Monitorday.com – Sejak fajar menyingsing, langit Gaza dipenuhi raungan pesawat tempur Israel yang menebarkan kehancuran. Puluhan nyawa melayang, ratusan lainnya luka-luka. Di tengah puing-puing dan jeritan pilu, satu hal semakin jelas: pengkhianatan Israel terhadap Palestina bukanlah hal baru, melainkan skenario yang terus terulang.
Janji demi janji Israel untuk menghormati perjanjian damai selalu berujung pada pengkhianatan. Mereka berbicara tentang gencatan senjata, tetapi yang terjadi adalah bom yang meluluhlantakkan rumah-rumah warga sipil. Mereka menyebut perundingan sebagai jalan keluar, tetapi dalam diam, mereka terus merampas tanah dan memperluas pemukiman ilegal.
Lihatlah tragedi terbaru ini. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan lebih dari 1.000 nyawa melayang dalam dua minggu terakhir akibat agresi Israel. Hanya dalam satu malam, serangan udara menghancurkan tiga rumah di Khan Yunis, membantai 10 warga Palestina dan melukai puluhan lainnya. Tiga anak kecil tewas dalam serangan di Jalan Jaffa, sementara dua lainnya meregang nyawa di Khan Yunis. Apakah ini yang dimaksud Israel sebagai “pertahanan diri”?
Israel kerap memainkan peran sebagai korban di panggung dunia, tetapi tindakannya justru mencerminkan watak agresor sejati. Setiap kali dunia mengutuk serangan brutalnya, mereka berlindung di balik dalih keamanan, padahal realitasnya adalah proyek pemusnahan dan penjajahan yang sistematis. Israel tidak hanya menghancurkan bangunan, tetapi juga harapan, masa depan, dan kehidupan rakyat Palestina.
Di tengah gelombang kematian, Netanyahu dan pemerintahannya tetap bergeming. Mereka terus membombardir Gaza, sambil menawarkan “kesepakatan” yang penuh tipu daya. Mereka menyebut gencatan senjata, tetapi hanya jika itu menguntungkan mereka. Hamas diminta menyerah, sementara Israel terus melanggengkan penjajahannya. Ini bukan perundingan damai, ini adalah diktat dari pihak yang lebih kuat, yang ingin Palestina tetap tertindas.
Tidak ada moralitas dalam perang yang Israel lancarkan. Mereka menargetkan rumah, rumah sakit, bahkan kamp pengungsi. Tidak ada tempat aman bagi warga Palestina. Bahkan saat dunia merayakan Idul Fitri dengan sukacita, Gaza justru dihujani peluru dan rudal. Pengkhianatan ini bukan hanya soal pelanggaran perjanjian, tetapi juga tentang penghancuran sistematis terhadap hak asasi manusia.
Lebih dari 50.000 nyawa telah melayang sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023. Di balik angka ini, ada keluarga yang hancur, anak-anak yang kehilangan orang tua, dan masa depan yang dirampas secara brutal. Sementara itu, dunia seolah terpaku dalam kebisuan, membiarkan Israel bertindak sesuka hati.
Hamas telah menyerukan tekanan internasional terhadap Israel agar menghentikan agresi. Namun, selama ini, dunia tampaknya lebih memilih berdiam diri atau sekadar mengeluarkan kecaman tanpa tindakan nyata. Inilah yang membuat Israel semakin berani mengkhianati Palestina. Tanpa sanksi yang tegas, tanpa langkah nyata dari komunitas internasional, Israel tahu bahwa mereka bisa terus membantai tanpa konsekuensi.
Kejahatan Israel bukan sekadar peristiwa sesaat, melainkan pola yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Mereka berbicara tentang hak mereka atas tanah yang “dijanjikan,” sementara pada saat yang sama mereka mencabut hak hidup rakyat Palestina. Israel ingin dunia percaya bahwa mereka mencari perdamaian, tetapi tindakan mereka berbicara sebaliknya.
Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah Israel akan mengkhianati Palestina lagi, tetapi sampai kapan dunia akan membiarkan pengkhianatan ini terus terjadi. Rakyat Palestina tidak butuh simpati semata, mereka butuh keadilan. Dan selama dunia menutup mata terhadap kejahatan ini, Israel akan terus mengulang pengkhianatan mereka—tanpa rasa bersalah, tanpa pertanggungjawaban.