Monitorday.com – Pemerintah Indonesia melalui Dewan Energi Nasional (DEN) telah menyelesaikan draft penyusunan Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO) sebagai tim percepatan persiapan dan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia.
NEPIO merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi Indonesia untuk bisa melakukan komersialisasi nuklir sesuai rekomendasi International Energy Agency (IEA). Selain itu, Indonesia juga harus memiliki dukungan stakeholder dan kebijakan pemerintah yang jelas terkait nuklir.
“Rekomendasi IEA, untuk komersialisasi nuklir kita harus memenuhi 19 persyaratan, 16 (persyaratan) kita sudah (penuhi), 3 lagi salah satunya NEPIO, kemudian dukungan stakeholder dan satu lagi kebijakan pemerintah,” kata Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto dalam konferensi pers capaian sektor ESDM 2023 dan Program Kerja 2024 di Jakarta, Rabu (17/1/2024).
Djoko menjelaskan, NEPIO akan bertanggung jawab kepada Presiden RI dalam rangka persiapan dan pelaksanaan pembangunan PLTN untuk mendukung tercapainya target transisi energi dan emisi tahun 2060. Organisasi tersebut akan diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri ESDM Arifin Tasrif sebagai Ketua Harian.
NEPIO beranggotakan Ketua Dewan Pengarah BRIN, menteri/kepala lembaga terkait, Anggota DEN serta Ketua Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir (MPTN).^[fm]^
Djoko menambahkan, pada akhir Januari mendatang akan ada pembahasan mengenai proposal pembangunan PLTN dalam bentuk focus group discussion (FGD). “Mudah-mudahan di dalam proposal itu ada roadmap (peta jalan),” ujarnya.
Menurut Djoko, sebenarnya Indonesia telah memiliki roadmap pembangunan PLTN dari PT Thorcon Power Indonesia. Dalam roadmap tersebut, pada 2032 Indonesia akan memiliki PLTN berkapasitas 500 MW di Pulau Gelasa, Kepulauan Bangka Belitung.
Dalam roadmap tersebut, Thorncon telah menyelesaikan studi tapak, studi penerimaan masyarakat setempat pun telah rampung dengan kolaborasi UNS, begitu pula studi kelaikan dengan sejumlah pihak.
“Kami lihat Thorcon yang paling produktif karena tidak dari APBN, dia biayai sendiri, Rp17 triliun. Realisasinya dia sudah menyumbangkan Rp10 miliar untuk lab dengan ITB,” katanya.
Selain Thorcon, Djoko menyebutkan sejumlah negara mulai dari Rusia, Amerika Serikat (AS) hingga Prancis pernah menawarkan proyek pengembangan nuklir. Namun, prosesnya masih dalam tahap peningkatan kapasitas dan sebatas studi-studi walaupun telah mencapai jutaan dolar AS.