Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies (Ildes), Juhaidy Rizaldy, memberikan tanggapan terhadap isu pemakzulan Presiden Jokowi yang melibatkan gerakan petisi 100. Rizaldy menyatakan bahwa gerakan tersebut dianggap tidak masuk akal dan inkonstitusional karena sulit dilaksanakan dalam waktu yang singkat.
Sebanyak 22 tokoh yang mewakili petisi 100 bertemu dengan Menko Polhukam Mahfud MD pada Sabtu (13/1/2024), menyuarakan permintaan pemakzulan terhadap Jokowi dan menginginkan Pemilu 2024 dilaksanakan tanpa kehadiran Presiden Jokowi.
Rizaldy menjelaskan bahwa proses pemakzulan presiden melibatkan tiga lembaga, yaitu MPR, DPR, dan MK. Proses ini memerlukan waktu yang panjang dan sulit dilaksanakan.
Alasan pemakzulan presiden juga harus jelas sesuai dengan Pasal 7B UUD 1945, yang mencakup pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela, atau ketidakmemenuhi syarat lagi sebagai presiden.
“Tanpa uraian yang jelas mengenai pelanggaran Pasal 7B UUD NRI 1945 yang dilakukan Presiden, langkah pemakzulan dianggap inkonstitusional,” tegas Rizaldy.
Rizaldy menyatakan keprihatinannya bahwa isu dan gerakan pemakzulan presiden ini dapat mempengaruhi tahapan Pilpres 2024 yang tersisa kurang dari satu bulan. Namun, ia menegaskan bahwa proses pemakzulan membutuhkan waktu yang panjang dan rumit, sementara Presiden Jokowi masih kuat posisinya.
Lebih lanjut, Rizaldy mengingatkan bahwa proses pemakzulan presiden di Indonesia pernah terjadi pada era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Namun, ia menekankan perbedaan saat ini, di mana proses pemakzulan presiden memerlukan pemenuhan tiga aspek sekaligus, yaitu aspek hukum, etika, dan konstitusi.
Dalam konteks Presiden Jokowi, Rizaldy menilai bahwa pemakzulan saat ini tidak mungkin terjadi karena posisi Presiden masih kuat.