Monitorday.com – Koordinator Divisi Korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, memperhatikan adanya praktik mahar politik yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024.
Ia menyoroti praktik mahar politik yang tidak hanya sekedar tawar menawar untuk mendapatkan tiket pencalonan Pilkada, melainkan juga tawar menawar untuk menjegal pencalonan yang akan bersaing.
“Seseorang yang ingin maju sebagai kandidat dia memberikan sejumlah uang kepada partai politik misalnya untuk mendapatkan tiket. Tapi yang juga kami duga terjadi tidak hanya sebatas untuk mendapatkan tiket, tapi juga untuk menjegal” ujar Egi saat jumpa pers di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan, 13 Agustus 2024.
Praktik memberikan mahar politik untuk menjegal pencalonan seseorang pada Pilkada tersebut berpotensi membuat Pilkada hanya memiliki calon tunggal. Jika hanya ada calon tunggal, maka Pilkada yang tetap harus berlangsung membuat publik harus memilih antara calon tunggal atau kotak kosong.
Menurut Egi, fenomena calon tunggal dan pilkada melawan kotak kosong merupakah fenomena yang tidak sehat bagi demokrasi. “Karena demokrasi mengandalkan kompetisi, setara yang adil, tapi tanpa adanya calon saingan, maka maka itu tidak patut sebetulnya dilakukan” ujarnya.
Egi pun mempertanyakan peran partai politik, dalam hal ini sebagai kendaraan bagi calon kepala daerah, untuk dipilih oleh publik. “kenapa partai politik tidak bisa memberikan kandidat saingan yang patut yang berintegritas dan sebagainya, tapi justru malah membiarkan calon tunggal itu ada bagi publik” kata dia.
Alih-alih bersaing memberikan kandidat terbaik untuk berkompetisi dalam Pilkada, partai politik justru memanfaatkan potensi calon tunggal dan kotak kosong untuk mengamankan posisi politiknya. “Publik hanya disediakan satu opsi namun sekali lagi sayangnya itu malah dibajak oleh para elit yang punya berkepentingan” kata Egi
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, juga mengatakan pada fenomen ini partai politik tidak memiliki daya tawar kepada publik.
“Partai politik kita itu semacam gak punya gaya tawar antara satu dengan yang lainnya” ujarnya.