Review
Kegagalan Food Estate, Aib Prabowo Subianto
Program Food estate sejak awal memiliki perencanaan yang buruk sehingga investasi yang dikucurkan untuk daerah-daerah yang kekurangan ekosistem dan infrastruktur produksi pangan menjadi sia-sia belaka. Proyek-proyek tersebut tidak berdampak pada produksi pangan dan ketahanan pangan, meskipun pemerintah telah menghabiskan banyak uang untuk itu.
Published
1 year agoon
Monitorday.com – Dalam sebuah Forum Keamanan Pangan di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Bali, Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto mengusulkan produk pengembangan food estate berupa singkong sebagai solusi untuk mengatasi krisis pangan global yang diakibatkan perubahan iklim dan terhambatnya rantai pasok pangan karena perang Rusia – Ukraina yang tidak berkesudahan
“Singkong akan terbukti menjadi tanaman penyelamat dunia,” kata Menhan Prabowo. Memang sejak masuk dalam struktur kabinet dirinya sudah mendorong program food estate sebagai upayanya untuk meningkatkan produksi pertanian.
Terlebih sejak Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memberikan peringatan akan adanya ancaman krisis pangan dunia yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19, dua tahun silam.
Di Bali, Menhan berbicara dalam sebuah forum yang diinisiasi oleh Atlantic Council sebuah organisasi non-partisan yang berbasis di Amerika Serikat yang memiliki visi menyeimbangkan rantai pasok dunia yang terhambat karena Vladimir Putin menjadikan kerawanan pangan dari komoditas gandum yang dihasilkan Rusia dan Ukraina sebagai senjata untuk memengaruhi dunia.
Singkong menurut Prabowo akan terbukti menjadi penyelamat dunia, dan Indonesia bisa menjadi penghasil singkong terbesar dunia melalui program food estate yang diembankan kepada Kementeriannya sebagai leading sector bersama Kementerian PUPR, Pertanian, dan Kementerian BUMN. Program ini kemudian mendapat stempel ‘ketahanan non-militer’.
Secara meyakinkan Prabowo mempersentasikan singkong sebagai sebuah produk holtikultura yang paling efisien dari sisi kebutuhan air dan input lainnya; menghasilkan 250 ribu kalori dengan hanya membutuhkan 65 meter kubik air per metrik ton.
Bandingkan dengan beras yang membutuhkan air sebanyak 1139 per metrik ton, gandum 954 per metrik ton dan jagung 850 per metrik ton dengan luasan lahan yang sama. Singkong juga bisa menjadi tanaman pangan strategis yang bisa diolah sebagai pengganti gandum, mie, pasta, dan roti.
“Ini sudah diproduksi oleh pengusaha kami. Kami memproduksi pasta dari singkong. Mie instan, bioetanol, alkohol, vitamin, bioflavonoid, bioplastik, lem, bahan peledak,” tuturnya.
Sejurus kemudian Prabowo memamerkan beberapa produk olahan dari singkong yang sudah dikemas apik kepada para peserta forum yang bertajuk Global Food Security Forum tersebut, tentu saja apa yang ditunjukan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia periode 2010-2015 mendapat banyak apresiasi.
Namun, jauh dari hingar-bingar tepuk tangan di forum elite dunia itu. Di salah satu lokasi food estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Muchlisin yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani hanya mendapati hektaran luasan tanah yang terlantar dan batang singkong yang terlalu tipis untuk bisa produktif.
Dia adalah generasi kedua sejak program food estate Pengembangan Lahan Gambut (PLG) ditandatangani Presiden Soeharto dalam Kepres No. 82/1995. Dari tahun 1995 sampai 1999 dilaksanakan program itu gagal secara spektakuler.
Muchlisin yang puluhan tahun mendiami kawasan tersebut paham tanah eks PLG itu berpasir dan asam, dan petani tidak bisa menumbuhkan apa pun, kecuali sudah dilakukan pengapuran seperti di Desa Rawa Subur, Kabupaten Kapuas. Problem pertanian itu kompleks, menjadi tambah kompleks dengan hadirnya program kebijakan pangan berskala luas seperti food estate ini yang seperti meniadakan kajian ilmiah yang komprehensif.
Miskonsepsi Lumbung Pangan
Menurut Dwi Andreas Santosa Profesor Bioteknologi Institut Pertanian Bogor kepada Monitorday.com, mengungkapkan program food estate sejak awal memiliki perencanaan yang buruk sehingga investasi yang dikucurkan untuk daerah-daerah yang kekurangan ekosistem dan infrastruktur produksi pangan menjadi sia-sia belaka. Proyek-proyek tersebut tidak berdampak pada produksi pangan dan ketahanan pangan, meskipun pemerintah telah menghabiskan banyak uang untuk itu.
Sejak tahun 1996 sudah keluar dana puluhan triliun, uang dibuang percuma dan lingkungan rusak berat. Misalnya lahan gambut di Kalteng ada 26 juta kubik kayu di dalamnya, dan itu lari ke mana? Sudah barang tentu amat sangat banyak orang yang mendapatkan keuntungan dari situ.
Memutar waktu ke dua tahun belakang, November 2020, tak lama setelah Presiden Joko Widodo meresmikan kebijakan pangannya, Kementerian Pertahanan mulai bekerja di sepetak hutan hujan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, menebang pohon untuk membuka 600 hektar lahan untuk singkong.
Kawasan itu belum dizonasi untuk agribisnis, apalagi untuk proyek food estate. Penanaman singkong di Gunung Mas dilakukan dengan membuka hutan dan perkebunan masyarakat hingga 31.000 hektar.
Dalam siaran pers, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto menerangkan kawasan hutan lindung yang digunakan untuk food estate masuk dalam kategori Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP).
Lagipula, kata Sigit, Kawasan hutan lindung yang digunakan tidak sepenuhnya berfungsi lindung, dalam artian kondisinya sudah sedemikian terbuka, terdegradasi, dan sudah tidak ada tegakan hutan. Dengan adanya food estate, menurut Sigit justru akan memulihkan fungsi hutan dengan berbagai kombinasi tanaman hutan.
Sering diberitakan, awal dari program pertanian skala massif ini merupakan respon Presiden akan peringatan krisis pangan dari FAO yang memprediksikan sebanyak 132 juta orang mengalami kelaparan pada 2020 akibat resesi ekonomi yang dipicu oleh pandemi, “Peringatan dari FAO agar betul-betul diperhatikan, harus digarisbawahi mengenai peringatan bahwa virus corona bisa berdampak pada krisis pangan dunia,” ujar Presiden di Istana Bogor, April 2020.
Dengan alasan tersebut sepanjang tahun 2020, Jokowi langsung menggeber program food estate dengan mengadakan dua kali rapat terbatas. Pertama pada 26 Juni 2020, Ratas Program Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional dan Pembangunan Kawasan Industri yang menetapkan tiga lokasi pengembangan food estate yakni Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Papua. Rapat kedua di bulan Juli 2020 menetapkan Kalteng masuk dalam proyek ambisius ini dengan mengalokasikan ratusan ribu hektar wilayah sebagai lumbung pangan nasional.
Pada rapat terbatas yang digelar tanggal 26 Juni 2020, pemerintah menetapkan seluas 770.601 hektar kawasan eks PLG sebagai wilayah pengembangan food estate yang terdapat di dua kabupaten, Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas. Nampaknya luasan wilayah Kalimantan Tengah menjadi pertimbangan utama untuk memasukkan provinsi ini sebagai wilayah cadangan pangan nasional.
Dalam pidato kenegaraan pada sidang tahunan MPR (14 Agustus 2020) Presiden menegaskan food estate sebagai lumbung pangan dibangun untuk memperkuat cadangan pangan nasional, dari hulu hingga hilir. Proyek food estate kemudian masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.
Namun, narasi awal pemerintah untuk food estate sebagai antisipasi krisis pangan di masa pandemi, tak lama bergeser menjadi antisipasi menghadapi perubahan iklim. Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas mengatakan perubahan narasi ini menjadi pertanyaan awal dari sederetan pertanyaan yang muncul seiring pengerjaan proyek ini dalam dua tahun terakhir.
Menurut Iola, narasi ini didorong lagi dengan alasan prediksi krisis iklim. Padahal program ini harus dikaji ulang karena banyak temuan di lapangan yang menunjukkan tanda-tanda kegagalan. Selain itu, pemerintah kerap kali meminggirkan tata kelola pangan, seolah bagaimana pangan diproduksi, diolah dan sampai di tangan konsumen itu suatu hal secara otomatis.
Ada persoalan struktur ekonomi politik pangan, kebijakan, dan tingkatan tata kelola yang berbeda dari lokal hingga global yang menentukan makanan apa yang sampai di tangan konsumen.
Food estate hanya jadi satu bagian dari tata kelola pangan ini, dari perspektif pemerintah menjustifikasi lumbung pangan menjadi penting dari mulai produksi, distribusi, dan jual beli. Padahal hanya jual beli yang menjadi titik tekan utama dalam perspektif ini.
Untuk itu, Iola Abas, menghimbau sebaiknya pemerintah fokus pada pola distribusi dan produksi pertanian yang tepat bagi kebutuhan masyarakat di tingkat pusat hingga lokal. “Permasalahan pada distribusi dan pemasaran produk pertanian akibat pandemi, bukan ketersediaanya. Kami khawatir program ini akan mengulang kegagalan banyak program food estate masa lalu, apalagi di Kalimantan Tengah yang menggunakan lahan bekas Proyek Lahan Gambut (PLG),” kata Iola.
Lantas bagaimana dengan anggaran yang sudah digelontorkan untuk pengembangan proyek ini? Dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dirilis Juni 2022, ditemukan permasalahan program Food estate di tiga provinsi; Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.
Misalnya, pelaksanaan kegiatan swakelola survei, investigasi, dan desain (SID), ekstensifikasi, dan intensifikasi di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau Kalimantan Tengah belum sesuai ketentuan. Sehingga realisasi anggarannya sebesar Rp 5,03 miliar perlu dipertanyakan. BPK juga mencatat ada potensi terjadi kelebihan pembayaran sebesar Rp24,29 miliar.
Dari awal rencana program ini sudah menuai kritik. Terutama akademisi dan pegiat lingkungan yang menduga tidak berdasarkan studi lingkungan hidup berkelanjutan. Penambahan kawasan ditengarai akan membuka hutan alam sehingga memicu deforestasi serta mendatangkan bencana. Berkaca pada temuan BPK, pemerintah seperti tidak belajar dari masa lalu.