Monitorday.com – Dekatnya Pemilihan Presiden 2024 di Indonesia disertai dengan gelombang video politik di platform jejaring sosial TikTok. Ratusan hingga ribuan video yang beredar tidak sepenuhnya terfokus pada gagasan politik, visi-misi, atau isu serius, tetapi lebih pada momen lucu atau aktivitas yang menarik dari calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tertentu.
Contohnya adalah potongan video yang menampilkan capres Prabowo Subianto tengah berjoget di depan pendukungnya saat acara pengambilan nomor urut pasangan capres-cawapres untuk Pilpres 2024 di Komisi Pemilihan Umum, Jakarta pada 14 November 2023. Di sisi lain, cawapresnya, Gibran Rakabuming Raka, terlihat mengangkat papan bertuliskan ”Gemoy”. Cuplikan peristiwa ini kemudian menjadikan Prabowo dikenal sebagai ”Pak Gemoy”.
Meningkatnya aktivitas politik di TikTok tercatat dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh pengajar Departemen Komunikasi Swiss German University, Muninggar Saraswati. Kajian tersebut menunjukkan bahwa para kandidat capres-cawapres dan pendukungnya semakin menggunakan media baru ini sebagai sarana kampanye politik.
Penggunaan TikTok telah membawa perubahan dalam branding politisi tertentu. Contohnya, Prabowo yang sebelumnya dikenal sebagai sosok nasionalis, tegas, dan kuat, kini mencitrakan dirinya sebagai “Pak Gemoy”, yang tampak lebih sesuai dengan preferensi pemilih muda.
Hal ini terbukti lewat hasil survei Lembaga Indikator Politik Indonesia. Hasilnya, elektabilitas tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka lebih disukai oleh pemilih dari kalangan Gen-Z dan Generasi Milenial.
Survei tersebut menyebutkan 52,4% pemilih Gen-Z memilih Prabowo-Gibran, sementara dari kalangan milenial Prabowo-Gibran tetap unggul dengan porsi 40%. Artinya, tingkat keterpilihan Prabowo-Gibran dari dua generasi ini sangat tinggi.
Meskipun demikian, pengaruh viralitas video politik terhadap pilihan pemilih belum menjadi fokus kajian yang serius. Namun, satu hal yang pasti, media sosial menjadi instrumen politik efektif untuk mengonsolidasikan suara atau dukungan pemilih.
Hal ini menunjukkan keberagaman masyarakat politik di Indonesia, di mana media sosial menjadi platform yang dapat menciptakan dampak politik yang signifikan, terutama di kalangan pemilih dari tingkat pendidikan menengah bawah. Tetapi, bukan berarti pemilih muda tidak kritis. Riset juga menunjukkan bahwa mereka mampu menyaring kandidat berdasarkan rekam jejak dan program yang relevan bagi mereka.
Namun, di tengah persoalan riil yang dihadapi oleh generasi muda, seperti bonus demografi yang tidak diimbangi dengan peluang kerja yang sesuai, serta ketimpangan sosial dan ekonomi, pertanyaan akan ketersediaan pekerjaan di masa depan menjadi penting. Generasi muda, baik milenial maupun zilenial, berharap dapat menjangkau mobilitas vertikal meskipun terdapat hambatan struktural yang signifikan.