Connect with us

Ruang Sujud

Hubbu Dunya: Akar Segala Kesalahan dalam Pandangan Islam

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam Islam, cinta dunia atau hubbu dunya sering kali disebut sebagai sumber dari berbagai penyakit hati yang berujung pada kerusakan moral dan spiritual. Rasulullah SAW bersabda, “Hubbu dunya ra’su kulli khati’ah”—”Cinta dunia adalah pangkal dari segala kesalahan.” Hadis ini menjadi peringatan bahwa ketika manusia terlalu mencintai dunia, ia akan terdorong untuk melupakan tujuan akhir kehidupannya: akhirat.

Cinta dunia yang dimaksud bukanlah sekadar menyukai hal-hal duniawi seperti harta, jabatan, atau popularitas, melainkan keterikatan hati yang berlebihan hingga mengorbankan nilai-nilai agama. Ketika hati sudah terpaut kuat pada dunia, seseorang bisa dengan mudah menjustifikasi keburukan demi meraih kepuasan duniawi. Inilah yang menjadikan hubbu dunya sebagai sumber dari berbagai maksiat.

Islam tidak melarang umatnya untuk menikmati kehidupan dunia, selama hal itu dilakukan dalam batas yang wajar dan tidak melupakan kewajiban terhadap Allah. Justru, dunia bisa menjadi ladang pahala bila dijalani dengan niat yang benar dan cara yang halal. Namun, jika dunia menjadi tujuan utama hidup, maka kekacauan akan terjadi: ketamakan, iri hati, kezaliman, bahkan kekufuran bisa menjadi konsekuensinya.

Oleh karena itu, para ulama menekankan pentingnya membersihkan hati dari kecintaan berlebihan terhadap dunia. Ini bisa dimulai dengan memperkuat iman, memperbanyak zikir, bersedekah, dan merenungkan kefanaan dunia. Ketika seseorang menyadari bahwa dunia hanyalah tempat singgah sementara, maka ia akan lebih fokus mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal.

Melepaskan hubbu dunya bukan berarti meninggalkan dunia, melainkan mengendalikannya agar tidak menguasai hati. Dunia ada di tangan, bukan di hati. Dengan begitu, seseorang bisa hidup tenang, bersih dari keserakahan, dan selalu terhubung dengan tujuan hidup yang sejati: mencari ridha Allah.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Melepas Cinta Dunia: Jalan Menuju Hati yang Tenang

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Banyak orang mencari ketenangan hati melalui harta, jabatan, atau pengakuan sosial, tapi justru semakin dikejar, dunia makin menjauhkan mereka dari kedamaian yang sesungguhnya. Dalam Islam, ketenangan hati justru lahir saat seseorang mampu melepas keterikatan terhadap dunia—itulah esensi dari melepaskan hubbu dunya.

Cinta dunia yang berlebihan adalah penyebab utama kegelisahan. Semakin kuat seseorang melekat pada kenikmatan duniawi, semakin takut pula ia kehilangannya. Rasa cemas, iri, dan gelisah akan terus menghantui hati yang terikat pada sesuatu yang fana dan tak pasti. Sebaliknya, hati yang berserah kepada Allah dan tidak bergantung pada dunia akan lebih tenang dan stabil.

Melepas cinta dunia bukan berarti menjadi pasif atau meninggalkan kehidupan. Justru, Islam mengajarkan agar umatnya aktif berkarya dan berkontribusi, namun tanpa menjadikan dunia sebagai pusat hidup. Dunia adalah sarana, bukan tujuan. Ketika niat diluruskan untuk mencari ridha Allah, bahkan bekerja dan membangun kehidupan dunia bisa bernilai ibadah.

Langkah pertama untuk melepaskan cinta dunia adalah menyadari hakikat dunia itu sendiri: sementara, terbatas, dan penuh ujian. Al-Qur’an berulang kali menggambarkan dunia sebagai permainan dan senda gurau, dibandingkan dengan akhirat yang kekal. Menyadari hal ini akan membuat kita lebih bijak dalam menempatkan prioritas hidup.

Hati yang tenang lahir dari ketawakkalan—yaitu percaya penuh pada kehendak Allah, setelah berusaha maksimal. Ia tidak panik kehilangan harta, tidak iri terhadap orang lain, dan tidak gila pujian. Ia cukup, karena tahu bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan saat hati dekat dengan Allah, bukan ketika dompet tebal atau jabatan tinggi.

Dengan melepas hubbu dunya, kita membuka ruang bagi ketenangan, syukur, dan cinta yang lebih tinggi: cinta kepada Allah. Dan hanya dengan cinta itu, hati manusia bisa benar-benar damai.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ketika Dunia Mengikat: Bahaya Hubbu Dunya di Era Modern

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Di era modern yang serba cepat dan penuh distraksi, kecintaan terhadap dunia (hubbu dunya) semakin kuat mencengkeram hati manusia. Media sosial, budaya konsumtif, dan standar kesuksesan materialistik membuat banyak orang terjebak dalam perlombaan tanpa akhir: siapa paling kaya, paling terkenal, paling sukses.

Bahaya hubbu dunya kini tidak hanya menyentuh para penguasa atau hartawan, tapi juga masyarakat umum, bahkan anak muda. Dunia modern menyajikan dunia dalam genggaman tangan, tapi sekaligus mengikat hati dengan tali yang tak terlihat. Seseorang bisa merasa gagal hanya karena tidak sepopuler orang lain di media sosial, atau merasa tak berharga karena belum memiliki rumah, mobil, atau gaya hidup yang dipamerkan banyak orang.

Islam memandang dunia sebagai ladang amal, bukan tujuan utama. Ketika dunia menjadi pusat hidup, seseorang bisa kehilangan arah. Ia akan rela melakukan apa saja demi status sosial: berbohong, menipu, bahkan mengorbankan nilai agama. Inilah yang dikhawatirkan Nabi Muhammad SAW—bahwa umatnya akan hancur bukan karena musuh dari luar, tapi karena cinta dunia dan takut mati.

Dalam realitas hari ini, hubbu dunya bisa menjelma dalam bentuk ketergantungan pada validasi eksternal, kerja berlebihan demi ambisi pribadi, atau bahkan kecanduan belanja dan gaya hidup mewah. Semua ini terlihat modern, tapi secara batin membuat manusia lelah dan kosong.

Solusinya adalah kesadaran spiritual. Kembali menata niat hidup, memperbanyak dzikir, mendalami Al-Qur’an, dan mempraktikkan gaya hidup sederhana bisa menjadi tameng terhadap godaan dunia. Bergaul dengan orang-orang saleh dan membatasi konsumsi media sosial juga penting untuk menjaga hati dari racun duniawi.

Mengikat dunia di tangan, bukan di hati—itulah kunci hidup sehat di era modern. Dunia memang tak bisa dihindari, tapi jangan biarkan ia menjadi penjara bagi jiwa. Sebab, hanya dengan hati yang bebas dari cinta dunia, manusia bisa berjalan ringan menuju akhirat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Antara Dunia dan Akhirat: Menakar Kecintaan yang Seimbang

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Islam tidak pernah melarang umatnya untuk mencintai dunia, selama cinta itu tidak berlebihan dan tetap menempatkan akhirat sebagai tujuan utama. Justru, dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah memuji hamba-Nya yang mampu menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. Kuncinya adalah menakar kecintaan, agar dunia tidak menjadi penghalang menuju surga.

Dalam QS. Al-Qashash ayat 77, Allah berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia.” Ayat ini adalah pedoman sempurna: kita diajak untuk berorientasi akhirat, namun tidak melupakan peran dan tanggung jawab di dunia.

Keseimbangan ini sangat penting, karena cinta dunia bisa jadi motivasi positif jika diarahkan dengan benar. Misalnya, bekerja keras untuk memberi nafkah keluarga, membangun usaha untuk menciptakan lapangan kerja, atau menuntut ilmu demi membawa manfaat bagi umat. Semua aktivitas duniawi bisa menjadi jalan menuju pahala, asal diniatkan karena Allah.

Namun, jika cinta dunia sudah menggeser nilai akhirat, maka ia menjadi jebakan. Orang bisa menunda salat karena urusan bisnis, enggan bersedekah karena takut miskin, atau lebih memikirkan investasi dunia ketimbang investasi amal. Di sinilah letak bahayanya: dunia yang tadinya alat, berubah menjadi tujuan hidup.

Menakar kecintaan artinya menjaga agar hati tetap ingat bahwa dunia ini sementara. Harta bisa hilang, jabatan bisa tergeser, dan hidup bisa berakhir kapan saja. Sementara akhirat adalah tempat kembali yang pasti. Maka, bijaklah menempatkan cinta: berikan dunia secukupnya, dan berikan akhirat sepenuhnya.

Dengan kecintaan yang seimbang, seseorang bisa hidup dengan tenang. Ia tidak akan terlalu kecewa saat kehilangan dunia, dan tidak akan terlalu tergila-gila saat mendapatkannya. Ia sadar bahwa yang abadi bukanlah apa yang terlihat oleh mata, tapi apa yang ditanamkan di dalam hati.

Continue Reading

Ruang Sujud

Memahami Empat Mazhab: Sejarah, Tokoh, dan Perbedaan Pendekatan Fikih

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam dunia Islam, kita sering dengar istilah “mazhab”, apalagi kalau lagi bahas soal fikih—hukum-hukum dalam Islam yang ngatur urusan ibadah sampai kehidupan sehari-hari. Tapi sebenernya, mazhab itu apa sih?

Mazhab itu kayak sekolah pemikiran.
Setiap mazhab punya cara sendiri dalam memahami Al-Qur’an dan hadis. Bukan berarti saling bertentangan, tapi lebih ke perbedaan sudut pandang. Nah, dalam Islam Sunni sendiri, ada empat mazhab utama yang dikenal luas: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

1. Mazhab Hanafi – Fleksibel dan Logis
Didirikan oleh Imam Abu Hanifah (wafat 767 M), ini mazhab yang paling luas penyebarannya, khususnya di Asia Tengah, India, Turki, dan sebagian Indonesia. Imam Hanafi dikenal pakai logika dan rasio dalam menetapkan hukum, jadi nggak kaku. Kalau nggak nemu dalil langsung di Qur’an atau hadis, beliau pake qiyas (analogi) atau istihsan (pilihan terbaik dalam konteks tertentu).

2. Mazhab Maliki – Pegang Kuat Tradisi Madinah
Ini mazhabnya Imam Malik bin Anas (wafat 795 M). Fokus beliau adalah pada praktik penduduk Madinah, karena menurut beliau, orang-orang di sana paling dekat sama zaman Nabi. Jadi, kalau ada hadis dan praktik penduduk Madinah berbeda, mazhab Maliki cenderung milih praktik penduduk Madinah.

3. Mazhab Syafi’i – Dalilnya Sistematis
Dikenal banget di Indonesia, ini mazhab yang dirintis Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (wafat 820 M). Beliau yang pertama kali nyusun metode ushul fikih secara sistematis. Dalam menentukan hukum, urutannya jelas: Al-Qur’an, hadis, ijma’, lalu qiyas. Makanya, mazhab ini dianggap ilmiah dan tertata rapi.

4. Mazhab Hanbali – Paling Ketat Pegang Hadis
Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 855 M), mazhab ini sangat mengedepankan hadis. Kalau ada hadis, meski derajatnya lemah sekalipun, lebih dipilih ketimbang logika atau pendapat pribadi. Makanya, Hanbali dikenal konservatif, dan sekarang banyak dianut di wilayah Arab Saudi.

Beda Tapi Nggak Bikin Pecah
Yang penting dicatat, perbedaan ini bukan buat dibentur-benturin, bro. Semua mazhab itu berasal dari semangat yang sama: pengen deket sama ajaran Nabi. Perbedaan pendekatan itu wajar, karena zaman, tempat, dan konteks sosial tiap ulama juga beda.

Kesimpulannya?
Mau ikut mazhab mana, semua sah-sah aja. Yang penting kita belajar, paham, dan nggak gampang nge-judge orang lain. Islam itu luas, dan para ulama udah kasih jalan untuk kita memahami agama ini dengan beragam cara, tapi tetap dalam satu tujuan: mencari ridha Allah.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mengapa Umat Islam Berbeda Mazhab? Menelusuri Akar Perbedaan dalam Islam

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Pernah nggak sih lu bingung, kenapa temen lu yang sama-sama Muslim bisa beda cara sholatnya? Ada yang kalau ruku’ tangannya ke samping, ada juga yang di paha. Ada yang bilang qunut subuh itu wajib, ada juga yang nggak pernah pake. Nah, itu semua gara-gara beda mazhab, bro.

Perbedaan Itu Warisan Ilmu, Bukan Sumber Pecah Belah
Yang perlu kita sadari dari awal: perbedaan mazhab itu bukan karena para ulama pengen bikin Islam jadi ribet. Justru karena mereka serius banget dalam memahami Qur’an dan hadis. Tapi karena sumber-sumber itu kadang bisa ditafsirkan beda, jadilah muncul perbedaan pendapat.

Satu Dalil, Banyak Makna
Contoh simpel gini deh: Nabi pernah sholat sambil ngangkat tangan, tapi kadang juga nggak. Nah, ulama yang lihat hadis itu bisa beda-beda kesimpulannya. Ada yang bilang “berarti angkat tangan itu sunnah”, ada juga yang bilang “itu hanya di waktu tertentu”. Akhirnya, jadilah beda praktik, padahal sama-sama berdasarkan hadis.

Faktor Bahasa, Budaya, dan Logika
Ulama-ulama besar zaman dulu hidup di tempat yang beda-beda. Imam Malik hidup di Madinah, Imam Abu Hanifah di Kufah, Imam Syafi’i sempat belajar ke banyak tempat, dan Imam Ahmad di Baghdad. Kondisi sosial, budaya, bahkan dialek bahasa Arab di masing-masing tempat itu berpengaruh juga ke cara mereka memahami dalil.

Ilmu Itu Berkembang, Bro
Islam bukan agama kaku yang cuma hitam-putih. Justru dengan perbedaan mazhab, kita bisa lihat bahwa Islam memberi ruang untuk berpikir, berdiskusi, dan mencari solusi. Dan hebatnya lagi, para ulama dulu meskipun berbeda, tetap saling menghargai. Nggak ada tuh yang bilang “Mazhab gue paling benar, yang lain sesat.”

Jadi, Gimana Sikap Kita?
Lu mau ikut mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, atau Hanbali—semua itu sah. Tapi jangan sampai kita malah jadi ngejek atau nyalahin orang lain yang beda. Karena hakikatnya, perbedaan itu bagian dari rahmat. Kata ulama, “perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat”.

Akhir Kata
Jangan terlalu fokus sama beda mazhab sampai lupa inti ajaran Islam: sholat yang khusyuk, hati yang bersih, dan hidup yang lurus. Kalau paham ini, lu nggak akan heran lagi kenapa umat Islam bisa beda mazhab. Yang penting, tetap satu iman, satu tujuan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mazhab dalam Islam: Antara Keragaman Pemahaman dan Persatuan Umat

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Kalau kita ngelihat dunia Islam secara global, kita bakal nemuin beragam cara beribadah dan beragama. Tapi jangan buru-buru bilang, “Wah, Islam nggak kompak nih.” Justru, keragaman itu adalah bukti luas dan dalamnya pemahaman Islam, bro.

Mazhab Itu Bukan Sekte, Tapi Jalur Ilmu
Banyak orang salah sangka, ngira mazhab itu kayak kelompok-kelompok yang saling bersaing. Padahal enggak begitu. Mazhab itu jalur pemikiran ilmiah yang dibangun berdasarkan Qur’an, hadis, dan metode ijtihad. Semacam “mazhab pemahaman”, bukan “mazhab perpecahan”.

Satu Ajaran, Banyak Pendekatan
Kita ibaratin gini: misalnya semua Muslim sepakat sholat itu wajib. Tapi ketika masuk ke detailnya—cara wudhu, posisi tangan, bacaan qunut—di situ muncul variasi. Dan itu wajar. Sama kayak orang naik gunung lewat jalur yang beda, tapi tujuannya tetap ke puncak yang sama.

Keragaman Itu Bukan Masalah, Kalau Paham Akar Ilmunya
Masalah baru muncul ketika orang cuma ikut-ikutan tanpa paham dasar mazhabnya. Jadinya gampang nge-judge orang lain, padahal belum tentu dia ngerti kenapa dia ibadahnya begitu. Padahal, kalau kita pelajari, semua mazhab itu punya dasar yang kuat dan saling menghormati.

Dulu Ulama Beda Pendapat Tapi Tetap Dekat
Imam Syafi’i itu muridnya Imam Malik, tapi juga punya pendapat berbeda dari gurunya. Imam Abu Hanifah bersahabat dengan banyak ulama, walaupun beda pandangan fikih. Mereka diskusi, debat, tapi tetap saling respek. Gaya debatnya ilmiah, bukan saling ejek di media sosial kayak zaman sekarang.

Mau Berbeda Tapi Tetap Bersatu? Bisa Banget
Kuncinya ada di adab dan ilmu. Kalau kita punya ilmu, kita tahu mana yang pokok dan mana yang cabang. Kalau punya adab, kita nggak gampang ngecap orang lain salah. Dari situ lahir persatuan yang sehat, bukan persatuan yang maksa semua orang harus seragam.

Kesimpulannya?
Islam itu kaya dan fleksibel. Mazhab-mazhab dalam Islam adalah bukti bahwa agama ini menghargai konteks, akal sehat, dan keragaman. Yang penting kita tetap bersatu dalam akidah, dan saling menghargai dalam perbedaan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mazhab dan Kehidupan Muslim Modern: Masih Relevankah Hari Ini?

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Zaman sekarang udah serba digital, serba cepat, bahkan urusan agama pun bisa tinggal ketik di Google. Nah, muncul pertanyaan penting: masih relevan nggak sih mazhab-mazhab Islam itu buat kita yang hidup di era modern ini?

Jangan Salah, Mazhab Justru Bikin Hidup Lebih Terarah
Banyak orang ngerasa mazhab itu ribet, penuh aturan detail, dan nggak cocok buat zaman sekarang. Padahal justru sebaliknya, bro. Mazhab itu kayak GPS syariah—bantu kita cari jalan yang benar di tengah belokan-belokan kehidupan modern yang makin ruwet.

Mazhab Itu Warisan Ilmu, Bukan Penjara Pemikiran
Punya mazhab bukan berarti kita jadi kaku dan nggak bisa mikir sendiri. Justru dengan mazhab, kita punya dasar kuat dalam beragama. Kayak lu belajar fisika dari Newton dulu sebelum bisa ngerti Einstein. Sama halnya, sebelum berijtihad bebas, kita belajar dulu dari para ulama besar.

Realitas Modern Butuh Fondasi Kuat
Hari ini kita dihadapkan sama isu-isu baru: fintech syariah, AI dalam hukum, gaya hidup digital, sampai etika medsos. Nah, tanpa pemahaman fikih yang mapan, kita bisa gampang kepleset. Di sinilah mazhab punya peran: jadi landasan berpikir, bukan sekadar hafalan hukum.

Mazhab dan Ijtihad Bisa Jalan Bareng
Ulama zaman dulu juga manusia modern di masanya, bro. Mereka menghadapi tantangan zaman dan menjawabnya dengan ijtihad. Jadi kita pun hari ini bisa berijtihad, tapi tetap ngikutin metode mereka. Bukan asal nyomot dalil lalu bikin hukum sendiri seenaknya.

Jangan Jadi Generasi “Copy-Paste Dalil”
Sekarang banyak yang ngambil potongan ayat atau hadis terus bilang, “Nih, buktinya!” Tapi nggak semua dalil bisa diambil mentah. Mazhab ngajarin kita cara menyaring, menyusun, dan menafsirkan dalil dengan adab dan ilmu. Jadi kita nggak gampang salah kaprah.

Akhir Kata: Mazhab Itu Masih, dan Akan Selalu Relevan
Selama manusia masih butuh petunjuk hidup, selama umat Islam masih pengen deket sama ajaran Nabi, selama itu pula mazhab tetap relevan. Bukan karena kita nggak mau maju, tapi karena kita nggak mau kehilangan akar.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ma’unah dalam Islam: Bukti Pertolongan Allah di Luar Nalar

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam kehidupan ini, sering kali kita mendengar kisah-kisah luar biasa yang seolah tidak bisa dijelaskan oleh logika manusia. Misalnya, seseorang yang seharusnya mengalami kecelakaan fatal, namun tiba-tiba selamat tanpa luka sedikit pun. Atau orang yang dalam kondisi kepepet tiba-tiba mendapat pertolongan yang datang entah dari mana. Dalam Islam, fenomena seperti ini dikenal dengan istilah ma’unah—sebuah bentuk pertolongan Allah SWT kepada hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.

Apa Itu Ma’unah?

Secara bahasa, ma’unah berasal dari kata ‘aana–yu’iinu–ma’unatan yang berarti bantuan atau pertolongan. Dalam istilah syariat, ma’unah adalah bantuan Allah yang diberikan kepada seseorang secara luar biasa, tetapi tidak sampai ke tingkat mukjizat atau karomah. Ma’unah bisa terjadi pada orang biasa yang shalih, dan bukan merupakan sesuatu yang bisa diminta atau dilatih.

Ma’unah berbeda dari mukjizat yang hanya diberikan kepada para nabi, dan juga berbeda dari karomah yang diberikan kepada para wali. Jika mukjizat bertujuan untuk membuktikan kenabian dan karomah sebagai bentuk kemuliaan para wali, maka ma’unah hadir sebagai bentuk rahmat Allah kepada orang-orang beriman dalam situasi tertentu.

Ciri-Ciri Ma’unah

Ma’unah memiliki beberapa ciri khas:

1. Terjadi secara spontan tanpa perencanaan.

2. Tidak bertentangan dengan syariat.

3. Menjadi sarana pertolongan dalam situasi genting.

4. Tidak digunakan untuk pamer atau mencari pengakuan.

Contoh sederhananya, seseorang yang terhindar dari marabahaya secara ajaib, seperti selamat dari runtuhan bangunan tanpa sebab logis. Bisa juga berupa kecerdasan luar biasa yang muncul tiba-tiba saat dibutuhkan, seperti kemampuan menjawab persoalan rumit padahal tidak pernah mempelajarinya sebelumnya.

Kisah Ma’unah dalam Sejarah Islam

Sejarah Islam menyimpan banyak kisah tentang ma’unah. Salah satu contoh terkenal adalah dalam Perang Badar, ketika kaum Muslimin yang jumlahnya hanya 313 orang mampu mengalahkan pasukan Quraisy yang jumlahnya lebih dari 1.000. Dalam Al-Qur’an, Allah menurunkan malaikat-malaikat untuk membantu kaum Muslim (QS Al-Anfal: 9–10). Meskipun malaikat turun sebagai bentuk mukjizat bagi Nabi Muhammad ﷺ, namun bagi para sahabat yang ikut berperang, kejadian itu juga merupakan bentuk ma’unah.

Dalam kehidupan modern pun, banyak cerita serupa. Misalnya, kisah para pejuang kemerdekaan Indonesia yang selamat dari serangan Belanda padahal tidak mengenakan pelindung, atau kisah santri yang lolos dari bahaya banjir secara ajaib. Masyarakat kita mengenal istilah “keajaiban” yang sejatinya adalah bentuk dari ma’unah ini.

Ma’unah dalam Kehidupan Kita

Ma’unah bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja, selama ia memenuhi syarat-syarat keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Artinya, ma’unah tidak eksklusif hanya untuk orang yang dianggap wali atau tokoh besar. Kita semua, jika menjaga iman dan amal saleh, bisa mengalami ma’unah dalam bentuknya masing-masing.

Namun, penting untuk diingat bahwa ma’unah bukan tujuan yang dikejar. Kita tidak boleh beribadah agar mendapatkan ma’unah. Ia adalah efek samping dari keikhlasan, ketulusan, dan keyakinan total kepada pertolongan Allah. Dalam QS At-Talaq ayat 2–3, Allah berjanji:

> “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”

Janji Allah ini adalah bentuk ma’unah yang nyata: jalan keluar yang datang dari arah yang tak disangka.

Penutup: Menjaga Iman, Menjemput Ma’unah

Ma’unah adalah tanda bahwa pertolongan Allah selalu dekat, bahkan ketika manusia merasa semuanya sudah tertutup. Di balik batas logika dan kemampuan, ada tangan Allah yang selalu siap membantu hamba-Nya yang berserah diri. Kita hanya perlu terus berikhtiar, menjaga iman, dan yakin bahwa keajaiban bisa datang kapan saja. Karena sejatinya, setiap langkah dalam hidup ini tidak pernah lepas dari kasih sayang dan pertolongan-Nya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Kisah Nyata Ma’unah: Ketika Mukjizat Terjadi pada Orang Biasa

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kisah-kisah luar biasa yang dialami oleh orang-orang biasa—bukan nabi, bukan wali—namun tetap saja kisah itu membuat bulu kuduk berdiri. Cerita-cerita ini biasanya datang dari peristiwa genting: peperangan, bencana, atau situasi hidup dan mati. Dalam Islam, peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi pada orang saleh biasa ini disebut ma’unah, yaitu pertolongan Allah yang datang secara tiba-tiba dan di luar logika manusia.

Ma’unah: Keajaiban Bagi Orang yang Bertakwa

Ma’unah bukan sesuatu yang bisa dicari dengan latihan atau ritual tertentu. Ia datang atas kehendak Allah, sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba yang beriman. Seseorang bisa mengalami ma’unah ketika ia tulus dalam doa, pasrah dalam kesulitan, dan ikhlas dalam amal. Hal-hal luar biasa yang menyelamatkannya bukan sihir, bukan sulap, tapi semata-mata pertolongan dari Allah.

Seorang ulama besar, Imam Asy-Syahrastani, menyebutkan bahwa ma’unah adalah “pertolongan Allah yang tidak tetap (tidak terus-menerus), diberikan saat seseorang dalam keadaan terdesak dan sangat membutuhkan.”

Kisah Ma’unah dari Masa Pejuang Indonesia

Salah satu kisah yang paling banyak diceritakan oleh generasi terdahulu adalah pengalaman para pejuang kemerdekaan Indonesia yang selamat dari gempuran peluru tentara kolonial. Dalam buku-buku sejarah lisan maupun cerita para kiai pesantren, sering disebutkan bahwa banyak pejuang yang hanya bersenjatakan bambu runcing namun tidak terluka sedikit pun meski dikepung tentara bersenjata lengkap.

Bahkan dalam beberapa cerita, pejuang itu seperti menghilang dari pandangan musuh, atau peluru yang ditembakkan ke arahnya tak pernah menyentuh tubuhnya. Kisah-kisah ini hidup hingga kini, dan sering dikaitkan dengan amalan seperti shalat tahajud, wirid, atau doa-doa tertentu yang dijaga dengan disiplin. Apakah itu karomah? Tidak. Karena mereka bukan wali yang dikenal, maka lebih tepat disebut ma’unah—pertolongan Allah untuk orang-orang yang membela kebenaran.

Ma’unah di Masa Kini: Dari Santri Hingga Tukang Ojek

Ma’unah bukan cerita masa lalu. Ia masih terjadi hingga hari ini, bahkan mungkin di sekitar kita. Misalnya, ada kisah seorang santri yang hanyut terbawa banjir, lalu ditemukan selamat sehari kemudian duduk di atas pohon besar. Saat ditanya bagaimana bisa sampai di sana, ia sendiri tidak tahu. Yang ia tahu, ia membaca doa-doa saat tenggelam, dan tiba-tiba sudah berada di tempat aman.

Atau kisah seorang tukang ojek yang hampir tertabrak truk, tapi saat orang-orang menyangka ia pasti meninggal, ternyata ia berdiri dengan tenang, sama sekali tidak terluka. Banyak

Continue Reading

Ruang Sujud

Menjadi Hamba yang Layak Mendapat Ma’unah: Langkah-Langkah Spiritual Harian

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Banyak orang menginginkan pertolongan Allah dalam hidupnya, terutama saat menghadapi situasi yang sulit atau bahkan di ambang keputusasaan. Tapi tidak semua orang tahu bahwa ma’unah, yaitu bantuan Allah yang luar biasa kepada hamba-Nya, bukan sekadar keberuntungan. Ma’unah adalah buah dari hubungan spiritual yang kuat antara seorang hamba dan Tuhannya. Maka, pertanyaannya: bagaimana agar kita menjadi hamba yang layak mendapat ma’unah?

1. Bangun Koneksi Pribadi dengan Allah

Langkah pertama adalah menjadikan Allah sebagai pusat hidup kita, bukan sekadar tempat mengadu saat susah. Caranya? Mulailah dari hal paling dasar: shalat tepat waktu. Jangan tunda, jangan cari alasan. Shalat adalah koneksi langsung yang tak tergantikan.

Tambahkan dengan shalat sunnah, seperti tahajud dan dhuha, karena itulah waktu-waktu istimewa saat Allah “mendekat” dan membuka pintu pertolongan-Nya.

> Rasulullah SAW bersabda:
“Tuhan kita turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam terakhir… lalu Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku kabulkan…” (HR. Bukhari)

2. Rutin Berdzikir dan Membaca Al-Qur’an

Dzikir bukan hanya pelipur lara, tapi juga perisai batin. Hati yang sering berdzikir akan lebih tenang, dan pikiran lebih jernih saat menghadapi krisis. Luangkan waktu setiap hari untuk membaca Al-Qur’an walaupun hanya beberapa ayat, lalu resapi maknanya.

Jika ingin pertolongan Allah hadir secara ajaib di saat kritis, maka jangan lupakan-Nya di waktu luang.

3. Perbanyak Amal Tulus dan Ikhlas

Ma’unah datang bukan karena amalan besar, tapi karena keikhlasan dalam amalan sederhana. Bahkan memberi makan seekor kucing, menolong tetangga, atau tersenyum kepada sesama bisa menjadi sebab Allah menurunkan pertolongan-Nya di waktu tak terduga.

Kisah seorang wanita pelacur yang diampuni dosanya hanya karena memberi minum seekor anjing adalah bukti bahwa tulus lebih penting daripada terkenal.

4. Jauhi Dosa-dosa Kecil dan Besar

Bagaimana Allah akan menolong jika kita terus-menerus bermaksiat? Maka penting bagi kita untuk selalu menjaga diri dari dosa—baik yang kasat mata seperti ghibah, maksiat mata, dan lisan, maupun dosa hati seperti dengki, sombong, dan riya.

Perbanyak istighfar dan evaluasi diri setiap hari. Karena kadang yang menghalangi ma’unah bukan kurangnya ibadah, tapi banyaknya dosa yang belum ditobati.

5. Latih Tawakal dan Sabar dalam Ujian

Kunci penting dari hadirnya ma’unah adalah sabar dan tawakal. Saat seseorang berada di titik nadir, namun tetap percaya pada Allah, di situlah biasanya pertolongan-Nya datang secara tiba-tiba. Ini bukan hal ajaib, tapi janji Allah sendiri dalam Al-Qur’an:

> “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Talaq: 2-3)

Penutup: Bukan Soal Hebat, Tapi Soal Dekat

Menjadi hamba yang layak mendapat ma’unah bukan soal menjadi tokoh besar, ustaz terkenal, atau ahli ibadah. Tapi soal menjadi pribadi yang dekat dengan Allah dalam diam, dalam sujud, dalam istighfar di sepertiga malam terakhir. Jika hubungan itu terjaga, maka ma’unah bukan lagi sesuatu yang mustahil, tapi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang penuh keberkahan.

Jadi, mulailah dari hari ini. Perkuat niat, luruskan hati, dan jadikan Allah satu-satunya tempat bergantung. Karena pertolongan-Nya itu nyata, cepat, dan selalu datang di waktu yang paling tepat.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



News5 minutes ago

Google dan YouTube Gandeng Kemendikdasmen Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua

Ruang Sujud1 hour ago

Hubbu Dunya: Akar Segala Kesalahan dalam Pandangan Islam

Ruang Sujud5 hours ago

Melepas Cinta Dunia: Jalan Menuju Hati yang Tenang

Ruang Sujud9 hours ago

Ketika Dunia Mengikat: Bahaya Hubbu Dunya di Era Modern

News11 hours ago

Ini Daftar 10 Menteri Prabowo dengan Kinerja Terbaik

Ruang Sujud13 hours ago

Antara Dunia dan Akhirat: Menakar Kecintaan yang Seimbang

News14 hours ago

Perang Pecah! India Resmi Serang Pakistan, 3 Tewas dan 12 Luka-luka

Sportechment14 hours ago

Inter Milan Ukir Sejarah Langka Usai Singkirkan Barcelona

News15 hours ago

Zarof Ricar Tersangka TPPU, Kejagung Langkah Progresif

Sportechment23 hours ago

Ducati Helat We Ride As One 2025 di Mandalika, Dongkrak Pariwisata NTB

Sportechment23 hours ago

Andre Rosiade Tuduh Ada Mafia Sepak Bola, Ketum PSSI Respon Begini

News23 hours ago

Didukung BRIN, Aplikasi Ustadzku Bakal Perbaharui Metode Dakwah Islam

Sportechment1 day ago

Rusia Tantang Timnas Indonesia, Kapan Jadwalnya?

Sportechment1 day ago

Marc Klok Spill Kunci Sukses Persib Juara Liga 1 2024/25

Ruang Sujud1 day ago

Memahami Empat Mazhab: Sejarah, Tokoh, dan Perbedaan Pendekatan Fikih

News1 day ago

Mekanisme Pembayaran MBG Dirubah, Simak Penjelasan Lengkap Kepala BGN

News1 day ago

Prabowo Duduk Bareng Try Sutrisno di Halalbihalal Purnawirawan TNI

News1 day ago

Pemerintah Cianjur Bakal Kirim Siswa LGBT ke Barak Militer

Ruang Sujud1 day ago

Mengapa Umat Islam Berbeda Mazhab? Menelusuri Akar Perbedaan dalam Islam

News1 day ago

PP. Persis Dukung Komdigi Berantas Judi Online