News
KISIP 2024 Rancang Strategi Hadapi Disinformasi Pemilu
Published
10 months agoon
Disinformasi terkait Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh berbagai pihak, termasuk akademisi dan pengamat sosial-politik. Untuk itu, Konferensi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (KISIP) 2024 menggelar diskusi dan kolaborasi untuk merancang strategi mengamankan demokrasi dari gangguan informasi.
KISIP 2024 yang digagas oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia dan Google Indonesia berlangsung pada 17-18 Januari 2024 di Jakarta. Acara ini mengusung tema “Mengamankan Demokrasi: Tanggapan Beragam terhadap Disinformasi Pemilihan Umum” dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah, komisi pemilihan, lembaga pengawas, media, akademisi, dan masyarakat sipil.Direktur Eksekutif Bidang Riset CSIS Indonesia Shafiah Muhibat mengatakan bahwa disinformasi pemilu merupakan ancaman serius bagi demokrasi, terutama di era digital yang memungkinkan penyebaran informasi yang cepat dan luas. Ia menilai bahwa pemilih muda, yang akan menjadi mayoritas dalam Pemilu 2024, perlu mendapatkan literasi digital yang baik agar tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang salah atau menyesatkan.“Seiring dengan pertumbuhan penggunaan internet dan media sosial, diperkirakan akan terjadi peningkatan yang mengkhawatirkan dalam misinformasi terkait pemilihan karena lebih dari 65 persen pemilih, terutama dari Generasi Z dan Milenial, mengandalkan media sosial sebagai sumber informasi utama mereka,” kata Shafiah dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/1/2024).Shafiah menambahkan bahwa KISIP 2024 bertujuan untuk menciptakan ruang dialog dan kolaborasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam proses pemilu, baik sebelum, selama, maupun sesudah pemungutan suara. Ia berharap bahwa acara ini dapat menghasilkan rekomendasi dan strategi yang efektif untuk melawan disinformasi pemilu dan menjaga integritas demokrasi.KISIP 2024 bekerja sama dengan beberapa universitas, yaitu Universitas Monash, Universitas Islam Internasional Indonesia, Universitas Prasetya Mulya, dan Universitas Katolik Atma Jaya Indonesia. Acara ini juga didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia, Komisi Pemilihan Umum Indonesia, Badan Pengawas Pemilihan Umum Indonesia, dan media partner.Peneliti dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Indonesia Noory Okthariza mengatakan bahwa untuk memahami risiko dan struktur disinformasi dalam Pemilu 2024, maka evaluasi Pemilu 2019 dan diskusi daring terkini sangat penting. Selain politik identitas dan polarisasi dari pemilihan sebelumnya, demografi pemilih muda telah menjadi indikator signifikan dari penyebaran informasi.“Menurut Komisi Pemilihan Umum Indonesia (KPU), pemilih muda (usia 17-40 tahun) akan menyumbang 52 persen dari demografi pemilih. Itulah mengapa penanganan tantangan beragam misinformasi di platform media sosial sangat penting, mencakup aspek teknologi hingga politik dan hukum,” ujar Noory.Noory juga menyampaikan bahwa sejak tahun lalu, CSIS dan Google Indonesia telah menginisiasi Safer Internet Lab (SAIL) untuk secara proaktif melawan gangguan informasi lebih dekat dengan sumbernya. Melalui keterlibatan kolektif dari berbagai pemangku kepentingan, SAIL berupaya memahami dan mengatasi kompleksitas, kebutuhan, dan tantangan yang melekat pada disinformasi pemilihan.Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria yang hadir dalam KISIP 2024 mengapresiasi upaya CSIS dan Google Indonesia dalam mengadakan acara ini. Ia mengatakan bahwa pemerintah juga telah melakukan berbagai langkah untuk menangani hoaks dan disinformasi, terutama menjelang Pemilu 2024.“Untuk melawan disinformasi, kita harus meningkatkan literasi digital terlebih dahulu, melakukan patroli siber 24 jam, dan menyediakan data kepada Polri agar mereka dapat menegakkan hukum. Oleh karena itu, acara hari ini (KISIP 2024) sangat penting sebagai bagian dari perang melawan disinformasi menjelang pemilihan 2024,” ujar Nezar.Selain Nezar, sejumlah pembicara terkemuka juga menghadiri acara KISIP 2024, di antaranya Staf Ahli Regulasi untuk Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nur Syarifah, Kepala Bagian Humas dan Informasi Publik KPU RI Reni Rinjani Pratiwi, Rachmat Bagja dari Bawaslu Indonesia, Arianne Santoso dari Google Indonesia, dan Karissa Sjawaldy dari Universitas Monash.