Review
Berebut Suara Kaum Sarungan
Sejak tahun 2004 setidaknya ada tiga tokoh NU yang berlaga dalam pemilihan presiden. Mulai dari KH Hasyim Muzadi, Salahudin Wahid, dan Ma’ruf Amin.
Published
1 year agoon
SESAAT setelah Anies Baswedan mengumumkan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai pasangan bakal Calon Presiden yang sedianya melenggang di Pemilihan Presiden 2024 mendatang, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono berkali-kali mengelus dada. Suasana saat itu amat murung, SBY juga tak kuasa menahan geram.
“Ini bukan kiamat, ini bukan akhir dari perjuangan kita, bukan. Ini harus kita maknai sebagai ujian, dan cobaan yang harus kita hadapi. Kemudian kita atasi bersama,” ujar SBY. “Setelah kesulitan, atau di balik kesulitan itu ada kemudahan. Innamaal usri Yusra,” imbuhnya, mencoba tegar sembari menenangkan para kader yang saat
Kekhawatiran dan ketidaksetujuan SBY tentu beralasan. Dengan diputuskannya Cak Imin, otomatis peluang putranya Agus Harimurti Yudhoyono untuk maju sebagai Cawapres redup perlahan lalu hilang. Keputusan Surya Paloh sudah bulat, Cak Imin menjadi bakal cawapres yang akan mendampingi jagoannya di Pilpres 2024.
Satu pertimbangan Surya Paloh menggaet Cak Imin menjadi pendamping Anies adalah keinginan untuk menguasai lumbung suara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berkaca pada kemenangan Jokowi di 2019, kemenangan di dua provinsi tersebut menjadi kunci dirinya melanggeng kembali ke Istana.
Jokowi-Maruf unggul sebesar 77,26% atau 16,7 juta suara dengan kemenangan di seluruh wilayah Jawa Tengah. Sementara di Jatim, Jokowi-Ma’ruf mendapat suara sebesar 16.231.668 dengan presentase 65,79 persen. Sementara Prabowo-Sandi hanya mendapat 8.441.247 dengan presentase 34,21 persen.
Wakil Ketua Dewan Pakar partai Nasdem, Peter F Gontha mengatakan Ketum Nasdem, Surya Paloh memilih Cak Imin karena belajar banyak dari keseuksesan Jokowi dalam memenangkan Pilpres, baik 2009 maupun 2014. Dua momen itu, kata Peter, Jokowi memilih Jusuf Kalla dan Ma’ruf Amien.
Menguasai suara di Jateng dan Jatim dapat mengunci kemenangan untuk capres yang diusung. Baik Anies maupun Surya Paloh sebetulnya ingin mencari calon lain yang tidak sekadar lekat dengan ‘image’ Jawa Timur.
“Itu pula yang sejak awal pencapresan Anies, Surya Paloh bersama timnya membuat kalkulasi politik siapa yang layak memberi kemenangan bagi Anies,” kata Peter dalam keterangan tertulis yang diterima monitorday, Kamis [7/9/2023].
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan dalam setiap hajatan pemilu, suara kalangan santri selalu menjadi rebutan, mulai dari kontestasi lokal seperti Pilkada hingga di tataran nasional. Perebutan itu dianggap wajar karena ceruk segmen suara santri ini cukup besar dan bisa mendongkrak elektabilitas dan keterpilihan.
“Para politisi sangat faham akan keberadaan kaum santri yang secara proporsi sangat besar dan akan sangat mempengaruhi peta politik. Sangat wajar dukungan dari segmen ini memberi kontribusi yang sangat besar dan nyata terhadap tingkat keterpilihan dalam setiap hajatan kontestasi elektoral,” ujar Pangi.
Sejarah Berbeda
Sejak tahun 2004 setidaknya juga ada tiga tokoh NU yang berlaga dalam pemilihan presiden. Mulai dari KH Hasyim Muzadi, Salahudin Wahid, dan Ma’ruf Amin.
KH Ahmad Hasyim Muzadi adalah tokoh Islam yang sempat menyeruak ke permukaan sebagai cawapres mendampingi Megawati Soekarnoputri. Saat itu, AHM merupakan Ketua Umum PBNU (2000-2010). Hasilnya, pasangan capres-cawapres ini memperoleh 26,2 persen suara, dan masuk putaran kedua melawan pasangan SBY-JK. Di putaran kedua, mereka akhirnya kalah dari pasangan SBY-JK.
Sejarah ini jadi catatan penting, tidak saja bagi PDIP tapi bagi partai-partai lain di negeri ini. Tidak ada jaminan mendapat calon dari tokoh NU akan jadi. Namun, penting untuk diingat bahwa NU bukan monolitik. Seperti dalam organisasi besar lainnya, ada beragam pandangan di dalam NU. Beberapa fraksi atau kelompok mungkin memiliki pendekatan politik yang berbeda.
Politisi senior PDIP, Panda Nababan bahwa ternyata itu tidak jadi jaminan. “Megawati dulu mengambil biangnya NU, jagoannya NU siapa itu? Hasyim Muzadi. Kalah juga,” kata Panda.
Sejarah juga mencatat, ada nama Salahuddin Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Solah yang merupakan seorang ulama, politisi, dan aktivis Hak Asasi Manusia di Indonesia. Ia pernah dipercaya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada muktamar ke-32 NU di Makassar. Gus Solah merupakan cucu pendiri NU Abdurrahman Wahid.
Pada Pemilu 2004, ia pernah terpilih menjadi cawapres berpasangan dengan Wiranto. Pasangan ini menduduki posisi ketiga dengan perolehan suara sebanyak 22,15% pada putaran pertama Pemilu yang dimenangkan pasangan SBY dan Jusuf Kalla.
Pada pemilu 2019, tokoh NU kembali maju dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Nama yang didaulat untuk maju adalah KH Ma’ruf Amin, seorang ulama, dosen, dan politikus Indonesia. Ia dikenal sebagai tokoh senior organisasi NU sebagai Rais ‘Aam sejak 2015.
Mustasyar Pengurus Besar NU sejak 2019 ini terpilih sebagai cawapres mendampingi Joko Widodo. Pasangan capres-cawapres ini berhasil memenangkan Pemilu 2019-2024 dengan perolehan suara sebanyak 55,5%. Meski menang, namun catatan pentingnya saat itu, posisi inkumbend memang diuntungkan. Selain dari resources yang memadai, juga elektabilitas Jokowi yang tak tertandingi. Istilahnya, dipasangkan dengan kotak kosong pun Jokowi tetap menang.
Momentum kemenangan
Kisah kandasnya Kiai Hasyim, Gus Solah atau bahkan sosok Jusuf Kalla yang seringkali disebut representasi kaum sarungan, mestinya menjadi catatan penting. Tidak saja bagi partai politik. Namun juga elemen lain yang mendukung demokrasi.
Penting juga untuk diingat bahwa situasi politik dan sosial di Indonesia terus berubah, dan pengaruh NU bisa berubah seiring dengan itu. Selain itu, faktor-faktor lain seperti dinamika partai politik, isu-isu kontemporer, dan kebijakan pemerintah juga mempengaruhi peran NU dalam politik Indonesia.
Ini sekaligus menjadi catatan, bagi pihak-pihak yang gemar membuat prakondisi sebelum dilaksanakannya pesta demokrasi. Melalui survei atau hasil riset yang mengait-ngaitkan kekuatan organisasi keagamaan dengan peristiwa politik. Yang secara tidak sadar kembali menarik kekuatan civil society ini ke dalam labirin politik yang tak berujung.
Terlepas baik atau buruk, pilpres 2016 yang dimenangkan Donald Trump sebetulnya mengajarkan kepada kita, bagaimana Trump di saat itu berhasil membaca dengan baik keresahan warga soal kecenderungan globalisasi yang tak memihak mereka.
Tentu saja bacaan yang dihasilkan bukan berasal dari petunjuk klenik, melainkan penggunaan big data, survei, serta analisa media online dan media sosial. Dari situ, Trump dan timnya membuat strategi pemenangan, baik ‘darat’ maupun ‘udara’.
Pada titik inilah baik penyelenggara, media, warga, civil society, hingga partai politik harus bersama-sama membangun ekosistem pemilu yang memungkinkan kemenangan politk lahir dari cara-cara yang rasional, terbuka, fair, dan juga murah. Sehingga keterbelahan, kegagalan media, fenomena pasca kebenaran, civil society yang keluar dari Kittahnya, dan berebut ‘sarung’ dapat kita hindari.
Penulis : Ma’ruf M
Editor : Taufan Agasta, Renold Rinaldi
Reporter : Natsir Amir, Faisal Maarif