi disuap. Dan sejarah tak pernah melupakan siapa yang berdiri bersama kebenaran, dan siapa yang bersembunyi di balik retorika.

Continue Reading

Review

Indonesia, Kementerian yang Obesitas dan Harapan akan Pemerintahan Efisien

N Ayu Ashari

Published

on

Monitorday.com – Indonesia kini berdiri di persimpangan yang tak bisa lagi dihindari: terlalu banyak kementerian, utang yang menggunung, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terus melonjak tanpa arah yang pasti. Ini bukan sekadar angka-angka dalam dokumen kenegaraan, tapi cerminan dari tantangan struktural yang membebani efektivitas pemerintahan. Ironisnya, kita memiliki 48 kementerian, jumlah yang bahkan melampaui China (21 kementerian) dan Amerika Serikat (15 kementerian)—dua negara raksasa yang secara ekonomi dan geopolitik jauh lebih dominan.

China dengan kekuatan globalnya, dan Amerika dengan peran hegemoniknya, tidak membutuhkan tumpukan birokrasi untuk mengatur bangsanya. Rusia, negara dengan luas wilayah terbesar di dunia, hanya memiliki 21 kementerian dan mampu menjaga efisiensi kebijakan fiskalnya dengan APBN sekitar Rp1.833,5 triliun. Bandingkan dengan Indonesia, yang dengan jumlah kementerian lebih dari dua kali lipat itu, justru menghadapi kesulitan dalam efisiensi dan efektivitas belanja negara.

Situasi ini bukan sekadar “terlalu banyak dapur” dalam satu rumah, tapi “terlalu banyak koki” yang sering kali memasak menu serupa, hanya dengan gaya dan biaya yang berbeda. Setiap kementerian membawa mandat yang kadang tumpang tindih, membuat publik bingung, dan lebih parahnya, menyulitkan lahirnya inovasi serta akselerasi pembangunan nasional.

Namun, dari kondisi yang seolah-olah suram ini, muncullah semangat baru. Figur Presiden Prabowo Subianto dipandang sebagai harapan bagi penyederhanaan dan konsolidasi kekuasaan eksekutif. Sosoknya yang dikenal tegas dan berani mengambil keputusan, kini diproyeksikan sebagai pemimpin transformasional. Lebih jauh lagi, munculnya nama Dedi Mulyadi sebagai sosok yang disebut-sebut layak mendampingi Prabowo dalam membentuk “duet perubahan” memperkuat harapan rakyat.

Mengapa Prabowo-Dedi? Karena duet ini dinilai memiliki kombinasi antara visi makro dan kepekaan mikro. Prabowo membawa kekuatan nasionalisme strategis dan orientasi geopolitik global, sementara Dedi Mulyadi menghadirkan pendekatan kultural dan akar sosial yang kuat. Inilah pasangan yang tidak hanya piawai berpidato, tapi juga siap turun tangan ke lapangan, mengurai kekusutan birokrasi, dan mengeksekusi kebijakan dengan cepat.

Dengan APBN Indonesia 2024 sebesar Rp3.325,1 triliun dan defisit anggaran menyentuh Rp522,8 triliun, tidak ada waktu lagi untuk bermain-main dalam birokrasi yang rumit. Pemerintah mendatang harus mampu menyederhanakan struktur kementerian, mendorong efisiensi fiskal, dan memaksimalkan dampak dari setiap rupiah yang dibelanjakan negara. Overload administratif yang kini terjadi bukan hanya membuang sumber daya, tetapi juga memperlambat laju pembangunan nasional.

Apa yang dibutuhkan Indonesia? Kecepatan dan ketegasan. Seperti pelari marathon yang harus tetap cepat di kilometer terakhir, Indonesia tidak bisa lagi kehilangan momentum. Persaingan global makin ketat, dan waktu adalah musuh yang nyata. Maka, wacana percepatan Pilpres ke tahun 2026 bukanlah sekadar isu politis, melainkan strategi percepatan transisi kekuasaan untuk memastikan kesinambungan visi pembangunan.

Pertanyaannya, bisakah Indonesia menyalip Rusia, China, atau bahkan Amerika? Jawabannya: bisa—asal kita punya keberanian untuk merombak sistem dari dalam. Penyederhanaan kementerian, konsolidasi anggaran, penghapusan tumpang tindih fungsi, hingga reformasi birokrasi digital, harus menjadi agenda utama. Tidak cukup hanya mengganti orang, tapi harus mengganti cara berpikir dan bekerja dalam pemerintahan.

Dan untuk itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya mengerti struktur, tapi juga berani menyederhanakannya. Dalam konteks ini, Prabowo dan Dedi Mulyadi adalah simbol dari “Arah Baru Indonesia.” Mereka berpotensi menjadi pasangan transformasi yang mampu menciptakan mesin pemerintahan yang ramping, cepat, dan tangguh.

Jika langkah ini berhasil, Indonesia bukan lagi sekadar negara dengan banyak kementerian, tetapi negara dengan pemerintahan efektif yang mampu bersaing secara global. Seiring waktu, dunia bisa saja terkejut melihat bagaimana Indonesia—yang dulu lamban dan birokratis—berubah menjadi kekuatan ekonomi baru yang disegani.

Singkatnya, jumlah kementerian bukan kebanggaan, efisiensi dan hasil nyatanya-lah yang akan mencatatkan Indonesia dalam sejarah sebagai bangsa besar. Dan momentum itu ada di depan mata. Tinggal bagaimana kita, sebagai bangsa, menyambutnya.

Continue Reading

Review

Bamsoet, Arsitek Reformasi Regulasi Indonesia

Dengan semangat membara dan ketajaman analisis hukum, Bambang Soesatyo menggugah kesadaran nasional akan bahaya obesitas regulasi. Ia hadir bukan sekadar sebagai legislator, tetapi sebagai pemikir visioner yang menawarkan solusi konkret demi masa depan sistem hukum Indonesia yang lebih sehat dan adaptif.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Di tengah derasnya arus peraturan yang tumpang tindih dan membingungkan, nama Bambang Soesatyo atau akrab disapa Bamsoet muncul sebagai tokoh kunci yang menggugah nalar hukum bangsa. Sebagai Anggota DPR RI yang juga mengabdikan diri sebagai dosen pascasarjana di Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya, dan Universitas Pertahanan (UNHAN), Bamsoet tak hanya menyuarakan kritik, tapi juga menampilkan skema reformasi regulasi yang terukur dan strategis.

Baginya, obesitas regulasi adalah penyakit kronis dalam tubuh hukum Indonesia yang telah lama diabaikan. “Kita tidak kekurangan peraturan, justru kita kelebihan—bahkan sampai kebablasan,” tegas Bamsoet dengan nada yang enerjik di hadapan para mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur. Pernyataannya bukan tanpa dasar. Dengan lebih dari 43.800 regulasi yang aktif, Indonesia terjebak dalam labirin hukum yang justru mempersulit pelayanan publik, memadamkan gairah investasi, dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap keadilan.

Bamsoet memahami bahwa permasalahan ini bukan sekadar angka. Ini soal efektivitas negara dalam merespons kebutuhan rakyat dan dinamika global. Dalam setiap kuliah, diskusi, maupun forum publik, ia menekankan pentingnya penyederhanaan dan harmonisasi regulasi. Dengan pendekatan konseptual seperti omnibus law, ia menawarkan jalan keluar yang tidak hanya efisien, tetapi juga relevan dengan tantangan zaman. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, menurutnya, adalah contoh konkret yang sudah memberikan dampak positif, meskipun masih memerlukan penguatan implementasi.

Gagasan Bamsoet tak berhenti di tataran teoritis. Ia mendorong lahirnya lembaga tunggal yang khusus menangani regulasi di bawah pengawasan langsung presiden—sebuah langkah terobosan yang ia yakini mampu mengintegrasikan dan menyinkronkan seluruh produk hukum dari pusat hingga daerah. Ketika sebagian besar pembuat kebijakan terjebak dalam birokrasi lamban, Bamsoet tampil sebagai pemimpin pemikiran yang menggerakkan.

Ia berbicara dengan ketajaman akademis, tetapi membumi. Dengan gaya komunikasi yang dinamis, ia membangun narasi tentang hukum yang bukan hanya harus adil, tetapi juga harus lincah dan adaptif. “Tanpa regulasi yang sehat, tak ada investasi yang nyaman, tak ada pelayanan publik yang efektif, dan tak ada masa depan hukum yang bisa kita banggakan,” ucapnya penuh penekanan.

Komitmennya terhadap dunia pendidikan semakin mengukuhkan reputasinya. Di kampus, ia bukan sekadar pengajar, tetapi inspirator yang memicu daya pikir kritis para calon doktor hukum. Di Senayan, ia membawa semangat yang sama: menyusun legislasi dengan perspektif reformis, bukan normatif semata. Kepakarannya dalam membaca lanskap hukum secara holistik menjadikan Bambang Soesatyo sebagai figur langka yang mampu menjembatani teori dan praktik dengan presisi.

Bamsoet tak berhenti pada kritik. Ia membawa visi yang ditopang oleh data, diperkuat oleh pengalaman legislasi, dan diarahkan oleh tekad perubahan. Kepada para pemangku kepentingan, ia menyerukan kerja kolektif. Koordinasi antar lembaga, evaluasi regulasi yang berkelanjutan, serta pelibatan masyarakat menjadi tiga elemen utama dalam grand design reformasi yang ia usung.

Bagi Bambang Soesatyo, regulasi bukan soal banyak atau sedikit, tetapi soal relevansi dan efektivitas. Ia meyakini bahwa hukum yang baik adalah hukum yang bekerja. Dengan energinya yang tak pernah surut, ia terus memacu langkah untuk membebaskan Indonesia dari belenggu regulasi yang menumpuk. Dalam dirinya, publik melihat bahwa perubahan bukan hanya mungkin, tetapi sedang diperjuangkan—dengan ilmu, integritas, dan keberanian.

Continue Reading

Review

Amerika dan Dunia di Ujung Tanduk

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com –Di balik gemerlap demokrasi dan retorika hak asasi manusia yang selalu dikumandangkan Amerika Serikat, terselip jejak-jejak kelam imperialisme modern yang kian mencemaskan masa depan dunia.

Amerika Serikat, negeri yang kerap mengangkat bendera kebebasan dan keadilan, tengah berdiri di ambang krisis kepercayaan global. Dunia telah lama menyaksikan bagaimana kekuatan adidaya ini tidak hanya mencampuri urusan negara lain, tetapi secara aktif menciptakan ketegangan, perang, dan kerusakan struktural di berbagai belahan bumi. Retorika tentang demokrasi sering kali menjadi kedok manis untuk ambisi-ambisi geopolitik yang tidak segan menyulut konflik dan mengorbankan jutaan jiwa.

Di Timur Tengah, luka-luka yang ditinggalkan belum sembuh. Irak, Suriah, Libya—semuanya menjadi ladang eksperimen atas kebijakan luar negeri Amerika yang destruktif. Perang dilancarkan atas nama kebebasan, namun hasilnya adalah kehancuran negara, runtuhnya peradaban, dan munculnya kelompok-kelompok perlawanan di cap radikal dan di labeli teroris.

Tak bisa di bayangkan, mereka yang melawan karena ditindas malah dituduh penjahat sementara negara penjajah dielu-elukan sebagai bangsa yang menjunjung hak asasi manusia.

Dunia tahu siapa dalang dari semua ini, tetapi suara-suara perlawanan kerap dibungkam oleh dominasi media dan kekuatan politik yang dimiliki Washington.

Tak hanya itu, ambisi ekspansionis Amerika terlihat jelas ketika secara terang-terangan ingin mencaplok Greenland, wilayah otonom yang berada di bawah Denmark. Upaya ini bukan hanya bentuk arogansi kekuasaan, tapi juga menunjukkan betapa Amerika merasa berhak atas segala sesuatu yang strategis dan menguntungkan secara ekonomi maupun militer. Terusan Panama pun tak luput dari incaran mereka—jalur perdagangan vital dunia yang ingin mereka kontrol sepenuhnya demi kepentingan ekonomi dan militer mereka sendiri.

Amerika juga tak ragu menyulut konflik dengan kekuatan besar lain seperti Rusia. Alih-alih mencari jalur diplomasi, mereka memilih membiayai kelompok-kelompok separatis dan memperluas pengaruh NATO hingga ke perbatasan negara yang mereka anggap rival. Ketegangan di Ukraina dan wilayah sekitarnya adalah bukti nyata betapa Amerika tidak segan menyalakan api perang baru demi mempertahankan hegemoni global mereka.

Di banyak negara, Amerika hadir bukan sebagai penyelamat, tapi perusak dari dalam. Mereka mendanai kelompok separatis, memicu instabilitas, dan mengintervensi politik domestik melalui berbagai cara—baik terang-terangan maupun tersembunyi.

Demokrasi dijual sebagai produk ekspor, padahal dalam praktiknya, mereka sendiri sering kali menutup mata terhadap kudeta, pelanggaran HAM, dan pemilu curang—selama itu menguntungkan kepentingan mereka.

Ironi terbesar tampak dalam sikap Amerika terhadap Palestina. Di saat dunia menyaksikan genosida sistematis yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, Amerika justru tampil sebagai pelindung utama. Mereka memveto resolusi-resolusi penting di PBB, menyuplai senjata, dan memberikan dukungan politik tanpa syarat kepada Israel. Dalam hal ini, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia seolah menjadi selektif: berlaku bagi yang tunduk, diabaikan bagi yang melawan.

Kita patut bertanya: sampai kapan dunia akan membiarkan satu negara bertindak bak dewa di panggung global, menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang harus hancur? Sampai kapan kekuatan uang dan militer dijadikan alat untuk membungkam keadilan dan nurani? Amerika boleh saja membungkus semua tindakan mereka dalam jargon-jargon idealistik, tapi dunia telah lama melihat wajah aslinya.

Sebuah kehancuran moral dan politis tengah mengintai Amerika, dan dunia harus bersiap untuk tak hanya menyaksikan, tetapi mengambil sikap.

Rezim di Amerika, siapapun presiden dan wakil presidennya, akan terus menghancurkan fondasi perdamaian dan keadilan internasional.

Dunia bukan milik satu negara, dan masa depan tidak boleh dikendalikan oleh tangan-tangan yang berlumur darah sejarah.

Mungkinkah ini pertanda, imam mahdi sudah di depan mata? sebentar lagi akan datang.

Datangnya Imam Mahdi bukan sekadar narasi spiritual, melainkan momen monumental yang mengguncang tatanan lama dan membuka jalan bagi era keemasan. Dalam pusaran kekacauan global—korupsi merajalela, kesenjangan sosial menganga, nilai-nilai luhur diinjak-injak—sosok ini hadir sebagai penyeimbang, penyatu, dan pembebas.

Dengan kepemimpinan yang penuh hikmah dan keberanian, Imam Mahdi akan menghancurkan tirani, membangkitkan semangat keadilan, dan menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan sejati. Tak ada lagi dominasi kekuatan zolim, tak ada lagi ketakutan bagi yang lemah. Dunia akan menyaksikan transformasi masif—sistem yang korup runtuh, kebenaran bersinar, dan solidaritas antarumat manusia menguat.

Masa keemasan bukan sekadar impian, tapi realitas yang dibangun dari kebangkitan spiritual dan kesadaran kolektif. Dunia akan berdetak dalam irama kedamaian, keadilan, dan keberkahan. Inilah momentum kebangkitan, saat sejarah menulis ulang dirinya dengan tinta cahaya, dan umat manusia meraih kembali martabatnya yang hakiki.

Continue Reading

Review

Dolar Terpuruk di Era Trump

Dolar AS melemah tajam di bawah kepemimpinan Trump, tertekan oleh kebijakan tarif dan potensi resesi, memperlihatkan keraguan pasar terhadap arah ekonomi dan strategi geopolitik AS.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Ketika Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, dunia menunggu gebrakan kebijakan ekonominya. Tapi bukan kekuatan dolar yang muncul ke permukaan, melainkan tanda-tanda keterpurukan. Awal tahun 2025, indeks dolar (DXY) masih berada di angka 109,35—namun dalam waktu kurang dari tiga bulan, posisinya amblas ke level 100,06. Penurunan hampir 8,5% ini bukan sekadar angka. Ia adalah simbol dari kegamangan pasar global terhadap arah ekonomi negara adidaya.

Hari Kamis, 10 April 2025, menjadi catatan merah bagi mata uang Paman Sam. Dalam satu hari, dolar tercatat anjlok 1,98%—penurunan paling tajam selama periode 20 Januari hingga 11 April. CNBC International menyoroti bagaimana kebijakan agresif Trump, khususnya soal perdagangan, memperburuk tekanan pada dolar. Dulu, banyak pihak berharap tarif yang diberlakukan akan memperkuat posisi mata uang ini. Tapi kenyataan menunjukkan arah yang jauh berbeda.

Bukannya memperkuat ekonomi, tindakan Trump justru membuat investor asing meradang. Alih-alih menanamkan modal, mereka melakukan aksi jual besar-besaran terhadap saham dan obligasi AS. Ini bukan hanya mencerminkan ketakutan terhadap dampak kebijakan, tapi juga sinyal bahwa kepercayaan terhadap prospek ekonomi AS tengah goyah.

Dampak lain pun segera terlihat di pasar global. Yen Jepang dan franc Swiss—dua mata uang yang dikenal sebagai ‘safe haven’ di saat ketidakpastian—menguat signifikan. Dolar, sebaliknya, kehilangan tempat di hati investor yang biasanya mengandalkannya sebagai pelindung saat badai pasar datang. Tentu saja, ini bukan skenario yang diharapkan oleh siapa pun di Gedung Putih.

Sumber dari Refinitiv menunjukkan bahwa pelemahan dolar tak lepas dari meningkatnya kekhawatiran akan potensi resesi di AS. Trump memang datang dengan gaya lama: gemar mengguncang status quo, bermain di medan tarif, dan menempatkan China sebagai musuh nomor satu. Tapi kali ini, strategi tersebut seperti menembak kaki sendiri.

Pemerintahan Trump telah menetapkan tarif dasar terhadap China sebesar 145%—angka mencengangkan yang bahkan melampaui janji kampanyenya sendiri yang hanya 60%. Tak berhenti di sana, Trump juga nyaris menerapkan tarif menyeluruh 10% ke seluruh dunia, sebelum akhirnya memilih menunda rencananya selama 90 hari untuk semua negara kecuali China.

Tindakan ini, menurut Trump, diambil karena “orang-orang mulai berisik dan takut.” Tapi pasar lebih dari sekadar ‘berisik’. Mereka resah. Mereka menilai kebijakan ini bukan sebagai langkah proteksi, melainkan bentuk isolasi ekonomi yang tak bijak.

China sendiri tak tinggal diam. Negeri Tirai Bambu menaikkan tarif balasan terhadap AS menjadi 84%. Perang dagang yang seharusnya bisa diselesaikan lewat meja perundingan kini menjelma menjadi pertandingan ego, dengan risiko besar bagi kestabilan ekonomi global.

Strategi Trump juga mencerminkan manuver geopolitik yang lebih luas. Dalam menyusun blok perdagangan alternatif, tim ekonominya mulai mendekati Korea Selatan, Jepang, India, hingga Vietnam. Langkah ini tampak sebagai upaya untuk membentuk barikade ekonomi guna menekan posisi China. Tapi tanpa kerja sama yang kuat dan strategi diplomatik yang seimbang, ini justru bisa menjadi bumerang yang merugikan semua pihak.

Kini, dunia menyaksikan, apakah Trump bisa mengendalikan arah kebijakan dengan lebih hati-hati, atau justru kembali menjadi arsitek dari ketidakpastian ekonomi global. Yang jelas, dolar—sebagai barometer kekuatan AS—sedang berbicara lantang: pasar tidak lagi sebegitu yakin pada janji-janji populis yang penuh risiko.

Continue Reading

Review

Rupiah Menguat, Pasar Tetap Waspada

Dila N Andara

Published

on

Monitorday.com – Rupiah ditutup menguat pada rentang Rp16.750 hingga Rp16.830 per dolar AS dalam perdagangan Jumat (11/4/2025), setelah mencatatkan penguatan sebesar 0,29% atau 49,5 poin ke level Rp16.823 per dolar pada Kamis (10/4).

Momentum positif ini terjadi di tengah lesunya indeks dolar AS yang melemah 0,46% ke posisi 102,42, serta tren penguatan mata uang Asia lainnya seperti yen Jepang, won Korea, yuan China, dan ringgit Malaysia.

Kondisi ini memberi napas segar bagi pasar keuangan domestik yang tengah berjibaku dengan dinamika eksternal. Menurut pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, sentimen positif muncul setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan perpanjangan waktu 90 hari atas kebijakan tarif timbal balik terbarunya. Keputusan itu dinilai mampu meredam kekhawatiran akan resesi, walau arah kebijakan Trump masih dipandang labil oleh pelaku pasar.

“Pasar tetap berhati-hati. Trump bukan sosok yang mudah ditebak, dan sikapnya terhadap kebijakan tarif sering berubah,” ujar Ibrahim dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/4).

Ketidakpastian ini, lanjut Ibrahim, semakin diperparah oleh ketegangan geopolitik yang terus membara di Timur Tengah dan Eropa serta meningkatnya tensi perang dagang global. Kombinasi faktor-faktor eksternal ini membuat perekonomian domestik berada dalam tekanan, dengan fluktuasi nilai tukar sebagai indikator paling nyata.

Di tengah situasi ini, peran pemerintah dan Bank Indonesia sangat krusial. Intervensi di pasar keuangan terus dilakukan untuk menstabilkan nilai tukar. Namun, Ibrahim menilai, instrumen yang tersedia tidak sepenuhnya mampu menangkal dampak global yang berada di luar kontrol domestik. “Pemerintah dan BI bekerja keras, tetapi kemampuan mereka terbatas. Yang dibutuhkan adalah sinergi dan antisipasi jangka panjang,” tegasnya.

Perang dagang yang semakin panas juga membawa konsekuensi nyata bagi sektor perdagangan dan harga barang. Meskipun komponen produk buatan AS belum mendominasi rantai pasok lokal, kenaikan tarif tetap berpotensi memicu inflasi karena lonjakan harga bahan impor. Hal ini tak hanya menekan daya beli masyarakat, tapi juga mengganggu keseimbangan neraca perdagangan.

Lebih jauh, Ibrahim menyoroti risiko jangka panjang terhadap daya saing regional. Negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, yang sangat bergantung pada ekspor ke negara besar, dinilai rentan terhadap penurunan volume perdagangan akibat kenaikan harga barang. “Dampaknya bisa sangat luas, dari melemahnya profitabilitas perdagangan hingga melambatnya pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Meski begitu, pasar domestik tampaknya cukup resilient dalam menghadapi gelombang ketidakpastian global. Hari ini, rupiah diprediksi tetap bergerak dinamis, mencerminkan respons pasar terhadap perkembangan eksternal maupun kebijakan dalam negeri. Penutupan di zona hijau menjadi harapan realistis, dengan penguatan yang tetap dijaga dalam koridor yang wajar.

Kendati demikian, pasar diminta tidak larut dalam euforia sesaat. Waspada adalah kata kunci. Dengan volatilitas global yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, setiap sinyal positif harus dibaca hati-hati dan dijadikan pijakan untuk perencanaan jangka panjang, bukan hanya reaksi jangka pendek.

Continue Reading

News

Gejolak di Tubuh Militer Israel

Ratusan prajurit, perwira, dan dokter militer Israel menyerukan penghentian perang Gaza dan pembebasan sandera, menandai gelombang pembangkangan dalam tubuh militer terhadap kebijakan Netanyahu.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Gelombang pembangkangan mengguncang militer Israel. Ratusan prajurit, dokter, dan perwira cadangan menolak perpanjangan agresi di Gaza, menuntut pembebasan sandera dan diakhirinya perang.

Tel Aviv kembali diguncang suara dari dalam tubuhnya sendiri. Lebih dari 1.000 anggota dan mantan personel cadangan Angkatan Udara Israel pada Kamis (10/4) secara terbuka menyatakan sikap menentang kelanjutan perang melawan Hamas di Jalur Gaza. Mereka menuntut satu hal yang kini menjadi suara publik yang tak bisa dibungkam: hentikan perang, selamatkan para sandera.

Dengan nada tegas dan penuh kecemasan, mereka menyampaikan pesan lewat surat terbuka yang dipublikasikan di berbagai media arus utama Israel. “Kelanjutan perang tidak lagi mendorong tercapainya tujuan-tujuan yang telah diumumkan dan justru akan menyebabkan kematian para sandera, tentara IDF, dan warga sipil tak bersalah,” tulis mereka, menyoroti dampak yang tak lagi bisa dibenarkan dari serangan militer Israel di Gaza.

Di antara mereka yang menandatangani surat tersebut terdapat nama besar: Dan Halutz, mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, yang kini secara terbuka mengkritik kebijakan pemerintahan Netanyahu. Namun, respons dari pucuk kekuasaan tak kalah keras. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu langsung mengecam mereka, menyebut kelompok tersebut sebagai “ekstremis pinggiran” yang berusaha memecah belah bangsa dan menggulingkan pemerintahannya.

Pernyataan Netanyahu diikuti oleh Israel Katz, Menteri Pertahanan, yang menganggap surat tersebut sebagai upaya merusak legitimasi perang di Gaza. Ia mendesak petinggi militer untuk menindak para pembangkang ini dengan pendekatan yang dianggap paling tepat. Harian Haaretz melaporkan bahwa Kepala Angkatan Udara telah memecat sebagian personel cadangan yang menandatangani surat tersebut, meski tak dijelaskan secara rinci jumlahnya.

Gelombang pembangkangan tidak berhenti di udara. Hampir 150 perwira Angkatan Laut juga mengirimkan petisi menuntut pemerintah menghentikan perang. Aksi ini dengan cepat memicu reaksi berantai. Channel 12 melaporkan bahwa ratusan personel cadangan di Korps Lapis Baja dan Angkatan Laut juga ikut menandatangani surat serupa, mendesak penghentian agresi militer dan pemulangan para sandera.

Puncaknya, puluhan dokter militer cadangan turut bersuara. Mereka mengirimkan surat langsung kepada Menteri Pertahanan Israel dan Kepala Staf Umum, Eyal Zamir. “Kami, para dokter dan tenaga medis cadangan, menuntut pemulangan segera para sandera dan penghentian perang di Jalur Gaza,” demikian isi surat yang disiarkan kanal tersebut. Para tenaga medis ini menyatakan bahwa perang yang berlarut-larut lebih mencerminkan kepentingan politik dan pribadi daripada tujuan keamanan nasional.

Israel menyatakan masih ada 59 sandera di Gaza, dan setidaknya 22 di antaranya diyakini masih hidup. Para pembangkang menekankan bahwa pembebasan mereka hanya mungkin terjadi melalui penghentian total perang. Padahal, pada awal tahun, Israel disebut-sebut melanggar kesepakatan gencatan senjata fase kedua yang seharusnya mencakup penarikan pasukan dan pertukaran tahanan.

Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, agresi balasan Israel telah menewaskan lebih dari 50.800 warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur Gaza. Di tengah krisis kemanusiaan dan kritik internasional yang memuncak, tekanan dari dalam kini menjadi ancaman paling nyata terhadap fondasi narasi perang Netanyahu.

Kasus ini bahkan memasuki ranah hukum internasional. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang. Di saat yang sama, gugatan genosida terhadap Israel sedang bergulir di Mahkamah Internasional (ICJ).

Apa yang semula terlihat sebagai monolit kesatuan kini mulai retak dari dalam. Seruan dari udara, laut, darat, dan rumah sakit kini menyatu dalam satu suara: akhiri perang, selamatkan nyawa. Dinamika ini bisa menjadi titik balik — bukan hanya bagi para sandera, tapi juga bagi arah kebijakan militer Israel ke depan.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Sportechment2 hours ago

Duh! Hakim AS Putuskan Google Bersalah Gegara Kasus Ini

Review3 hours ago

Damai yang Membunuh Palestina

Sportechment3 hours ago

Derby Korea Batal Terjadi di Final Piala Asia U-17 2025, Penakluk Indonesia Keok

Sportechment3 hours ago

Comeback Gila MU Bikin Old Trafford Bergemuruh, Amorim Sindir Suporter yang Balik Duluan

News13 hours ago

Pesan Wamendikdasmen Saat Melepas 1.500 Lulusan SMK Siap Kerja ke LN

News13 hours ago

Tingkatkan Kualitas Pendidikan, Mendikdasmen Wajibkan Guru Ikuti Pelatihan Rutin

News13 hours ago

Menlu RI dan AS Sepakat Perluas Kemitraan Strategis

News14 hours ago

Prabowo Siapkan Langkah Strategis untuk Evakuasi Warga Gaza ke Indonesia

News14 hours ago

Mensos: Guru Sekolah Rakyat Diprioritaskan dari PNS dan PPPK

Ruang Sujud15 hours ago

Iffah: Pilar Kekuatan Spiritual dalam Islam

Sportechment15 hours ago

Tertinggal dari Marquez, Manajer Ducati Soroti Masalah Mental Bagnaia

Sportechment16 hours ago

Timnas Indonesia Tak Kirim Pemain Kunci di Duel ASEAN All-Stars vs MU, Lha Kenapa?

Ruang Sujud19 hours ago

Iffah dalam Kehidupan Sehari-hari: Menemukan Keindahan dalam Menjaga Diri

News21 hours ago

Pemprov Jawa Barat Resmi Larang Masjid Minta Sumbangan Di Tengah Jalan

Review21 hours ago

S3 Bukan Sekadar Gelar, Tapi Lompatan Hidup! Ini Alasannya!

Ruang Sujud23 hours ago

Kekuatan Iffah: Mengapa Menjaga Diri Adalah Cermin Kemuliaan

News1 day ago

Guru Besar Universitas Indonesia Serukan Masyarakat Bela Palestina Dengan Jiwa

Sportechment1 day ago

Wow! Coachella 2025 Hadirkan Headliner Spektakuler, Bayaran Musisi Tembus Ratusan Miliar

News1 day ago

Wamendikdasmen: Transformasi Pendidikan Harus Libatkan Sekolah Swasta dan Pemda

News1 day ago

Kabar Rusia Bakal Bangun Pangkalan Militer, Kemlu RI Respon Begini