Monitorday.com – Komisi VIII DPR RI berencana untuk mengatur harga tertinggi bagi Haji Furoda dalam revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Haji.
Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, menyatakan bahwa saat ini UU Haji belum memiliki ketentuan mengenai batas atas biaya Haji Furoda, yang membuat biaya tersebut bisa sangat bervariasi.
“Di UU sebetulnya harus ada pembatasan, batas atasnya berapa yang boleh,” ujar Marwan di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (7/1).
Haji Furoda, atau haji mujamalah, adalah program haji non-kuota yang pelaksanaannya diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019.
Program ini memberikan kuota khusus dari Pemerintah Arab Saudi dan memungkinkan jemaah untuk berangkat tanpa antre, namun dengan biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan haji reguler. Biaya untuk Haji Furoda dapat mencapai sekitar USD 15.500 atau sekitar Rp 231 juta.
Dalam program ini, pihak swasta yang bertindak sebagai penyelenggara bekerja sama dengan Pemerintah Arab Saudi dalam mengelola kuota, yang membuat pemerintah Indonesia sulit mengontrol harga maupun kuota jemaah.
Marwan menegaskan meskipun haji furoda tidak sepenuhnya diatur oleh pemerintah, perlindungan dan pengawasan terhadap jemaah haji tetap menjadi tanggung jawab pemerintah.
Sementara itu, Ketua Tim Pengawas Haji 2025, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendampingi penyelenggaraan haji tahun 2025, guna memastikan Kementerian Agama dan Badan Penyelenggara Haji (BPH) dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Dasco juga menyampaikan apresiasi atas kinerja Panja Haji 2025 yang berhasil menurunkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), meskipun nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat.
BPIH 2025 diputuskan sebesar Rp 89,4 juta, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 93,4 juta.
Namun, Dasco mengingatkan agar DPR dan tim pengawas tetap waspada terkait alokasi kuota haji, mengingat adanya temuan manipulasi kuota haji pada tahun sebelumnya yang dapat merugikan jemaah yang berhak berangkat.