News
Dosen itu Melayani, Tebar Jala Solusi Bukan Gila Dihormati
Published
2 days agoon
By
Natsir AmirMonitorday.com – Fenomena dosen yang merasa bahwa ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dan lebih banyak pengalaman dibandingkan mahasiswanya seringkali terlihat sebagai cerminan dari ketidakmampuan untuk memosisikan diri secara adil dalam hubungan pendidikan.
Dalam banyak kasus, dosen dengan gelar tinggi dan pengalaman yang luas merasa bahwa prestasi akademis mereka seharusnya menjadi alasan untuk mendapatkan penghormatan tanpa harus menghargai mahasiswanya terlebih dahulu. Ini seringkali menimbulkan kesenjangan antara dosen dan mahasiswa yang tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga kultural dan sosial. Tidak jarang, hubungan ini menjadi kaku dan kehilangan kedalaman komunikasi yang seharusnya terjadi dalam proses belajar mengajar.
Pada dasarnya, gelar akademis dan pengalaman adalah dua hal yang dihargai dalam dunia pendidikan, namun keduanya tidak boleh menjadi alasan untuk memandang rendah mahasiswa. Tentu, dosen memiliki pengetahuan yang lebih dalam karena perjalanan panjang dalam dunia akademik, tetapi hal tersebut tidak serta-merta menjadikan mereka lebih tinggi dalam derajat manusiawi atau lebih penting dalam proses pembelajaran.
Pemahaman bahwa setiap individu—termasuk mahasiswa—memiliki potensi untuk berkembang dan berkontribusi dalam pembelajaran seharusnya menuntun dosen untuk lebih rendah hati dan tidak merasa lebih tinggi atau lebih penting.
Mengingat pentingnya etika dalam pendidikan, seharusnya dosen menyadari bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang statis atau milik pribadi. Sebagai pendidik, mereka seharusnya mampu memahami bahwa ilmu itu berkembang dan tidak terbatas hanya pada apa yang mereka kuasai.
Mahasiswa, dengan berbagai cara dan latar belakang mereka, juga memiliki potensi untuk membawa perspektif baru dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, menjadikan gelar dan pengalaman sebagai ukuran absolut untuk menghormati atau dihormati akan membuat ruang pendidikan menjadi sempit dan tidak produktif.
Gelar dan pengalaman dosen seharusnya bukan alat untuk mengklaim posisi superioritas dalam hubungan antara mereka dan mahasiswa. Sebaliknya, keduanya adalah alat untuk membuka dialog yang lebih mendalam dan membangun hubungan saling menghargai.
Ketika dosen merasa bahwa mereka adalah “tuan” dalam ruang kelas hanya karena status dan pengalaman, mereka mengabaikan fakta bahwa mahasiswa adalah individu yang juga perlu dihargai pemikirannya. Pendidikan yang baik adalah proses interaktif, bukan monolog, dan dosen yang merasa lebih tinggi justru merusak esensi ini.
Pernyataan bahwa “semakin berisi semakin menunduk” menjadi relevan dalam konteks ini. Filosofi ini mengajarkan kita bahwa mereka yang memiliki lebih banyak ilmu dan pengalaman seharusnya lebih bijaksana dalam berbicara dan bertindak, bukannya merasa lebih berhak dihormati.
Sebuah padi yang penuh akan semakin merunduk, mencerminkan sikap rendah hati dan kesadaran bahwa ilmu yang dimiliki seharusnya digunakan untuk memberi manfaat, bukan untuk memperlihatkan keunggulan diri. Dalam banyak hal, mereka yang tahu lebih banyak justru harus lebih peka dalam memperlakukan orang lain dengan rasa hormat.
Dosen yang mendewakan gelar dan ilmu tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan lainnya sering kali berisiko menciptakan budaya hierarki yang destruktif dalam pendidikan. Pendidikan yang sehat harusnya melibatkan semua pihak secara setara, dengan pengakuan bahwa setiap individu memiliki kontribusi yang berharga.
Dalam budaya hierarkis, mahasiswa sering kali merasa tidak dihargai, bahkan terpinggirkan, yang akhirnya berdampak pada kualitas pembelajaran dan motivasi mereka untuk berkembang. Hal ini juga menciptakan jarak emosional yang dapat menghambat proses belajar yang seharusnya terjadi dalam suasana yang lebih inklusif.
Lebih jauh lagi, hubungan yang didasarkan pada keunggulan akademis atau gelar ini juga dapat mendorong dosen untuk merasa tidak perlu membuka diri terhadap kritik atau saran dari mahasiswa. Padahal, seharusnya dosen yang baik adalah mereka yang mampu mendengarkan dan menerima masukan, baik dari mahasiswa maupun sejawat.
Jika hubungan ini terjalin dengan penuh ketidakseimbangan, dosen cenderung menutup diri dari perspektif yang lebih segar dan beragam, yang dapat menambah kualitas proses pengajaran mereka.
Kesimpulannya, pendidikan yang baik harus mampu membangun sebuah ekosistem belajar yang adil, saling menghargai, dan terbuka untuk pertukaran pemikiran. Dosen yang merasa lebih tinggi dan lebih berpengalaman dari mahasiswanya justru akan menghambat proses ini.
Mereka yang memiliki lebih banyak ilmu seharusnya lebih mengedepankan sikap rendah hati, karena hanya dengan begitu mereka dapat menjadi teladan yang menginspirasi mahasiswa untuk berkembang, bukan menjadi penghalang dalam perjalanan akademis mereka.