Monitorday.com – Keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengalihkan empat pulau dari Aceh Singkil ke Sumatera Utara dinilai tidak hanya cacat prosedural, tetapi juga mencederai martabat dan sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh.
Kebijakan sepihak ini menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Prof Ahmad Humam Hamid, menilai tindakan ini sebagai bentuk pengabaian terhadap martabat rakyat Aceh dan pelanggaran serius terhadap semangat damai pasca-MoU Helsinki.
“Ini bukan sekadar soal garis batas di peta. Ini menyangkut memori konflik, harga diri, dan identitas kolektif rakyat Aceh,” ujarnya lantang, Jumat (13/6/2025).
Bagi masyarakat Aceh, keputusan administratif semacam ini tidak pernah netral. Ia sarat makna dan simbol, apalagi bila dilakukan tanpa empati. Prof Humam menegaskan, tindakan legal-formal yang diambil secara kering, hanya akan memperdalam luka dan memunculkan kembali narasi resistensi yang sudah lama coba disembuhkan.
Prof Humam juga mengaitkan situasi ini dengan gejolak kultural yang terjadi di sejumlah wilayah dunia—dari Catalonia, Skotlandia, hingga Mindanao. Semua wilayah itu memiliki kesamaan: identitas yang kuat, sejarah marginalisasi, dan pusat kekuasaan yang tuli terhadap suara lokal.
“Kalau pemerintah pusat terus mengabaikan makna-makna simbolik ini, jangan heran bila resistensi lahir kembali dalam bentuk yang tak terduga,” tegasnya.
Sorotan tak berhenti di situ. Mantan tahanan politik Aceh, Nasaruddin alias Nyak Dhien Gajah, bahkan lebih keras dalam mengecam keputusan Tito. Menurutnya, tindakan ini bukan hanya bentuk pengabaian, melainkan penghianatan terang-terangan terhadap MoU Helsinki—perjanjian damai yang menjadi dasar integrasi Aceh ke dalam NKRI.
“Kemendagri telah menginjak-injak marwah orang Aceh. Ini bukan sekadar pengalihan wilayah, ini pelecehan terhadap perjanjian damai,” kata Nyak Dhien dengan penuh amarah.
Ia mengingatkan bahwa Aceh pernah melawan keras ketika pemerintah pusat memaksakan penyatuan wilayah ke Sumatera Utara pada masa Soekarno. Kini, sejarah kelam itu seperti diulang oleh Tito Karnavian dengan wajah yang lebih birokratis, tapi semangatnya tetap kolonial.
Menurutnya, tindakan ini memperpanjang daftar penghianatan terhadap Aceh dari masa ke masa—dari era Soekarno, Soeharto, Megawati, hingga Jokowi.
Nyak Dhien juga menanggapi pernyataan Tito yang menyarankan Aceh menggugat lewat TPUN sebagai sikap sinis yang disengaja. Meski begitu, ia masih menyimpan harapan pada Presiden terpilih Prabowo Subianto yang dianggap punya iktikad baik membangun ulang kepercayaan rakyat Aceh.
“Presiden Prabowo harus turun langsung. Jangan hanya batalkan keputusan ini, tapi juga copot Tito Karnavian dari kursi Mendagri,” tegasnya.
Pemerintah pusat diingatkan bahwa Aceh bukan sekadar wilayah administratif, tapi ruang hidup yang sarat luka sejarah, identitas, dan perjuangan. Keputusan yang menyangkut wilayah Aceh tak bisa disikapi hanya dengan dasar hukum. Ia menuntut empati, dialog, dan penghormatan pada memori kolektif masyarakat.
Apabila pemerintah kembali memilih jalan kekuasaan, maka resiko terulangnya siklus resistensi hanya soal waktu. Tito Karnavian, sebagai simbol dari kebijakan pusat, telah menyalakan api di tanah yang belum sepenuhnya padam. Dan jika negara memilih diam, maka sejarah hanya akan mengulang dirinya sendiri dengan harga yang jauh lebih mahal.