Monitorday.com – Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf R Manilet, mengungkapkan bahwa penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) perlu memperhatikan tren inflasi karena kenaikan tarif PPN dapat berdampak pada inflasi.
“Momentum penerapan tarif baru PPN perlu memperhatikan bagaimana tren inflasi dan juga tren daya beli masyarakat secara umum,” kata Yusuf kepada wartawan, Jumat (22/3).
Dia menjelaskan bahwa dasar kenaikan tarif PPN merujuk pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang telah disahkan sejak 2021. Penyesuaian tarif PPN dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak.
“Pemerintah melakukan penyesuaian tarif pajak untuk meningkatkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto dalam jangka panjang,” tambahnya.
Yusuf menyebut bahwa pemerintah sebenarnya memiliki opsi untuk menerapkan kebijakan PPN yang bersifat progresif, di mana tarif PPN disesuaikan dengan barang yang dikonsumsi oleh kelompok pendapatan masyarakat.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen pada 2025. Aturan untuk kenaikan tarif PPN akan dibahas lebih lanjut dan dilaksanakan oleh pemerintahan selanjutnya.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan bagian dari rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menurut UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya 10 persen akan dinaikkan menjadi 11 persen pada 1 April 2022, dan kemudian menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.