Monitorday.com – Sabang menyimpan asa besar dalam geliat kelautan Indonesia. Di sanalah kawasan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Ie Meulee digadang menjadi poros ekonomi biru di ujung barat Nusantara. Namun, realitasnya belum secepat mimpi. Pembangunan tersendat, dan masyarakat pun menanti. Di tengah kelesuan itu, suara lantang datang dari ujung parlemen.
Titiek Soeharto, Ketua Komisi IV DPR RI, tak mau hanya duduk manis di Senayan. Sabtu, 12 April 2025, ia turun langsung ke Aceh bersama 13 anggota Komisi lainnya. Agendanya padat, energinya menyala. Salah satu sorotan utamanya: mempercepat tuntasnya pembangunan SKPT Ie Meulee yang mangkrak meski sudah disokong hibah dari Jepang.
“Harus kita pacu lagi. Jangan sampai diselewengkan. Bantuan luar negeri seperti ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya,” tegas Titiek.
Pesan itu bukan sekadar formalitas. Ia mengirim sinyal keras bahwa Komisi IV tidak akan tinggal diam. Komisi ini bakal menyelidiki penyebab keterlambatan dan mendorong solusi konkret, demi nelayan-nelayan yang menanti akses, fasilitas, dan masa depan yang lebih cerah dari laut.
Tapi kerja parlemen tak berhenti di dermaga. Dari Sabang, rombongan bergerak ke Banda Aceh, meninjau Gudang Bulog Siron—titik penting dalam rantai pangan strategis wilayah. Di sana, isu serapan gabah dan distribusi beras lokal dibahas tajam. Target nasional 3 juta ton setara beras tak bisa dicapai tanpa sinergi kuat antara pemerintah pusat dan daerah. Titiek menekankan bahwa distribusi beras tak hanya soal angka, tapi tentang menyentuh kebutuhan rakyat secara menyeluruh.
“Kami ingin Bulog optimal. Serapan dari petani lokal harus kuat, distribusinya juga harus adil dan merata,” katanya dengan nada yang memadukan tekad dan empati.
Kunjungan kerja ini pun mencuatkan dimensi lain dari kepedulian Komisi IV: konservasi dan pariwisata berkelanjutan. Pulau Weh, dengan Taman Wisata Alam seluas lebih dari 6.000 hektare darat dan laut, jadi panggung diskusi terbuka di Tugu Kilometer Nol. Di sinilah, sinergi antara alam dan ekonomi kembali digaungkan.
Konservasi bukan penghalang kemajuan, justru jadi peluang baru. Titiek dan anggota Komisi IV mendorong pemanfaatan kawasan konservasi sebagai destinasi wisata berbasis keberlanjutan—tanpa merusak, justru merawat. Prinsip “pariwisata hijau” digaungkan, dan kolaborasi lintas sektor jadi kuncinya.
Kehadiran Gubernur Aceh H Muzakir Manaf dan jajaran pejabat daerah menegaskan bahwa kunjungan ini bukan sekadar seremoni. Ini ajang menyatukan komitmen lintas lembaga. Bahkan, aparat keamanan pun hadir lengkap: dari Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal, hingga Kepala Staf Kodam dan Kabinda Aceh.
Tegas, cepat, dan menyeluruh—itulah aura dari kunjungan Komisi IV ini. Ada denyut kerja nyata yang ingin memastikan bahwa setiap sudut negeri, termasuk Sabang yang jauh di barat, mendapat perhatian yang sama. Bahwa bantuan luar negeri bukan untuk disia-siakan. Bahwa pangan, laut, dan hutan bisa dikelola bersama—dengan semangat bersih dan berkelanjutan.
Titiek Soeharto membuktikan bahwa kerja pengawasan tak cukup lewat rapat. Harus ada langkah nyata, pijakan langsung di lapangan, dan ketegasan untuk mengingatkan siapa pun yang berpotensi menyimpang.
Sabang jadi saksi. Dan semoga, tak lama lagi, SKPT Ie Meulee pun berubah dari proyek tertunda menjadi pusat perikanan yang berdenyut bagi nelayan dan ekonomi Aceh.