Connect with us

Ruang Sujud

Keajaiban Ikhlas: Kunci Kebahagiaan dalam Beramal

Published

on

Monitorday.com – Ikhlas adalah sebuah konsep yang sangat mulia dalam Islam, namun sering kali sulit untuk dipraktikkan secara sempurna. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, manusia kerap terjebak pada dorongan untuk mencari pengakuan atau pujian dari orang lain atas amal perbuatan mereka. Padahal, dalam Islam, amal yang dilakukan dengan ikhlas, tanpa mengharapkan balasan dari makhluk, adalah amal yang paling dicintai Allah.

Ikhlas berasal dari kata “ikhlasa” yang berarti bersih atau murni. Dalam konteks beramal, ikhlas berarti melakukan suatu kebaikan semata-mata untuk Allah SWT, tanpa disertai niat untuk mencari keuntungan duniawi. Ikhlas mengajarkan manusia untuk membersihkan hati dari segala niat yang bisa mengotori kemurnian amal. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam Surah Al-Bayyinah ayat 5: “Dan mereka tidak diperintahkan, kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas menjalankan agama-Nya dengan lurus…”.

Salah satu keajaiban dari ikhlas adalah bagaimana ia dapat membawa kebahagiaan yang mendalam kepada pelakunya. Ketika seseorang melakukan suatu perbuatan baik dengan ikhlas, ia tidak akan terbebani oleh ekspektasi akan balasan dari orang lain. Sebaliknya, ia merasa cukup dengan ridha Allah sebagai tujuan utamanya. Perasaan ini menghadirkan ketenangan batin yang sulit diukur dengan materi. Kebahagiaan yang lahir dari hati yang tulus adalah bentuk kebahagiaan sejati yang tak tergantung pada kondisi eksternal.

Selain memberikan ketenangan batin, keikhlasan juga memiliki dampak besar pada kualitas amal itu sendiri. Amal yang dilakukan tanpa keikhlasan cenderung kehilangan esensinya dan menjadi sia-sia di mata Allah. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali jika dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya semata.” (HR. Nasai). Dari sini, jelas bahwa nilai suatu amal tidak hanya ditentukan oleh besar atau kecilnya, tetapi juga oleh keikhlasan yang melandasi perbuatan tersebut.

Namun, mempertahankan keikhlasan dalam beramal bukanlah perkara mudah. Hati manusia sangat mudah tergelincir oleh godaan untuk pamer atau riya. Dalam hal ini, introspeksi diri dan evaluasi niat menjadi langkah penting yang harus dilakukan sebelum, selama, dan setelah melakukan suatu amal. Imam Al-Ghazali menyarankan agar seseorang senantiasa memurnikan niatnya dengan mengingat bahwa tujuan utama hidup adalah mencari ridha Allah semata.

Selain introspeksi diri, doa juga menjadi senjata ampuh untuk menjaga keikhlasan. Rasulullah SAW mengajarkan doa kepada umatnya agar terhindar dari sifat riya. Salah satu doa yang dianjurkan adalah: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui.” Dengan memohon perlindungan kepada Allah, hati akan lebih terjaga dari niat-niat buruk yang dapat merusak keikhlasan.

Keajaiban lain dari ikhlas adalah bagaimana ia dapat mengubah seseorang menjadi pribadi yang lebih sabar dan tabah. Ketika beramal dengan niat yang ikhlas, seseorang tidak akan mudah merasa kecewa jika usahanya tidak dihargai oleh manusia. Ia sadar bahwa balasan terbaik hanya datang dari Allah, sehingga ia terus melangkah dengan penuh ketulusan. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman: “Aku adalah sebaik-baik pemberi balasan bagi hamba-Ku yang ikhlas kepada-Ku.” Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak pernah mengabaikan amal hamba-Nya yang dilakukan dengan niat tulus.

Selain itu, ikhlas juga melahirkan hubungan yang lebih baik dengan sesama. Orang yang ikhlas cenderung rendah hati dan tidak sombong atas amal baiknya. Ia memahami bahwa kebaikan yang ia lakukan bukanlah hasil dari dirinya semata, melainkan karunia dan hidayah dari Allah. Sikap ini membuatnya lebih mudah diterima oleh orang lain, sehingga tercipta hubungan yang harmonis dalam masyarakat.

Ikhlas juga menjadi pelindung dari kekecewaan dalam kehidupan. Banyak orang merasa sedih atau bahkan marah ketika kebaikan mereka tidak dihargai. Namun, mereka yang beramal dengan ikhlas akan tetap merasa bahagia, karena mereka tidak pernah menggantungkan kebahagiaan pada pengakuan manusia. Mereka tahu bahwa setiap amal, sekecil apa pun, tidak akan luput dari perhatian Allah. Firman Allah dalam Surah Az-Zalzalah ayat 7-8 menyatakan: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarah, niscaya ia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah, niscaya ia akan melihat (balasannya).”

Dalam kehidupan sehari-hari, ikhlas dapat diterapkan dalam berbagai bentuk amal, mulai dari membantu sesama, bekerja dengan profesionalisme, hingga beribadah. Sebagai contoh, seseorang yang bekerja dengan niat mencari nafkah halal demi keluarganya dan mengharapkan ridha Allah, akan merasa lebih ringan menjalani pekerjaannya meskipun menghadapi tantangan. Ikhlas menjadikan setiap aktivitas bernilai ibadah, selama niatnya diarahkan kepada Allah.

Sebagai penutup, keikhlasan adalah kunci utama untuk meraih kebahagiaan sejati dalam beramal. Dengan ikhlas, seseorang tidak hanya memperoleh pahala di akhirat, tetapi juga merasakan kedamaian di dunia. Meski tidak selalu mudah, ikhlas adalah sesuatu yang harus terus diupayakan oleh setiap hamba Allah. Dengan menjaga niat dan bersandar kepada Allah, keajaiban ikhlas akan menjadi nyata dalam kehidupan kita. Semoga Allah senantiasa membantu kita untuk menjadi pribadi yang ikhlas dalam setiap langkah dan amal perbuatan kita. Aamiin.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Uzlah di Era Digital: Relevansi Praktik Menyendiri di Tengah Hiruk Pikuk Media Sosial

Published

on

Monitorday.com – Di tengah era digital yang begitu bising dan penuh distraksi, uzlah justru menjadi semakin relevan. Ketika setiap detik kita dibombardir dengan notifikasi, opini, dan informasi yang tak pernah berhenti, praktik menyendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merawat kesehatan jiwa menjadi kebutuhan yang mendesak.

Uzlah di era digital bukan lagi sekadar menyepi di gua atau hutan, tapi bisa berbentuk detoks digital—memutus sementara akses dari media sosial, grup obrolan, dan konten hiburan. Tujuannya tetap sama: menenangkan hati, menjernihkan pikiran, dan menghidupkan kembali kesadaran spiritual yang sering kali terkubur oleh hiruk pikuk dunia maya.

Media sosial telah menciptakan tekanan sosial yang tak kasat mata. Kita merasa harus selalu terlihat aktif, produktif, bahkan bahagia. Dalam jangka panjang, ini bisa melahirkan rasa hampa, cemas, hingga depresi. Maka uzlah, dalam bentuk sederhana seperti mematikan ponsel selama beberapa jam sehari untuk membaca Al-Qur’an, berzikir, atau merenung, bisa menjadi pelindung jiwa dari kelelahan mental yang diam-diam menggerogoti.

Menariknya, banyak generasi muda kini mulai menyadari pentingnya slow living dan spiritual reset. Fenomena seperti “digital detox weekend,” “silent retreat,” atau “offline day” pada dasarnya sejalan dengan nilai uzlah dalam Islam. Mereka ingin sejenak lepas dari tuntutan dunia luar, untuk bisa mengenali kembali suara hati dan arah hidup yang sebenarnya.

Namun, penting untuk diingat bahwa uzlah bukan pelarian dari tanggung jawab. Justru setelah uzlah, seseorang diharapkan kembali ke tengah masyarakat dengan energi baru, hati yang lebih ikhlas, dan pandangan yang lebih jernih. Di sinilah uzlah menjadi latihan jiwa, bukan sekadar kesendirian fisik, tapi penyucian batin agar bisa hadir lebih utuh dalam kehidupan nyata.

Menghidupkan uzlah di era digital berarti berani berhenti sejenak agar tidak hanyut dalam arus dunia. Ini adalah bentuk perlawanan lembut terhadap budaya kebisingan dan kecepatan, sekaligus bentuk cinta terhadap jiwa yang haus akan ketenangan dan kehadiran Tuhan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Uzlah dalam Sejarah Ulama: Ketika Kesendirian Menjadi Sumber Hikmah

Published

on

Monitorday.com – Sejak masa klasik Islam, uzlah atau menyendiri telah menjadi pilihan spiritual banyak ulama dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah dan meraih hikmah yang lebih dalam. Bagi mereka, kesendirian bukanlah bentuk pengasingan sosial, melainkan sarana untuk membersihkan hati, memperdalam ilmu, dan menata kembali orientasi hidup.

Salah satu tokoh yang dikenal menjalani uzlah adalah Imam al-Ghazali. Setelah mengalami krisis spiritual dan keraguan terhadap ilmu-ilmu duniawi, ia meninggalkan jabatan prestisiusnya sebagai guru besar di Baghdad. Ia kemudian melakukan uzlah selama bertahun-tahun, mengembara dan bermukim di tempat-tempat sunyi seperti Damaskus dan Yerusalem. Dari uzlah inilah lahir karya agungnya, Ihya Ulumuddin, yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam dunia tasawuf dan etika Islam.

Imam Ahmad bin Hanbal juga dikenal membatasi interaksi sosialnya dalam jangka waktu tertentu untuk menjaga kemurnian ilmu dan niat dalam beribadah. Meski hidup di tengah umat, ia selektif dalam bergaul, lebih memilih merenung dan mendalami Al-Qur’an serta hadis dalam kesendirian.

Dalam konteks tasawuf, uzlah merupakan bagian dari suluk, yakni perjalanan ruhani menuju Allah. Tokoh-tokoh sufi seperti Rabi’ah al-Adawiyah dan Ibrahim bin Adham banyak dikenal karena praktik uzlah mereka yang penuh kedalaman spiritual. Dalam sunyi mereka menemukan cinta sejati kepada Sang Pencipta dan menjadikan hidup mereka penuh makna.

Uzlah juga melahirkan ulama dengan hikmah yang mendalam. Dengan memisahkan diri sejenak dari kegaduhan dunia, mereka memiliki ruang untuk merenung lebih dalam tentang makna hidup, hubungan dengan Tuhan, dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Karena itu, uzlah dalam sejarah bukan hanya menyumbang ketenangan pribadi, tetapi juga melahirkan karya, pemikiran, dan pengaruh besar bagi umat.

Kisah-kisah uzlah para ulama ini mengajarkan kita bahwa untuk menjadi manusia yang lebih bijak dan berdaya guna, kadang kita perlu berhenti sejenak. Dalam diam mereka menemukan suara kebenaran, dan dari sepi lahir kebijaksanaan yang abadi.

Continue Reading

Ruang Sujud

Manfaat Uzlah bagi Jiwa: Menemukan Ketenangan dalam Kesendirian

Published

on

Monitorday.com – Di tengah dunia yang semakin bising dan serba cepat, manusia modern sering kali kehilangan ruang untuk mendengarkan suara hatinya sendiri. Di sinilah uzlah hadir sebagai jalan keluar—bukan untuk melarikan diri dari kehidupan, tetapi untuk menyegarkan kembali jiwa yang lelah. Uzlah memberi ruang bagi seseorang untuk berhenti sejenak, menyendiri, dan merenung dalam keheningan yang menyembuhkan.

Secara psikologis, uzlah dapat membantu seseorang mengurangi stres dan kecemasan. Ketika rutinitas dunia yang padat membuat kita kehilangan kendali, menyendiri sejenak justru bisa memulihkan fokus dan ketenangan batin. Dengan menjauh dari hiruk-pikuk, seseorang bisa lebih jujur pada dirinya sendiri, melihat persoalan hidup dengan sudut pandang yang jernih.

Dari sisi spiritual, uzlah membuka ruang untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa gangguan. Dalam sunyi, dzikir menjadi lebih khusyuk, doa terasa lebih dalam, dan introspeksi pun lebih jujur. Kesendirian ini membawa seseorang pada kesadaran akan kelemahan dirinya dan kebesaran Allah. Ia menjadi tahu bahwa dalam sepi pun Allah selalu hadir, dan justru dalam kesunyian itu cinta-Nya terasa lebih dekat.

Tak heran jika banyak ulama dan tokoh besar dalam Islam meluangkan waktu khusus untuk uzlah. Imam Malik, misalnya, sering membatasi interaksinya demi menjaga kemurnian ilmu dan hati. Bahkan para sahabat Nabi pun terkadang mengasingkan diri sejenak dari kehidupan sosial untuk memperdalam hubungan mereka dengan Allah.

Namun, manfaat uzlah hanya bisa dirasakan jika dilakukan dengan niat yang benar. Uzlah bukan ajang pelarian dari masalah, apalagi bentuk penghindaran dari tanggung jawab. Uzlah yang benar justru menguatkan jiwa agar siap kembali menghadapi dunia dengan hati yang lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih.

Dalam dunia modern, uzlah bisa dilakukan dengan cara sederhana—seperti mematikan ponsel selama sehari, duduk sendiri di taman sambil merenung, atau mengikuti retret keagamaan. Kuncinya adalah menyediakan ruang dan waktu untuk menghidupkan kembali suara hati, memperdalam relasi dengan Tuhan, dan menata kembali arah hidup. Dengan begitu, uzlah bukan sekadar praktik kesendirian, tetapi proses menemukan kembali ketenangan dan makna hidup.

Continue Reading

Ruang Sujud

Uzlah dalam Islam: Jalan Sunyi Menuju Kedekatan dengan Allah

Published

on

Monitorday.com – Dalam tradisi Islam, uzlah adalah praktik menyendiri dari keramaian dunia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Praktik ini bukan sekadar menarik diri secara fisik, tetapi juga merupakan upaya menenangkan hati, menjernihkan pikiran, dan memfokuskan jiwa hanya kepada Sang Pencipta. Dalam sejarahnya, uzlah menjadi bagian penting dari perjalanan spiritual para nabi dan ulama.

Rasulullah Muhammad SAW sendiri menjalani uzlah sebelum menerima wahyu pertama. Beliau sering menyendiri di Gua Hira, mengasingkan diri dari hiruk-pikuk masyarakat Quraisy yang penuh dengan penyembahan berhala dan kerusakan moral. Dalam kesendirian itu, beliau merenung, berzikir, dan mencari makna hidup—hingga akhirnya Jibril datang membawa wahyu.

Islam tidak mewajibkan umatnya melakukan uzlah secara permanen, karena keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat sangat ditekankan. Namun dalam situasi tertentu, terutama saat iman melemah atau lingkungan sekitar justru menjauhkan dari kebaikan, uzlah bisa menjadi sarana untuk menyelamatkan diri secara ruhani. Imam al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, juga menekankan pentingnya uzlah bagi orang-orang yang belum mampu menjaga diri di tengah masyarakat yang penuh fitnah.

Uzlah juga bukan berarti melarikan diri dari tanggung jawab sosial. Justru setelah uzlah, seseorang diharapkan kembali dengan jiwa yang lebih kuat, hati yang lebih bersih, dan niat yang lebih tulus untuk memberi manfaat bagi sesama. Dalam konteks ini, uzlah bukanlah pelarian, tapi proses pembentukan pribadi yang matang secara spiritual.

Di era modern, bentuk uzlah bisa bermacam-macam—dari retret ruhani, iktikaf di masjid, hingga puasa media sosial. Yang terpenting adalah niatnya: menjauh dari distraksi dunia agar bisa kembali kepada Allah dengan lebih khusyuk. Uzlah bukan hanya milik para sufi atau orang yang ingin menjadi wali, tapi bisa menjadi jalan sunyi siapa pun yang rindu akan ketenangan dan cinta Ilahi.

Continue Reading

Ruang Sujud

Kesalahan Umum dalam Ta’aruf dan Cara Menghindarinya

Published

on

Monitorday.com – Ta’aruf adalah proses yang indah dan mulia dalam Islam, tapi tidak sedikit yang keliru dalam menjalaninya. Niat awal yang baik bisa jadi melenceng jika dilakukan tanpa pemahaman dan bimbingan yang tepat. Supaya proses ta’aruf berjalan dengan benar dan penuh keberkahan, penting untuk mengenali berbagai kesalahan umum berikut dan cara menghindarinya.

1. Menganggap Ta’aruf seperti Pacaran Islami
Salah satu kesalahan paling sering terjadi adalah memperlakukan ta’aruf seperti versi “halal” dari pacaran. Mereka mulai chat intens, berbagi cerita personal yang terlalu dalam, bahkan saling panggil mesra sebelum akad. Padahal, ta’aruf bukan ajang pendekatan romantis, melainkan proses rasional mengenal seseorang untuk tujuan pernikahan.
👉 Solusi: Batasi komunikasi sesuai kebutuhan, dan selalu libatkan perantara agar tetap terjaga.

2. Tidak Melibatkan Pihak Ketiga
Banyak yang mencoba ta’aruf hanya berdua dengan calon pasangan lewat chat atau pertemuan langsung tanpa ada pendamping. Ini sangat rawan fitnah dan membuka celah syaitan untuk menggoda.
👉 Solusi: Ajak orang tua, ustaz, atau sahabat terpercaya sebagai mediator dalam setiap tahap.

3. Terlalu Fokus pada Penampilan dan Finansial
Memang penting melihat penampilan dan kesiapan finansial calon pasangan, tapi jika ini dijadikan satu-satunya tolok ukur, bisa fatal. Ta’aruf bukan ajang cari yang paling cakep atau tajir, tapi yang paling siap untuk jadi pasangan seumur hidup.
👉 Solusi: Fokus pada akhlak, komitmen agama, visi hidup, dan kesiapan membina keluarga.

4. Tidak Jujur Saat Menjawab Pertanyaan
Banyak yang ingin tampil sempurna saat ta’aruf, sehingga menyembunyikan kekurangan atau memberi jawaban yang dibuat-buat. Akibatnya, akan muncul banyak kejutan tak menyenangkan setelah menikah.
👉 Solusi: Jujur sejak awal. Lebih baik tahu kondisi sebenarnya sekarang daripada menyesal nanti.

5. Terlalu Cepat Mengambil Keputusan
Karena sudah merasa “klik”, banyak yang buru-buru mengambil keputusan tanpa benar-benar mempertimbangkan. Kadang hanya dalam sekali pertemuan langsung ingin lanjut ke khitbah, tanpa diskusi lebih dalam.
👉 Solusi: Jalani ta’aruf dengan tenang, lakukan beberapa sesi perkenalan, dan jangan lupakan shalat istikharah.

6. Mengabaikan Restu Orang Tua
Sebagian orang memilih jalan sendiri tanpa melibatkan orang tua sejak awal. Ini bisa menjadi masalah besar ketika orang tua tidak setuju, padahal hubungan sudah terlanjur dekat.
👉 Solusi: Libatkan orang tua sejak awal, bahkan sejak tahap niat. Restu mereka sangat penting untuk keberkahan rumah tangga.

Kesimpulannya, ta’aruf adalah proses suci yang harus dijalani dengan ilmu, bimbingan, dan hati-hati. Hindari kesalahan-kesalahan umum di atas agar ta’aruf benar-benar menjadi jalan terang menuju pernikahan yang diridhai Allah SWT.

Continue Reading

Ruang Sujud

Panduan Ta’aruf untuk Pemula: Dari Niat hingga Khitbah

Published

on

Monitorday.com – Bagi banyak anak muda muslim, keinginan menikah seringkali hadir bersamaan dengan kebingungan: harus mulai dari mana? Di sinilah ta’aruf hadir sebagai panduan suci untuk mengenal calon pasangan dengan cara yang diridhai Allah. Jika kamu baru pertama kali mendengar atau ingin menjalaninya, berikut panduan ta’aruf dari awal hingga khitbah.

1. Mantapkan Niat
Langkah paling awal adalah meluruskan niat. Ta’aruf bukan ajang coba-coba apalagi pelarian dari kesepian. Ia adalah proses serius mencari pasangan hidup untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Niat ini penting agar langkah selanjutnya tetap berada dalam jalur yang benar.

2. Siapkan Diri secara Mental dan Spiritual
Sebelum mencari pasangan, kamu harus menyiapkan diri terlebih dahulu. Tanyakan pada diri: apakah aku sudah cukup matang secara emosi, finansial, dan spiritual? Jangan buru-buru ta’aruf kalau belum siap menikah. Ta’aruf bukan tempat untuk sekadar mencari teman ngobrol atau curhat.

3. Minta Bantuan Perantara yang Tepercaya
Dalam Islam, interaksi lawan jenis sangat dijaga. Oleh karena itu, ta’aruf dilakukan dengan bantuan perantara, seperti orang tua, ustaz, mentor, atau sahabat yang paham agama. Mereka akan membantu menyambungkan dua pihak yang berniat menikah dan mengatur pertemuan dengan etika Islam.

4. Proses Perkenalan yang Terarah
Saat ta’aruf, hindari basa-basi yang tidak penting. Fokus pada pertanyaan-pertanyaan kunci: visi pernikahan, prinsip hidup, pandangan soal peran suami-istri, pengelolaan keuangan, relasi keluarga, hingga rencana masa depan. Jangan malu untuk menyampaikan ekspektasi dan nilai-nilai yang kamu pegang.

5. Evaluasi dan Shalat Istikharah
Setelah beberapa kali pertemuan, luangkan waktu untuk merenung dan berdoa. Shalat istikharah adalah cara memohon petunjuk dari Allah apakah calon tersebut baik untuk agama, kehidupan, dan masa depanmu. Libatkan orang tua atau mentor untuk berdiskusi dan mendapatkan masukan objektif.

6. Ambil Keputusan: Lanjut atau Tidak
Jika merasa cocok, kamu bisa lanjut ke tahap khitbah (lamaran). Namun jika tidak, jangan ragu untuk berhenti. Dalam ta’aruf, tidak ada ikatan emosional yang mendalam, jadi keputusan untuk mundur tidak akan melukai seperti halnya dalam pacaran. Sampaikan dengan baik dan saling menghormati.

7. Menuju Pernikahan
Setelah khitbah, kamu dan pasangan bisa melanjutkan proses persiapan pernikahan. Komunikasi tetap dilakukan dengan batasan yang syar’i. Ini adalah fase terakhir sebelum resmi menjadi pasangan halal di hadapan Allah dan masyarakat.

Kesimpulannya, ta’aruf adalah proses mulia yang memberi jalan terang bagi siapa pun yang ingin menikah dengan cara yang benar. Dengan niat yang lurus, sikap yang dewasa, dan bimbingan dari Allah, ta’aruf bisa menjadi awal dari perjalanan cinta yang penuh keberkahan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Bedanya Ta’aruf dan Pacaran: Mana yang Lebih Islami?

Published

on

Monitorday.com – Di tengah budaya populer yang membiasakan pacaran sebelum menikah, Islam hadir dengan alternatif yang lebih suci dan terjaga: ta’aruf. Keduanya sama-sama proses perkenalan, tetapi berbeda jauh dari segi tujuan, cara, dan keberkahan.

Pacaran seringkali dijalani tanpa komitmen jelas. Banyak pasangan menjalin hubungan bertahun-tahun, namun berakhir tanpa pernikahan. Bahkan, tak sedikit yang terjerumus dalam maksiat karena tidak adanya batasan syar’i. Pacaran memupuk rasa, kedekatan fisik, dan emosi, namun sering melalaikan akal dan pertimbangan rasional.

Sebaliknya, ta’aruf adalah proses mengenal seseorang secara serius dan terarah dengan niat menikah. Tidak ada gombalan, tidak ada jalan berdua tanpa mahram, dan tidak ada eksplorasi perasaan yang bisa menimbulkan zina hati. Semua dilakukan dalam bingkai syariat, dengan pendamping atau pihak ketiga, dan fokus pada karakter, nilai hidup, serta kesiapan membangun rumah tangga.

Dalam pacaran, seseorang bisa terjebak pada rasa nyaman semu. Akibatnya, banyak yang terlambat sadar bahwa pasangan mereka tidak sevisi dalam hal prinsip, keluarga, atau masa depan. Sementara dalam ta’aruf, pertanyaan-pertanyaan mendalam seperti visi keislaman, tujuan hidup, tanggung jawab finansial, dan peran dalam rumah tangga dibahas sejak awal.

Secara emosional, pacaran menguras banyak energi. Hubungan yang tidak halal rentan menyakiti hati dan menimbulkan trauma. Sementara ta’aruf tidak menyentuh ranah emosi secara berlebihan. Jika tidak cocok, keduanya bisa mundur dengan tetap saling menghormati, tanpa sakit hati mendalam.

Dalam pandangan Islam, pacaran tidak memiliki dasar syar’i. Sebaliknya, ta’aruf justru didukung oleh nilai-nilai keadaban, menjaga kehormatan, dan menjunjung kesucian pernikahan. Ia bukan hanya proses mengenal, tapi juga latihan dalam memuliakan calon pasangan sejak awal.

Kesimpulannya, jika ditanya mana yang lebih Islami antara pacaran dan ta’aruf, jawabannya tentu jelas: ta’aruf. Ia bukan hanya lebih aman secara lahiriah, tapi juga membawa keberkahan yang melimpah karena dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang sesuai dengan ajaran agama.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ta’aruf dalam Islam: Jalan Suci Menuju Pernikahan yang Diberkahi

Published

on

Monitorday.com – Dalam Islam, pernikahan bukan sekadar hubungan emosional atau fisik, melainkan ibadah dan perjanjian sakral antara dua insan untuk membangun rumah tangga yang diridhai Allah. Sebelum melangkah ke jenjang tersebut, ada satu proses penting yang dianjurkan: ta’aruf.

Secara bahasa, ta’aruf berarti saling mengenal. Namun dalam konteks pernikahan, ta’aruf adalah proses mengenal calon pasangan dengan cara yang syar’i, tanpa mendekati zina, tanpa pacaran, dan tanpa interaksi yang melampaui batas. Proses ini menjaga kehormatan kedua belah pihak dan dilakukan dengan niat mencari jodoh karena Allah.

Biasanya, ta’aruf melibatkan pihak ketiga sebagai perantara, seperti ustaz, orang tua, atau teman terpercaya. Pertemuan dilakukan secara terbuka, tidak berduaan, dan fokus pada hal-hal prinsipil seperti visi hidup, pandangan tentang keluarga, pekerjaan, dan kesiapan menikah. Tujuannya bukan untuk menggali rasa, melainkan mengenali karakter dan kesesuaian visi misi.

Keistimewaan ta’aruf adalah prosesnya yang jelas, tegas, dan menghindari hubungan yang sia-sia. Jika cocok, maka akan dilanjutkan ke tahap khitbah (lamaran). Jika tidak cocok, maka diputuskan secara baik-baik tanpa luka hati karena belum ada keterikatan emosional yang mendalam.

Ta’aruf juga menjadi bentuk penjagaan diri dari godaan syahwat dan kecenderungan nafsu. Islam tidak melarang cinta, tetapi cinta yang terjaga dalam koridor syariat. Oleh karena itu, ta’aruf adalah bentuk ketaatan yang mendekatkan diri pada pernikahan yang diridhai Allah SWT.

Di era digital ini, ta’aruf bisa dilakukan dengan bantuan teknologi, namun tetap perlu penjagaan dan batasan. Ta’aruf online lewat perantara tepercaya atau platform syariah bisa jadi pilihan, asalkan niatnya benar dan prosesnya tetap dijaga.

Kesimpulannya, ta’aruf adalah jalan suci yang ditawarkan Islam bagi mereka yang ingin menikah tanpa mendekati dosa. Ia bukan jalan instan, tapi proses yang penuh keberkahan. Dengan niat yang lurus dan proses yang syar’i, insyaAllah pernikahan yang dibangun lewat ta’aruf akan lebih kokoh dan penuh rahmat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Syuhada Era Modern: Mereka yang Gugur Membela Kebenaran

Published

on

Monitorday.com – Di zaman modern, medan perjuangan tidak lagi selalu berupa peperangan fisik seperti di masa lalu. Namun, semangat pengorbanan dan keberanian membela kebenaran tetap hidup dalam diri banyak orang yang kemudian gugur dalam perjuangan melawan ketidakadilan, penindasan, dan penjajahan. Mereka inilah yang sering disebut sebagai syuhada era modern—mereka yang meninggal dalam perjuangan yang tak kalah beratnya demi menegakkan nilai-nilai Islam, kemanusiaan, dan keadilan.

Salah satu contoh syuhada masa kini adalah para relawan kemanusiaan yang gugur saat membantu korban konflik, seperti di Palestina, Suriah, atau Myanmar. Mereka tidak membawa senjata, namun membawa bantuan, harapan, dan cinta kasih. Banyak dari mereka yang terbunuh dalam serangan, namun tetap dikenang sebagai pahlawan sejati yang mengorbankan nyawa demi sesama.

Di beberapa negeri Muslim, banyak aktivis dakwah dan ulama yang dibunuh karena keberanian mereka menyuarakan kebenaran di tengah-tengah rezim zalim. Mereka berdiri di garis depan, membela rakyat dari penindasan, melawan korupsi, dan menuntut keadilan. Meski tanpa senjata, mereka melawan dengan lisan dan tulisan, hingga akhirnya kehilangan nyawa karena kezaliman. Dalam pandangan Islam, mereka pun tergolong syuhada.

Tak sedikit pula para jurnalis Muslim yang gugur saat meliput konflik di zona-zona berbahaya. Mereka berusaha menghadirkan kebenaran kepada dunia, meski tahu nyawa mereka jadi taruhan. Darah mereka yang tertumpah di medan berita adalah bukti nyata bahwa jihad di era modern dapat berbentuk perjuangan informasi dan penyadaran umat.

Syuhada era modern juga bisa ditemukan di tengah masyarakat biasa—para orang tua yang meninggal saat melindungi anak-anak mereka dalam serangan, guru yang mempertahankan murid dari kekerasan, atau tenaga medis yang wafat karena menolong korban wabah penyakit tanpa henti. Dalam hadis Nabi, orang yang wafat karena penyakit atau bencana, jika ia bersabar dan tetap berada di jalan Allah, juga mendapat pahala syahid.

Menghormati para syuhada masa kini adalah dengan melanjutkan perjuangan mereka, menegakkan kebenaran di lingkungan kita, menolak ketidakadilan, dan memperjuangkan kemanusiaan. Mereka adalah inspirasi, bahwa menjadi pahlawan bukan soal senjata, melainkan soal keberanian untuk hidup dan mati demi nilai yang benar.

Dalam dunia yang semakin rumit ini, syahid bukan hanya tentang akhir hidup, tapi tentang bagaimana kita menjalani hidup: dengan keikhlasan, pengorbanan, dan semangat untuk selalu berada di pihak yang benar.

Continue Reading

Ruang Sujud

Keutamaan Mati Syahid dalam Al-Qur’an dan Hadis

Published

on

Monitorday.com – Dalam Islam, mati syahid atau gugur di jalan Allah adalah kemuliaan tertinggi yang dapat diraih oleh seorang hamba. Keutamaan ini tidak hanya disebutkan dalam berbagai ayat Al-Qur’an, tetapi juga ditegaskan dalam banyak hadis Rasulullah SAW. Syahid bukan hanya berarti gugur dalam peperangan, melainkan wafat dalam keadaan membela kebenaran dan kebaikan dengan penuh keikhlasan.

Salah satu keutamaan syahid yang paling agung adalah janji kehidupan di sisi Allah. Allah berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 169-170: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepada mereka…” Ini menunjukkan bahwa syuhada mendapatkan kedudukan istimewa yang tidak diberikan kepada manusia biasa.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang mati syahid akan diampuni dosanya sejak tetesan darah pertama dan akan diperlihatkan tempatnya di surga…” Hadis ini menjadi bukti nyata betapa besar pahala dan keutamaan yang menanti para syuhada.

Tidak hanya itu, para syuhada juga mendapat hak istimewa untuk memberikan syafaat bagi anggota keluarganya. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa syahid dapat memberikan syafaat kepada tujuh puluh anggota keluarganya. Ini adalah bentuk rahmat yang luar biasa dari Allah atas pengorbanan yang dilakukan oleh para pejuang kebenaran.

Menariknya, Rasulullah SAW juga menyebut beberapa jenis syahid yang tidak terbatas pada medan perang. Mereka yang wafat karena tenggelam, terbakar, sakit perut, wabah penyakit, dan wanita yang meninggal saat melahirkan juga mendapatkan gelar syuhada. Hal ini menunjukkan keluasan rahmat Allah dan pentingnya niat dalam setiap perjuangan.

Keutamaan mati syahid juga menjadi pengingat bahwa hidup sejatinya bukan hanya tentang dunia semata, tetapi juga tentang akhirat. Syahid adalah simbol dari keberanian, keteguhan, dan keikhlasan yang tiada tara. Mereka meninggalkan dunia dengan kehormatan, dan disambut di akhirat dengan kemuliaan.

Dalam kehidupan kita hari ini, semangat syahid bisa diwujudkan dalam bentuk perjuangan melawan kezaliman, membela yang lemah, menegakkan keadilan, dan menolak kemungkaran. Dengan niat yang benar dan perjuangan yang tulus, setiap langkah yang kita ambil di jalan kebaikan bisa mendekatkan kita pada derajat yang tinggi di sisi Allah.

Syuhada adalah teladan bahwa hidup bukan tentang seberapa lama kita hidup, tetapi seberapa berarti pengabdian kita kepada kebenaran. Dan syahid adalah puncak pengabdian itu.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Sportechment6 hours ago

Ronaldo Kembali Jadi Atlet Terkaya Dunia 2025, Jauh Tinggalkan Messi

News6 hours ago

Selamat! Anggoro Eko Cahyo Resmi Jabat Dirut BSI, Muhadjir Effendy Jadi Komut

Sportechment7 hours ago

Tiket Laga Indonesia vs China Kembali Dijual, Mulai Kapan?

News7 hours ago

Nama Jokowi dan Kaesang Masuk Bursa Calon Ketua Umum PSI

News7 hours ago

Prabowo Resmikan Produksi Perdana Lapangan Minyak Forel dan Terubuk di Natuna, Dukung Swasembada Energi

News8 hours ago

Wamendikdasmen Buka ToT Koding dan AI: Siapkan Guru Digital yang Cerdas dan Beretika

Ruang Sujud8 hours ago

Uzlah di Era Digital: Relevansi Praktik Menyendiri di Tengah Hiruk Pikuk Media Sosial

News11 hours ago

Indonesia Perkenalkan ‘Rumah Pendidikan’ dan Kurikulum AI di Forum APEC, Dorong Transformasi Digital Inklusif

Ruang Sujud12 hours ago

Uzlah dalam Sejarah Ulama: Ketika Kesendirian Menjadi Sumber Hikmah

Ruang Sujud16 hours ago

Manfaat Uzlah bagi Jiwa: Menemukan Ketenangan dalam Kesendirian

Ruang Sujud20 hours ago

Uzlah dalam Islam: Jalan Sunyi Menuju Kedekatan dengan Allah

Sportechment20 hours ago

Prabowo-PM Albanese Tukar Jersey, Simbol Persahabatan di Tengah Rivalitas Sepak Bola

Sportechment20 hours ago

Barcelona Juara Liga Spanyol, Catat Rekor Triplete Domestik Pertama dalam Sejarah Klub

Sportechment1 day ago

Sheila On 7: Dari Band Sekolah Hingga Dibayar Rp1 Miliar Sekali Tampil

Keuangan1 day ago

Dorong Pertumbuhan Ekonomi Desa, BNI Bantu Perbaikan Infrastruktur

Sportechment1 day ago

GT World Challenge Asia 2025 Sukses Digelar, Dorong Ekonomi dan Wisata Lokal

Keuangan1 day ago

Catat Kinerja Positif, Livin’ by Mandiri Terus Cetak Pertumbuhan Transaksi dan Pengguna

Migas1 day ago

Menhut-Pertamina NRE Dorong Program Aren Jadi Langkah Nyata Menuju Bioetanol Indonesia

Sportechment1 day ago

Turunkan Lapis Kedua, Persib Tetap Incar Kemenangan Kontra Persita

News1 day ago

Jalur Kerjasama, Ikhtiar UNJ Wujudkan Masa Depan Generasi Papua