Review
Heboh Opsen Pajak: Bikin Konsumen Putar Otak
Published
2 days agoon
Monitorday.com – Risma masih ingat betul kejadian itu. Seorang konsumen yang semula sudah sepakat membeli Honda Beat di dealer tempatnya bekerja tiba-tiba membatalkan transaksi. Alasannya? Opsen pajak.
“Mereka kaget pas tahu ada biaya tambahan itu. Akhirnya, batal beli,” katanya dengan raut wajah kecewa.
Kisah seperti ini, sayangnya, bukan lagi hal yang langka di dunia otomotif Indonesia menjelang 2025.
Mulai 5 Januari 2025, pemerintah akan memberlakukan kebijakan baru berupa opsen pajak kendaraan bermotor. Kebijakan ini, yang mencakup Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), akan menambah daftar panjang biaya yang harus ditanggung konsumen.
Di beberapa daerah penyangga Jakarta seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang, besaran opsen cukup mencolok: mulai dari Rp899.000 untuk motor kecil seperti Honda Beat, hingga Rp1,9 juta untuk tipe premium seperti PCX.
Di lapangan, dampaknya sudah terasa. Para tenaga penjual kendaraan bermotor mengaku kewalahan menghadapi keluhan konsumen. Nana, salah satu tenaga penjual di dealer Yamaha, mengungkapkan bahwa banyak konsumen menunda pembelian karena masih bingung dengan rincian opsen pajak ini.
“Mereka bilang mau tunggu sampai tahun depan, lihat dulu harganya gimana,” ujarnya. Menariknya, meski opsen pajak memicu banyak protes, kenaikan PPN menjadi 12% tampaknya masih lebih bisa diterima.
Opsen pajak sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Besarannya ditetapkan mencapai 66% dari pajak terutang, yang membuat konsumen harus membayar total tujuh komponen pajak untuk kendaraan baru.
Selain PKB dan BBNKB, ada pula opsen dari masing-masing pajak tersebut, ditambah dengan SWDKLLJ, biaya administrasi STNK, dan biaya admin TNKB. Kompleksitas ini membuat pembelian kendaraan baru terasa semakin berat di kantong.
Bukan hanya konsumen yang merasakan tekanan. Industri otomotif juga menghadapi tantangan besar.
Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perindustrian, menyebut bahwa kebijakan opsen pajak dapat menghambat pertumbuhan industri ini. “Yang paling sulit adalah pajak yang diatur oleh Pemda, yaitu opsen. Kebijakan ini membuat sektor otomotif menghadapi tekanan besar,” tegasnya.
Ia bahkan memprediksi bahwa pendapatan daerah bisa tergerus karena masyarakat enggan membeli kendaraan baru. “Ketika daya beli turun, pemerintah daerah justru kehilangan pemasukan dari pajak kendaraan. Ini perlu dievaluasi segera,” tambahnya.
Efek domino kebijakan ini juga mulai terasa di strategi bisnis dealer. Para penjual harus putar otak mencari cara agar konsumen tetap tertarik membeli kendaraan, meski biaya tambahan semakin menumpuk.
Risma mengaku sudah kehilangan banyak calon konsumen gara-gara opsen pajak. “Orang jadi mikir dua kali buat beli motor. Kalau sudah begini, kami di sales juga kena dampaknya,” keluhnya.
Namun, ada juga yang tetap memilih membeli meski berat hati. Nana menceritakan bahwa sebagian konsumen akhirnya menerima kondisi ini, meski dengan banyak pertimbangan. “Mereka cuma iya-iya saja, tapi jelas kelihatan kalau mereka keberatan. Ini situasi yang sulit buat semua pihak,” ungkapnya.
Di tengah sorotan tajam terhadap kebijakan ini, Menteri Agus berharap pemerintah pusat dan daerah bisa bekerja sama untuk mencari solusi.
Ia menekankan pentingnya pendekatan regulasi yang tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga mendukung keberlanjutan industri otomotif.
“Perubahan regulasi atau evaluasi kebijakan harus dilakukan segera untuk memastikan sektor otomotif tetap tumbuh dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian,” tutupnya.
Bagi konsumen seperti Anda, keputusan membeli kendaraan baru di tahun 2025 bukan lagi sekadar soal kebutuhan, tetapi juga strategi keuangan.
Dengan semakin banyaknya biaya tambahan yang harus dipertimbangkan, tidak heran jika kebijakan opsen pajak ini menjadi topik yang terus hangat diperbincangkan.