Monitorday.com – Bayangkan sedang duduk santai di serambi pesantren, menikmati kopi pahit dan gorengan hangat, tiba-tiba Abuya Muhtadi berseloroh, “Lebaran versi kita beda dikit, tapi tetap sah.” Begitulah cara sang ulama Banten ini menyampaikan sesuatu yang serius dengan gaya khasnya: ringan, penuh humor, tapi tetap sarat makna.
Siapa yang tak kenal Abuya Muhtadi? Bagi sebagian orang, dialah sosok ulama kharismatik dengan segudang ilmu dan pemikiran yang tajam . Bagi sebagian lainnya, dialah adalah pencerah jiwa dengan selera humor tinggi, kadang lebih segar dari es kelapa di tengah terik Banten.
Kali ini, Abuya kembali bikin heboh dengan penetapan Idul Fitri 1446 H yang jatuh pada 1 April 2025! Apakah ini kebetulan? Atau justru hikmah terselubung yang hanya dia yang tahu?
Ketika pemerintah menetapkan 1 Syawal jatuh pada 31 Maret 2025, Abuya justru punya hitungan sendiri yang lebih ‘spesial’. “Bukan soal beda, tapi soal metode. Kalau orang lain pakai 3 derajat, kita pakai 9 derajat. Kalau bisa tinggi, kenapa harus pendek?” katanya sambil tertawa. Logika sederhana ini tampaknya sulit dibantah, setidaknya jika kita ikut dalam frekuensi humornya.
Metode penghitungan hilal Abuya mungkin bukan yang paling populer, tapi jelas bukan sekadar hitungan asal-asalan. Dengan kriteria minimal 9 derajat, Abuya memastikan hilal benar-benar terlihat tanpa perlu berdebat panjang. “Kalau kurang dari 9 derajat, itu masih anak-anak. Biar hilal juga tumbuh dewasa dulu baru dianggap,” celetuknya. Gaya khasnya dalam menyampaikan ilmu agama ini membuat suasana menjadi cair dan tidak kaku.
Tak hanya dalam hal penetapan Lebaran, Abuya juga dikenal dengan gaya dakwah yang jenaka tapi penuh makna. Dalam suatu pengajian, ada yang bertanya, “Abuya, kalau kita ragu ikut Lebaran versi siapa, bagaimana?” Dengan santai, beliau menjawab, “Ikut yang bikin kamu bahagia, tapi jangan sampai kebanyakan Lebaran, nanti bajunya nggak cukup.” Candaannya memang sederhana, tapi pesannya mendalam: perbedaan jangan sampai membuat umat tercerai-berai.
Pendekatan toleran yang diusung Abuya juga patut diacungi jempol. ia tidak pernah memaksakan pengikutnya untuk mengikuti hitungannya. “Mau ikut pemerintah? Silakan. Mau ikut saya? Juga boleh. Mau ikut yang lain? Ya terserah, yang penting jangan Lebaran setiap bulan.” Guyonan semacam ini selalu membuat suasana lebih ringan, bahkan ketika membahas hal yang bisa memicu perdebatan panjang.
Tentu saja, tidak semua orang menerima keputusan Abuya dengan tangan terbuka. Ada yang mengkritik, ada yang bingung, ada juga yang diam-diam tertawa karena merasa ini adalah bagian dari kebijaksanaan unik seorang ulama. “Lebaran kok kayak diskon, ada versi beda-beda,” kelakar seorang santri sambil tertawa.
Meski begitu, pengikut setia Abuya tetap teguh dengan keyakinannya. “Kami percaya perhitungan Abuya. Beliau bukan hanya ulama, tapi juga manusia yang penuh hikmah. Kadang, sesuatu yang terdengar lucu justru lebih mudah diterima dan dipahami,” ujar seorang jemaahnya.
Pada akhirnya, perbedaan dalam penentuan 1 Syawal ini bukanlah sesuatu yang harus diributkan. Seperti kata Abuya, “Yang penting puasanya khusyuk, makannya nikmat, dan Lebarannya bahagia. Mau 31 Maret atau 1 April, yang penting jangan 1 Desember.” Satu pesan yang mungkin ingin ia sampaikan: perbedaan itu wajar, tapi menjaga kebersamaan jauh lebih penting.