Monitorday.com – Indonesia kini berdiri di persimpangan yang tak bisa lagi dihindari: terlalu banyak kementerian, utang yang menggunung, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terus melonjak tanpa arah yang pasti. Ini bukan sekadar angka-angka dalam dokumen kenegaraan, tapi cerminan dari tantangan struktural yang membebani efektivitas pemerintahan. Ironisnya, kita memiliki 48 kementerian, jumlah yang bahkan melampaui China (21 kementerian) dan Amerika Serikat (15 kementerian)—dua negara raksasa yang secara ekonomi dan geopolitik jauh lebih dominan.
China dengan kekuatan globalnya, dan Amerika dengan peran hegemoniknya, tidak membutuhkan tumpukan birokrasi untuk mengatur bangsanya. Rusia, negara dengan luas wilayah terbesar di dunia, hanya memiliki 21 kementerian dan mampu menjaga efisiensi kebijakan fiskalnya dengan APBN sekitar Rp1.833,5 triliun. Bandingkan dengan Indonesia, yang dengan jumlah kementerian lebih dari dua kali lipat itu, justru menghadapi kesulitan dalam efisiensi dan efektivitas belanja negara.
Situasi ini bukan sekadar “terlalu banyak dapur” dalam satu rumah, tapi “terlalu banyak koki” yang sering kali memasak menu serupa, hanya dengan gaya dan biaya yang berbeda. Setiap kementerian membawa mandat yang kadang tumpang tindih, membuat publik bingung, dan lebih parahnya, menyulitkan lahirnya inovasi serta akselerasi pembangunan nasional.
Namun, dari kondisi yang seolah-olah suram ini, muncullah semangat baru. Figur Presiden Prabowo Subianto dipandang sebagai harapan bagi penyederhanaan dan konsolidasi kekuasaan eksekutif. Sosoknya yang dikenal tegas dan berani mengambil keputusan, kini diproyeksikan sebagai pemimpin transformasional. Lebih jauh lagi, munculnya nama Dedi Mulyadi sebagai sosok yang disebut-sebut layak mendampingi Prabowo dalam membentuk “duet perubahan” memperkuat harapan rakyat.
Mengapa Prabowo-Dedi? Karena duet ini dinilai memiliki kombinasi antara visi makro dan kepekaan mikro. Prabowo membawa kekuatan nasionalisme strategis dan orientasi geopolitik global, sementara Dedi Mulyadi menghadirkan pendekatan kultural dan akar sosial yang kuat. Inilah pasangan yang tidak hanya piawai berpidato, tapi juga siap turun tangan ke lapangan, mengurai kekusutan birokrasi, dan mengeksekusi kebijakan dengan cepat.
Dengan APBN Indonesia 2024 sebesar Rp3.325,1 triliun dan defisit anggaran menyentuh Rp522,8 triliun, tidak ada waktu lagi untuk bermain-main dalam birokrasi yang rumit. Pemerintah mendatang harus mampu menyederhanakan struktur kementerian, mendorong efisiensi fiskal, dan memaksimalkan dampak dari setiap rupiah yang dibelanjakan negara. Overload administratif yang kini terjadi bukan hanya membuang sumber daya, tetapi juga memperlambat laju pembangunan nasional.
Apa yang dibutuhkan Indonesia? Kecepatan dan ketegasan. Seperti pelari marathon yang harus tetap cepat di kilometer terakhir, Indonesia tidak bisa lagi kehilangan momentum. Persaingan global makin ketat, dan waktu adalah musuh yang nyata. Maka, wacana percepatan Pilpres ke tahun 2026 bukanlah sekadar isu politis, melainkan strategi percepatan transisi kekuasaan untuk memastikan kesinambungan visi pembangunan.
Pertanyaannya, bisakah Indonesia menyalip Rusia, China, atau bahkan Amerika? Jawabannya: bisa—asal kita punya keberanian untuk merombak sistem dari dalam. Penyederhanaan kementerian, konsolidasi anggaran, penghapusan tumpang tindih fungsi, hingga reformasi birokrasi digital, harus menjadi agenda utama. Tidak cukup hanya mengganti orang, tapi harus mengganti cara berpikir dan bekerja dalam pemerintahan.
Dan untuk itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya mengerti struktur, tapi juga berani menyederhanakannya. Dalam konteks ini, Prabowo dan Dedi Mulyadi adalah simbol dari “Arah Baru Indonesia.” Mereka berpotensi menjadi pasangan transformasi yang mampu menciptakan mesin pemerintahan yang ramping, cepat, dan tangguh.
Jika langkah ini berhasil, Indonesia bukan lagi sekadar negara dengan banyak kementerian, tetapi negara dengan pemerintahan efektif yang mampu bersaing secara global. Seiring waktu, dunia bisa saja terkejut melihat bagaimana Indonesia—yang dulu lamban dan birokratis—berubah menjadi kekuatan ekonomi baru yang disegani.
Singkatnya, jumlah kementerian bukan kebanggaan, efisiensi dan hasil nyatanya-lah yang akan mencatatkan Indonesia dalam sejarah sebagai bangsa besar. Dan momentum itu ada di depan mata. Tinggal bagaimana kita, sebagai bangsa, menyambutnya.