Connect with us

Review

Korupsi Energi: Pertamina dalam Pusaran Pengkhianatan

Korupsi di Pertamina merusak kepercayaan publik dan mengancam energi nasional. Presiden Prabowo harus bertindak tegas memberantas korupsi demi kesejahteraan rakyat.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Korupsi telah menjadi momok yang terus menghantui pembangunan di Indonesia. Kasus demi kasus terus bermunculan, menodai institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kepentingan rakyat.

PT Pertamina (Persero), sebagai BUMN strategis yang berperan besar dalam penyediaan energi nasional, kembali terseret dalam pusaran korupsi yang membahayakan kepentingan publik.

Ironisnya, di tengah semangat efisiensi dan transparansi, praktik korupsi tetap menjadi penyakit kronis yang sulit diberantas.

Kasus terbaru pada 2025 terkait dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang menjadi bukti bahwa sistem pengawasan di Pertamina masih rapuh. Tujuh tersangka, termasuk empat pimpinan Subholding Pertamina, menunjukkan bahwa korupsi telah merasuki level elite perusahaan. Ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat.

Fakta ini memperkuat anggapan bahwa reformasi tata kelola energi nasional masih setengah hati.

Kasus ini bukan yang pertama. Pada 2015, dugaan korupsi di Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) terkait pengadaan minyak mentah menjadi tamparan keras bagi upaya transparansi. Pemerintah saat itu membubarkan Petral sebagai langkah korektif, namun ternyata tidak cukup untuk membangun sistem yang kebal dari korupsi.

Lalu, pada 2019, kasus suap proyek pembangunan kilang kembali menodai wajah Pertamina. Pola yang berulang ini membuktikan bahwa reformasi tidak boleh hanya sebatas wacana.

Presiden Prabowo, dengan citra tegas dan janji memberantas korupsi hingga ke Antartika, kini menghadapi ujian besar. Retorika tanpa aksi hanya akan memperpanjang derita rakyat.

Koruptor bukan sekadar pelanggar hukum, tetapi perusak masa depan bangsa. Di negara seperti Korea Utara, korupsi dianggap sebagai pengkhianatan tingkat tinggi yang layak mendapat hukuman berat. Indonesia membutuhkan ketegasan serupa, di mana koruptor tidak hanya dipenjara, tetapi juga dijauhkan dari segala akses terhadap kekuasaan dan fasilitas negara.

Efisiensi dalam pengelolaan energi memang menjadi langkah positif. Namun, efisiensi tanpa pemberantasan korupsi hanya akan menjadi fatamorgana.

Presiden Prabowo harus membuktikan bahwa julukan Macan Asia bukan sekadar simbol, tetapi juga kekuatan nyata dalam menegakkan keadilan. Korupsi di sektor energi bukan sekadar persoalan uang, melainkan ancaman terhadap kemandirian energi nasional.

Setiap rupiah yang dikorupsi adalah hak rakyat yang dirampas, kebutuhan masyarakat yang terabaikan, dan mimpi kesejahteraan yang tertunda.

Momentum perubahan ada di tangan Presiden Prabowo. Tidak ada alasan untuk memberikan karpet merah kepada para koruptor. Hukuman berat, pemiskinan aset, dan pengawasan ketat harus menjadi pilar utama dalam perang melawan korupsi.

Penegakan hukum yang transparan dan tidak pandang bulu akan menjadi fondasi bagi Indonesia yang bersih dan berdaulat. Korupsi di tubuh Pertamina harus menjadi alarm keras bahwa pengawasan dan transparansi adalah harga mati.

Jika korupsi dibiarkan, maka kemiskinan dan ketidakadilan akan terus menggerogoti bangsa ini. Rakyat menanti keberanian Presiden Prabowo untuk mewujudkan janji politiknya. Energi nasional adalah urat nadi kehidupan, dan tidak boleh dikuasai oleh tikus-tikus rakus yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.

Waktunya menyalakan bara perlawanan, memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya, dan memastikan bahwa negeri ini benar-benar menjadi rumah bagi keadilan dan kesejahteraan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News

80 Ribu Kopdes Merah Putih Diluncurkan, Dananya dari Mana?

N Ayu Ashari

Published

on

Monitorday.com – Langkah Presiden Prabowo Subianto membentuk 80 ribu Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) menjadi kejutan yang mengguncang panggung kebijakan nasional. Di tengah narasi efisiensi dan pemangkasan anggaran, tiba-tiba muncul Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 yang memerintahkan percepatan pembentukan koperasi skala nasional ini. Energi politik langsung tersedot ke satu pertanyaan mendasar: dari mana semua ini akan didanai?

Dalam Inpres yang diteken pada 27 Maret 2025 tersebut, Presiden Prabowo memerintahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menyediakan dana modal awal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025. Tak hanya itu, pendanaan juga disebut akan ditopang oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana desa, bahkan sumber lain yang “sah dan tidak mengikat”. Skema pendanaan ini membuka ruang multitafsir, termasuk kekhawatiran soal transparansi dan potensi tumpang tindih fiskal antara pusat dan daerah.

Publik pun sontak menaruh perhatian. Di saat pemerintah tengah menyisir pos-pos anggaran untuk efisiensi—termasuk pengurangan subsidi, penundaan sejumlah proyek infrastruktur, hingga pembatasan perjalanan dinas—keputusan untuk membiayai program raksasa koperasi tampak bagai paradoks. Apalagi, belum ada rincian angka konkret tentang berapa nominal total yang dibutuhkan untuk 80 ribu koperasi. Jika masing-masing koperasi hanya diberi modal awal Rp100 juta, maka negara harus menggelontorkan setidaknya Rp8 triliun.

Nada kritis pun bermunculan dari sejumlah pengamat kebijakan fiskal. Mereka mempertanyakan prioritas negara di tengah tantangan defisit dan tekanan ekonomi global. “Program koperasi itu baik, tetapi konteks fiskalnya harus tepat. Jangan sampai semangat pemberdayaan menutupi ketidakjelasan sumber pendanaan,” ujar seorang ekonom dari lembaga riset independen di Jakarta. Kekhawatiran juga muncul dari daerah. Beberapa kepala desa mulai gelisah bila dana desa yang selama ini difokuskan untuk infrastruktur dasar dan pelayanan publik tiba-tiba harus dialihkan demi pembentukan koperasi yang belum tentu siap dikelola secara profesional.

Meski begitu, semangat program ini juga tak bisa diabaikan. Presiden Prabowo ingin membangkitkan ekonomi rakyat dari akar rumput melalui koperasi sebagai tulang punggung ekonomi desa. Ia bahkan memerintahkan seluruh menteri dan kepala daerah untuk bersinergi aktif. Kopdes Merah Putih tak hanya diminta terbentuk cepat, tapi juga diwajibkan memberi laporan berkala ke Presiden—sebuah tanda bahwa Prabowo akan mengawasi langsung proyek ini.

Secara ide, koperasi sebagai institusi ekonomi gotong royong memang menjanjikan kemandirian ekonomi. Namun tantangan implementasi di lapangan bukan perkara ringan. Banyak koperasi desa sebelumnya mati suri akibat lemahnya manajemen, intervensi politik lokal, dan minimnya pengawasan. Tanpa pelatihan, tata kelola yang kuat, dan sistem audit transparan, Kopdes Merah Putih bisa jadi hanya label tanpa nyawa.

Yang tak kalah penting: komunikasi publik dan transparansi pendanaan. Rakyat berhak tahu bagaimana program ini akan berjalan, siapa yang mengelola, dan bagaimana dampaknya di tengah gelombang efisiensi anggaran nasional. Jika dana miliaran dialihkan dari program prioritas tanpa pengawasan ketat, maka bukan pemberdayaan yang muncul, melainkan potensi pemborosan sistemik.

Program ini adalah taruhan besar. Bila berhasil, Kopdes Merah Putih bisa jadi revolusi ekonomi desa. Tapi bila gagal, bisa menjadi monumen ambisi yang tumbang di tengah jalan.

Continue Reading

Review

Ridwan Kamil dan Bayang-Bayang Korupsi

Dugaan korupsi iklan Bank BJB menyeret nama Ridwan Kamil. KPK terus mendalami perannya, publik menanti langkah tegas dan transparan

N Ayu Ashari

Published

on

Monitorday.com – Di balik citra arsitek yang memesona dan pemimpin progresif, Ridwan Kamil kini berada dalam pusaran sorotan tajam. Kasus korupsi iklan Bank BJB mengintip dari balik bayang kekuasaan.

Seperti menara indah yang tampak kokoh dari kejauhan, karier politik Ridwan Kamil tengah mengalami guncangan besar. Mantan Gubernur Jawa Barat ini terseret dalam pusaran dugaan korupsi pengadaan iklan di Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB). Jumlah yang disebut bukan sekadar angka: Rp222 miliar. Angka fantastis itu menjadi simbol dari potensi kebocoran anggaran dalam tubuh pemerintahan daerah yang selama ini dibanggakan sebagai model pembangunan urban dan tata kelola BUMD yang efisien.

Kisah ini tak sekadar tentang mark-up dana iklan. Ia menjadi narasi tentang bagaimana kekuasaan bisa terjebak dalam labirin kepentingan, dan bagaimana eksistensi figur publik berpotensi menjadi tameng maupun instrumen dalam skema besar yang tak kasatmata. Rumah Ridwan Kamil telah digeledah KPK pada 10 Maret 2025, sebuah langkah investigatif yang menandai babak serius penyelidikan. Namun, yang menarik: Ridwan Kamil belum dipanggil. Bukan karena tak terkait, tapi karena—mengutip Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu—“perannya ada di belakang.”

Frasa itu menyimpan banyak makna. Dalam logika penyidikan, ini berarti peran eks-Gubernur belum bisa dilepas begitu saja. Ada benang kusut yang harus diurai. Penyidik masih mengumpulkan informasi dari saksi-saksi internal Bank BJB dan vendor pengadaan iklan. Lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Direktur Utama Bank BJB dan Kepala Divisi Corsec. Tapi, atmosfer publik jelas menanti: ke mana arah sorotan KPK berikutnya? Apakah Ridwan Kamil akan jadi simbol jatuhnya pejabat yang selama ini dielu-elukan karena gaya komunikasinya yang segar dan pendekatannya yang milenial?

Ridwan Kamil menegaskan dirinya sebagai ex-officio dalam pengawasan BUMD. Sebuah argumen struktural yang sah, namun dalam praktiknya sering kali tak sesederhana itu. Apalagi, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah sejak awal mengindikasikan adanya selisih dana yang sangat mencurigakan antara anggaran dan nilai yang diterima media. Puluhan miliar rupiah tak bisa begitu saja menguap dari sistem, tanpa campur tangan atau pembiaran dari otoritas di atasnya.

Framing publik pun bergerak cepat. Media, warganet, dan pengamat hukum memutar rekaman masa lalu, membandingkan integritas, dan menyusun hipotesis. Apakah ini bagian dari ‘konspirasi politik’? Atau memang Ridwan Kamil terseret oleh struktur kekuasaan yang terlalu kompleks untuk dihindari? Kita belajar dari banyak kasus sebelumnya: dari mulut ikan kecil bisa terbuka mulut hiu. Dan publik sudah tak sabar melihat apakah sosok “RK” akan benar-benar dipanggil atau tetap menjadi bayangan di tepi penyidikan.

KPK, sebagai institusi yang terus berjuang menjaga integritasnya, berada di titik penting. Menyentuh nama besar selalu berarti dua hal: risiko dan legitimasi. Jika KPK berhasil mengurai dan membuktikan keterlibatan pejabat di level atas, maka kepercayaan publik akan meningkat. Tapi jika kasus ini stagnan, hanya menyentuh peran-peran teknis semata, publik akan kembali menyimpulkan: korupsi di Indonesia bukan soal hukum, tapi kekuasaan siapa yang paling kuat.

Proses masih panjang. Tapi satu hal pasti: waktu tak bisa lagi disuap. Dan sejarah tak pernah melupakan siapa yang berdiri bersama kebenaran, dan siapa yang bersembunyi di balik retorika.

Continue Reading

Review

Indonesia, Kementerian yang Obesitas dan Harapan akan Pemerintahan Efisien

N Ayu Ashari

Published

on

Monitorday.com – Indonesia kini berdiri di persimpangan yang tak bisa lagi dihindari: terlalu banyak kementerian, utang yang menggunung, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terus melonjak tanpa arah yang pasti. Ini bukan sekadar angka-angka dalam dokumen kenegaraan, tapi cerminan dari tantangan struktural yang membebani efektivitas pemerintahan. Ironisnya, kita memiliki 48 kementerian, jumlah yang bahkan melampaui China (21 kementerian) dan Amerika Serikat (15 kementerian)—dua negara raksasa yang secara ekonomi dan geopolitik jauh lebih dominan.

China dengan kekuatan globalnya, dan Amerika dengan peran hegemoniknya, tidak membutuhkan tumpukan birokrasi untuk mengatur bangsanya. Rusia, negara dengan luas wilayah terbesar di dunia, hanya memiliki 21 kementerian dan mampu menjaga efisiensi kebijakan fiskalnya dengan APBN sekitar Rp1.833,5 triliun. Bandingkan dengan Indonesia, yang dengan jumlah kementerian lebih dari dua kali lipat itu, justru menghadapi kesulitan dalam efisiensi dan efektivitas belanja negara.

Situasi ini bukan sekadar “terlalu banyak dapur” dalam satu rumah, tapi “terlalu banyak koki” yang sering kali memasak menu serupa, hanya dengan gaya dan biaya yang berbeda. Setiap kementerian membawa mandat yang kadang tumpang tindih, membuat publik bingung, dan lebih parahnya, menyulitkan lahirnya inovasi serta akselerasi pembangunan nasional.

Namun, dari kondisi yang seolah-olah suram ini, muncullah semangat baru. Figur Presiden Prabowo Subianto dipandang sebagai harapan bagi penyederhanaan dan konsolidasi kekuasaan eksekutif. Sosoknya yang dikenal tegas dan berani mengambil keputusan, kini diproyeksikan sebagai pemimpin transformasional. Lebih jauh lagi, munculnya nama Dedi Mulyadi sebagai sosok yang disebut-sebut layak mendampingi Prabowo dalam membentuk “duet perubahan” memperkuat harapan rakyat.

Mengapa Prabowo-Dedi? Karena duet ini dinilai memiliki kombinasi antara visi makro dan kepekaan mikro. Prabowo membawa kekuatan nasionalisme strategis dan orientasi geopolitik global, sementara Dedi Mulyadi menghadirkan pendekatan kultural dan akar sosial yang kuat. Inilah pasangan yang tidak hanya piawai berpidato, tapi juga siap turun tangan ke lapangan, mengurai kekusutan birokrasi, dan mengeksekusi kebijakan dengan cepat.

Dengan APBN Indonesia 2024 sebesar Rp3.325,1 triliun dan defisit anggaran menyentuh Rp522,8 triliun, tidak ada waktu lagi untuk bermain-main dalam birokrasi yang rumit. Pemerintah mendatang harus mampu menyederhanakan struktur kementerian, mendorong efisiensi fiskal, dan memaksimalkan dampak dari setiap rupiah yang dibelanjakan negara. Overload administratif yang kini terjadi bukan hanya membuang sumber daya, tetapi juga memperlambat laju pembangunan nasional.

Apa yang dibutuhkan Indonesia? Kecepatan dan ketegasan. Seperti pelari marathon yang harus tetap cepat di kilometer terakhir, Indonesia tidak bisa lagi kehilangan momentum. Persaingan global makin ketat, dan waktu adalah musuh yang nyata. Maka, wacana percepatan Pilpres ke tahun 2026 bukanlah sekadar isu politis, melainkan strategi percepatan transisi kekuasaan untuk memastikan kesinambungan visi pembangunan.

Pertanyaannya, bisakah Indonesia menyalip Rusia, China, atau bahkan Amerika? Jawabannya: bisa—asal kita punya keberanian untuk merombak sistem dari dalam. Penyederhanaan kementerian, konsolidasi anggaran, penghapusan tumpang tindih fungsi, hingga reformasi birokrasi digital, harus menjadi agenda utama. Tidak cukup hanya mengganti orang, tapi harus mengganti cara berpikir dan bekerja dalam pemerintahan.

Dan untuk itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya mengerti struktur, tapi juga berani menyederhanakannya. Dalam konteks ini, Prabowo dan Dedi Mulyadi adalah simbol dari “Arah Baru Indonesia.” Mereka berpotensi menjadi pasangan transformasi yang mampu menciptakan mesin pemerintahan yang ramping, cepat, dan tangguh.

Jika langkah ini berhasil, Indonesia bukan lagi sekadar negara dengan banyak kementerian, tetapi negara dengan pemerintahan efektif yang mampu bersaing secara global. Seiring waktu, dunia bisa saja terkejut melihat bagaimana Indonesia—yang dulu lamban dan birokratis—berubah menjadi kekuatan ekonomi baru yang disegani.

Singkatnya, jumlah kementerian bukan kebanggaan, efisiensi dan hasil nyatanya-lah yang akan mencatatkan Indonesia dalam sejarah sebagai bangsa besar. Dan momentum itu ada di depan mata. Tinggal bagaimana kita, sebagai bangsa, menyambutnya.

Continue Reading

Review

Bamsoet, Arsitek Reformasi Regulasi Indonesia

Dengan semangat membara dan ketajaman analisis hukum, Bambang Soesatyo menggugah kesadaran nasional akan bahaya obesitas regulasi. Ia hadir bukan sekadar sebagai legislator, tetapi sebagai pemikir visioner yang menawarkan solusi konkret demi masa depan sistem hukum Indonesia yang lebih sehat dan adaptif.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Di tengah derasnya arus peraturan yang tumpang tindih dan membingungkan, nama Bambang Soesatyo atau akrab disapa Bamsoet muncul sebagai tokoh kunci yang menggugah nalar hukum bangsa. Sebagai Anggota DPR RI yang juga mengabdikan diri sebagai dosen pascasarjana di Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya, dan Universitas Pertahanan (UNHAN), Bamsoet tak hanya menyuarakan kritik, tapi juga menampilkan skema reformasi regulasi yang terukur dan strategis.

Baginya, obesitas regulasi adalah penyakit kronis dalam tubuh hukum Indonesia yang telah lama diabaikan. “Kita tidak kekurangan peraturan, justru kita kelebihan—bahkan sampai kebablasan,” tegas Bamsoet dengan nada yang enerjik di hadapan para mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur. Pernyataannya bukan tanpa dasar. Dengan lebih dari 43.800 regulasi yang aktif, Indonesia terjebak dalam labirin hukum yang justru mempersulit pelayanan publik, memadamkan gairah investasi, dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap keadilan.

Bamsoet memahami bahwa permasalahan ini bukan sekadar angka. Ini soal efektivitas negara dalam merespons kebutuhan rakyat dan dinamika global. Dalam setiap kuliah, diskusi, maupun forum publik, ia menekankan pentingnya penyederhanaan dan harmonisasi regulasi. Dengan pendekatan konseptual seperti omnibus law, ia menawarkan jalan keluar yang tidak hanya efisien, tetapi juga relevan dengan tantangan zaman. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, menurutnya, adalah contoh konkret yang sudah memberikan dampak positif, meskipun masih memerlukan penguatan implementasi.

Gagasan Bamsoet tak berhenti di tataran teoritis. Ia mendorong lahirnya lembaga tunggal yang khusus menangani regulasi di bawah pengawasan langsung presiden—sebuah langkah terobosan yang ia yakini mampu mengintegrasikan dan menyinkronkan seluruh produk hukum dari pusat hingga daerah. Ketika sebagian besar pembuat kebijakan terjebak dalam birokrasi lamban, Bamsoet tampil sebagai pemimpin pemikiran yang menggerakkan.

Ia berbicara dengan ketajaman akademis, tetapi membumi. Dengan gaya komunikasi yang dinamis, ia membangun narasi tentang hukum yang bukan hanya harus adil, tetapi juga harus lincah dan adaptif. “Tanpa regulasi yang sehat, tak ada investasi yang nyaman, tak ada pelayanan publik yang efektif, dan tak ada masa depan hukum yang bisa kita banggakan,” ucapnya penuh penekanan.

Komitmennya terhadap dunia pendidikan semakin mengukuhkan reputasinya. Di kampus, ia bukan sekadar pengajar, tetapi inspirator yang memicu daya pikir kritis para calon doktor hukum. Di Senayan, ia membawa semangat yang sama: menyusun legislasi dengan perspektif reformis, bukan normatif semata. Kepakarannya dalam membaca lanskap hukum secara holistik menjadikan Bambang Soesatyo sebagai figur langka yang mampu menjembatani teori dan praktik dengan presisi.

Bamsoet tak berhenti pada kritik. Ia membawa visi yang ditopang oleh data, diperkuat oleh pengalaman legislasi, dan diarahkan oleh tekad perubahan. Kepada para pemangku kepentingan, ia menyerukan kerja kolektif. Koordinasi antar lembaga, evaluasi regulasi yang berkelanjutan, serta pelibatan masyarakat menjadi tiga elemen utama dalam grand design reformasi yang ia usung.

Bagi Bambang Soesatyo, regulasi bukan soal banyak atau sedikit, tetapi soal relevansi dan efektivitas. Ia meyakini bahwa hukum yang baik adalah hukum yang bekerja. Dengan energinya yang tak pernah surut, ia terus memacu langkah untuk membebaskan Indonesia dari belenggu regulasi yang menumpuk. Dalam dirinya, publik melihat bahwa perubahan bukan hanya mungkin, tetapi sedang diperjuangkan—dengan ilmu, integritas, dan keberanian.

Continue Reading

Review

Amerika dan Dunia di Ujung Tanduk

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com –Di balik gemerlap demokrasi dan retorika hak asasi manusia yang selalu dikumandangkan Amerika Serikat, terselip jejak-jejak kelam imperialisme modern yang kian mencemaskan masa depan dunia.

Amerika Serikat, negeri yang kerap mengangkat bendera kebebasan dan keadilan, tengah berdiri di ambang krisis kepercayaan global. Dunia telah lama menyaksikan bagaimana kekuatan adidaya ini tidak hanya mencampuri urusan negara lain, tetapi secara aktif menciptakan ketegangan, perang, dan kerusakan struktural di berbagai belahan bumi. Retorika tentang demokrasi sering kali menjadi kedok manis untuk ambisi-ambisi geopolitik yang tidak segan menyulut konflik dan mengorbankan jutaan jiwa.

Di Timur Tengah, luka-luka yang ditinggalkan belum sembuh. Irak, Suriah, Libya—semuanya menjadi ladang eksperimen atas kebijakan luar negeri Amerika yang destruktif. Perang dilancarkan atas nama kebebasan, namun hasilnya adalah kehancuran negara, runtuhnya peradaban, dan munculnya kelompok-kelompok perlawanan di cap radikal dan di labeli teroris.

Tak bisa di bayangkan, mereka yang melawan karena ditindas malah dituduh penjahat sementara negara penjajah dielu-elukan sebagai bangsa yang menjunjung hak asasi manusia.

Dunia tahu siapa dalang dari semua ini, tetapi suara-suara perlawanan kerap dibungkam oleh dominasi media dan kekuatan politik yang dimiliki Washington.

Tak hanya itu, ambisi ekspansionis Amerika terlihat jelas ketika secara terang-terangan ingin mencaplok Greenland, wilayah otonom yang berada di bawah Denmark. Upaya ini bukan hanya bentuk arogansi kekuasaan, tapi juga menunjukkan betapa Amerika merasa berhak atas segala sesuatu yang strategis dan menguntungkan secara ekonomi maupun militer. Terusan Panama pun tak luput dari incaran mereka—jalur perdagangan vital dunia yang ingin mereka kontrol sepenuhnya demi kepentingan ekonomi dan militer mereka sendiri.

Amerika juga tak ragu menyulut konflik dengan kekuatan besar lain seperti Rusia. Alih-alih mencari jalur diplomasi, mereka memilih membiayai kelompok-kelompok separatis dan memperluas pengaruh NATO hingga ke perbatasan negara yang mereka anggap rival. Ketegangan di Ukraina dan wilayah sekitarnya adalah bukti nyata betapa Amerika tidak segan menyalakan api perang baru demi mempertahankan hegemoni global mereka.

Di banyak negara, Amerika hadir bukan sebagai penyelamat, tapi perusak dari dalam. Mereka mendanai kelompok separatis, memicu instabilitas, dan mengintervensi politik domestik melalui berbagai cara—baik terang-terangan maupun tersembunyi.

Demokrasi dijual sebagai produk ekspor, padahal dalam praktiknya, mereka sendiri sering kali menutup mata terhadap kudeta, pelanggaran HAM, dan pemilu curang—selama itu menguntungkan kepentingan mereka.

Ironi terbesar tampak dalam sikap Amerika terhadap Palestina. Di saat dunia menyaksikan genosida sistematis yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, Amerika justru tampil sebagai pelindung utama. Mereka memveto resolusi-resolusi penting di PBB, menyuplai senjata, dan memberikan dukungan politik tanpa syarat kepada Israel. Dalam hal ini, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia seolah menjadi selektif: berlaku bagi yang tunduk, diabaikan bagi yang melawan.

Kita patut bertanya: sampai kapan dunia akan membiarkan satu negara bertindak bak dewa di panggung global, menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang harus hancur? Sampai kapan kekuatan uang dan militer dijadikan alat untuk membungkam keadilan dan nurani? Amerika boleh saja membungkus semua tindakan mereka dalam jargon-jargon idealistik, tapi dunia telah lama melihat wajah aslinya.

Sebuah kehancuran moral dan politis tengah mengintai Amerika, dan dunia harus bersiap untuk tak hanya menyaksikan, tetapi mengambil sikap.

Rezim di Amerika, siapapun presiden dan wakil presidennya, akan terus menghancurkan fondasi perdamaian dan keadilan internasional.

Dunia bukan milik satu negara, dan masa depan tidak boleh dikendalikan oleh tangan-tangan yang berlumur darah sejarah.

Mungkinkah ini pertanda, imam mahdi sudah di depan mata? sebentar lagi akan datang.

Datangnya Imam Mahdi bukan sekadar narasi spiritual, melainkan momen monumental yang mengguncang tatanan lama dan membuka jalan bagi era keemasan. Dalam pusaran kekacauan global—korupsi merajalela, kesenjangan sosial menganga, nilai-nilai luhur diinjak-injak—sosok ini hadir sebagai penyeimbang, penyatu, dan pembebas.

Dengan kepemimpinan yang penuh hikmah dan keberanian, Imam Mahdi akan menghancurkan tirani, membangkitkan semangat keadilan, dan menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan sejati. Tak ada lagi dominasi kekuatan zolim, tak ada lagi ketakutan bagi yang lemah. Dunia akan menyaksikan transformasi masif—sistem yang korup runtuh, kebenaran bersinar, dan solidaritas antarumat manusia menguat.

Masa keemasan bukan sekadar impian, tapi realitas yang dibangun dari kebangkitan spiritual dan kesadaran kolektif. Dunia akan berdetak dalam irama kedamaian, keadilan, dan keberkahan. Inilah momentum kebangkitan, saat sejarah menulis ulang dirinya dengan tinta cahaya, dan umat manusia meraih kembali martabatnya yang hakiki.

Continue Reading

Review

Dolar Terpuruk di Era Trump

Dolar AS melemah tajam di bawah kepemimpinan Trump, tertekan oleh kebijakan tarif dan potensi resesi, memperlihatkan keraguan pasar terhadap arah ekonomi dan strategi geopolitik AS.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Ketika Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, dunia menunggu gebrakan kebijakan ekonominya. Tapi bukan kekuatan dolar yang muncul ke permukaan, melainkan tanda-tanda keterpurukan. Awal tahun 2025, indeks dolar (DXY) masih berada di angka 109,35—namun dalam waktu kurang dari tiga bulan, posisinya amblas ke level 100,06. Penurunan hampir 8,5% ini bukan sekadar angka. Ia adalah simbol dari kegamangan pasar global terhadap arah ekonomi negara adidaya.

Hari Kamis, 10 April 2025, menjadi catatan merah bagi mata uang Paman Sam. Dalam satu hari, dolar tercatat anjlok 1,98%—penurunan paling tajam selama periode 20 Januari hingga 11 April. CNBC International menyoroti bagaimana kebijakan agresif Trump, khususnya soal perdagangan, memperburuk tekanan pada dolar. Dulu, banyak pihak berharap tarif yang diberlakukan akan memperkuat posisi mata uang ini. Tapi kenyataan menunjukkan arah yang jauh berbeda.

Bukannya memperkuat ekonomi, tindakan Trump justru membuat investor asing meradang. Alih-alih menanamkan modal, mereka melakukan aksi jual besar-besaran terhadap saham dan obligasi AS. Ini bukan hanya mencerminkan ketakutan terhadap dampak kebijakan, tapi juga sinyal bahwa kepercayaan terhadap prospek ekonomi AS tengah goyah.

Dampak lain pun segera terlihat di pasar global. Yen Jepang dan franc Swiss—dua mata uang yang dikenal sebagai ‘safe haven’ di saat ketidakpastian—menguat signifikan. Dolar, sebaliknya, kehilangan tempat di hati investor yang biasanya mengandalkannya sebagai pelindung saat badai pasar datang. Tentu saja, ini bukan skenario yang diharapkan oleh siapa pun di Gedung Putih.

Sumber dari Refinitiv menunjukkan bahwa pelemahan dolar tak lepas dari meningkatnya kekhawatiran akan potensi resesi di AS. Trump memang datang dengan gaya lama: gemar mengguncang status quo, bermain di medan tarif, dan menempatkan China sebagai musuh nomor satu. Tapi kali ini, strategi tersebut seperti menembak kaki sendiri.

Pemerintahan Trump telah menetapkan tarif dasar terhadap China sebesar 145%—angka mencengangkan yang bahkan melampaui janji kampanyenya sendiri yang hanya 60%. Tak berhenti di sana, Trump juga nyaris menerapkan tarif menyeluruh 10% ke seluruh dunia, sebelum akhirnya memilih menunda rencananya selama 90 hari untuk semua negara kecuali China.

Tindakan ini, menurut Trump, diambil karena “orang-orang mulai berisik dan takut.” Tapi pasar lebih dari sekadar ‘berisik’. Mereka resah. Mereka menilai kebijakan ini bukan sebagai langkah proteksi, melainkan bentuk isolasi ekonomi yang tak bijak.

China sendiri tak tinggal diam. Negeri Tirai Bambu menaikkan tarif balasan terhadap AS menjadi 84%. Perang dagang yang seharusnya bisa diselesaikan lewat meja perundingan kini menjelma menjadi pertandingan ego, dengan risiko besar bagi kestabilan ekonomi global.

Strategi Trump juga mencerminkan manuver geopolitik yang lebih luas. Dalam menyusun blok perdagangan alternatif, tim ekonominya mulai mendekati Korea Selatan, Jepang, India, hingga Vietnam. Langkah ini tampak sebagai upaya untuk membentuk barikade ekonomi guna menekan posisi China. Tapi tanpa kerja sama yang kuat dan strategi diplomatik yang seimbang, ini justru bisa menjadi bumerang yang merugikan semua pihak.

Kini, dunia menyaksikan, apakah Trump bisa mengendalikan arah kebijakan dengan lebih hati-hati, atau justru kembali menjadi arsitek dari ketidakpastian ekonomi global. Yang jelas, dolar—sebagai barometer kekuatan AS—sedang berbicara lantang: pasar tidak lagi sebegitu yakin pada janji-janji populis yang penuh risiko.

Continue Reading

Review

Rupiah Menguat, Pasar Tetap Waspada

Dila N Andara

Published

on

Monitorday.com – Rupiah ditutup menguat pada rentang Rp16.750 hingga Rp16.830 per dolar AS dalam perdagangan Jumat (11/4/2025), setelah mencatatkan penguatan sebesar 0,29% atau 49,5 poin ke level Rp16.823 per dolar pada Kamis (10/4).

Momentum positif ini terjadi di tengah lesunya indeks dolar AS yang melemah 0,46% ke posisi 102,42, serta tren penguatan mata uang Asia lainnya seperti yen Jepang, won Korea, yuan China, dan ringgit Malaysia.

Kondisi ini memberi napas segar bagi pasar keuangan domestik yang tengah berjibaku dengan dinamika eksternal. Menurut pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, sentimen positif muncul setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan perpanjangan waktu 90 hari atas kebijakan tarif timbal balik terbarunya. Keputusan itu dinilai mampu meredam kekhawatiran akan resesi, walau arah kebijakan Trump masih dipandang labil oleh pelaku pasar.

“Pasar tetap berhati-hati. Trump bukan sosok yang mudah ditebak, dan sikapnya terhadap kebijakan tarif sering berubah,” ujar Ibrahim dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/4).

Ketidakpastian ini, lanjut Ibrahim, semakin diperparah oleh ketegangan geopolitik yang terus membara di Timur Tengah dan Eropa serta meningkatnya tensi perang dagang global. Kombinasi faktor-faktor eksternal ini membuat perekonomian domestik berada dalam tekanan, dengan fluktuasi nilai tukar sebagai indikator paling nyata.

Di tengah situasi ini, peran pemerintah dan Bank Indonesia sangat krusial. Intervensi di pasar keuangan terus dilakukan untuk menstabilkan nilai tukar. Namun, Ibrahim menilai, instrumen yang tersedia tidak sepenuhnya mampu menangkal dampak global yang berada di luar kontrol domestik. “Pemerintah dan BI bekerja keras, tetapi kemampuan mereka terbatas. Yang dibutuhkan adalah sinergi dan antisipasi jangka panjang,” tegasnya.

Perang dagang yang semakin panas juga membawa konsekuensi nyata bagi sektor perdagangan dan harga barang. Meskipun komponen produk buatan AS belum mendominasi rantai pasok lokal, kenaikan tarif tetap berpotensi memicu inflasi karena lonjakan harga bahan impor. Hal ini tak hanya menekan daya beli masyarakat, tapi juga mengganggu keseimbangan neraca perdagangan.

Lebih jauh, Ibrahim menyoroti risiko jangka panjang terhadap daya saing regional. Negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, yang sangat bergantung pada ekspor ke negara besar, dinilai rentan terhadap penurunan volume perdagangan akibat kenaikan harga barang. “Dampaknya bisa sangat luas, dari melemahnya profitabilitas perdagangan hingga melambatnya pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Meski begitu, pasar domestik tampaknya cukup resilient dalam menghadapi gelombang ketidakpastian global. Hari ini, rupiah diprediksi tetap bergerak dinamis, mencerminkan respons pasar terhadap perkembangan eksternal maupun kebijakan dalam negeri. Penutupan di zona hijau menjadi harapan realistis, dengan penguatan yang tetap dijaga dalam koridor yang wajar.

Kendati demikian, pasar diminta tidak larut dalam euforia sesaat. Waspada adalah kata kunci. Dengan volatilitas global yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, setiap sinyal positif harus dibaca hati-hati dan dijadikan pijakan untuk perencanaan jangka panjang, bukan hanya reaksi jangka pendek.

Continue Reading

News

Gejolak di Tubuh Militer Israel

Ratusan prajurit, perwira, dan dokter militer Israel menyerukan penghentian perang Gaza dan pembebasan sandera, menandai gelombang pembangkangan dalam tubuh militer terhadap kebijakan Netanyahu.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Gelombang pembangkangan mengguncang militer Israel. Ratusan prajurit, dokter, dan perwira cadangan menolak perpanjangan agresi di Gaza, menuntut pembebasan sandera dan diakhirinya perang.

Tel Aviv kembali diguncang suara dari dalam tubuhnya sendiri. Lebih dari 1.000 anggota dan mantan personel cadangan Angkatan Udara Israel pada Kamis (10/4) secara terbuka menyatakan sikap menentang kelanjutan perang melawan Hamas di Jalur Gaza. Mereka menuntut satu hal yang kini menjadi suara publik yang tak bisa dibungkam: hentikan perang, selamatkan para sandera.

Dengan nada tegas dan penuh kecemasan, mereka menyampaikan pesan lewat surat terbuka yang dipublikasikan di berbagai media arus utama Israel. “Kelanjutan perang tidak lagi mendorong tercapainya tujuan-tujuan yang telah diumumkan dan justru akan menyebabkan kematian para sandera, tentara IDF, dan warga sipil tak bersalah,” tulis mereka, menyoroti dampak yang tak lagi bisa dibenarkan dari serangan militer Israel di Gaza.

Di antara mereka yang menandatangani surat tersebut terdapat nama besar: Dan Halutz, mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, yang kini secara terbuka mengkritik kebijakan pemerintahan Netanyahu. Namun, respons dari pucuk kekuasaan tak kalah keras. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu langsung mengecam mereka, menyebut kelompok tersebut sebagai “ekstremis pinggiran” yang berusaha memecah belah bangsa dan menggulingkan pemerintahannya.

Pernyataan Netanyahu diikuti oleh Israel Katz, Menteri Pertahanan, yang menganggap surat tersebut sebagai upaya merusak legitimasi perang di Gaza. Ia mendesak petinggi militer untuk menindak para pembangkang ini dengan pendekatan yang dianggap paling tepat. Harian Haaretz melaporkan bahwa Kepala Angkatan Udara telah memecat sebagian personel cadangan yang menandatangani surat tersebut, meski tak dijelaskan secara rinci jumlahnya.

Gelombang pembangkangan tidak berhenti di udara. Hampir 150 perwira Angkatan Laut juga mengirimkan petisi menuntut pemerintah menghentikan perang. Aksi ini dengan cepat memicu reaksi berantai. Channel 12 melaporkan bahwa ratusan personel cadangan di Korps Lapis Baja dan Angkatan Laut juga ikut menandatangani surat serupa, mendesak penghentian agresi militer dan pemulangan para sandera.

Puncaknya, puluhan dokter militer cadangan turut bersuara. Mereka mengirimkan surat langsung kepada Menteri Pertahanan Israel dan Kepala Staf Umum, Eyal Zamir. “Kami, para dokter dan tenaga medis cadangan, menuntut pemulangan segera para sandera dan penghentian perang di Jalur Gaza,” demikian isi surat yang disiarkan kanal tersebut. Para tenaga medis ini menyatakan bahwa perang yang berlarut-larut lebih mencerminkan kepentingan politik dan pribadi daripada tujuan keamanan nasional.

Israel menyatakan masih ada 59 sandera di Gaza, dan setidaknya 22 di antaranya diyakini masih hidup. Para pembangkang menekankan bahwa pembebasan mereka hanya mungkin terjadi melalui penghentian total perang. Padahal, pada awal tahun, Israel disebut-sebut melanggar kesepakatan gencatan senjata fase kedua yang seharusnya mencakup penarikan pasukan dan pertukaran tahanan.

Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, agresi balasan Israel telah menewaskan lebih dari 50.800 warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur Gaza. Di tengah krisis kemanusiaan dan kritik internasional yang memuncak, tekanan dari dalam kini menjadi ancaman paling nyata terhadap fondasi narasi perang Netanyahu.

Kasus ini bahkan memasuki ranah hukum internasional. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang. Di saat yang sama, gugatan genosida terhadap Israel sedang bergulir di Mahkamah Internasional (ICJ).

Apa yang semula terlihat sebagai monolit kesatuan kini mulai retak dari dalam. Seruan dari udara, laut, darat, dan rumah sakit kini menyatu dalam satu suara: akhiri perang, selamatkan nyawa. Dinamika ini bisa menjadi titik balik — bukan hanya bagi para sandera, tapi juga bagi arah kebijakan militer Israel ke depan.

Continue Reading

Review

Tarif Membara: Trump Naikkan ke 125%

Trump menaikkan tarif impor China jadi 125 persen, memanaskan tensi dagang global, sementara negara lain diberi kelonggaran negosiasi selama 90 hari.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – “Perdagangan tanpa keadilan adalah jalan menuju konflik. Keseimbangan tarif adalah cermin dari penghormatan antar bangsa.”

Perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia kembali meletup lebih panas dari sebelumnya. Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengejutkan publik internasional dengan keputusan agresif: menaikkan tarif impor barang asal China menjadi 125 persen. Langkah ini diumumkan Trump melalui akun Instagram pribadinya, menyusul tindakan balasan China yang menetapkan tarif 84 persen terhadap barang-barang asal AS.

Langkah Trump yang dinilai penuh kalkulasi politik dan ekonomi itu diumumkan akan berlaku segera, tepat pada tengah malam waktu setempat. “Karena kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan China kepada Pasar Dunia, dengan ini saya menaikkan tarif yang dikenakan ke China oleh Amerika Serikat menjadi 125 persen, berlaku segera,” tulis Trump penuh nada kecaman.

Tak berhenti di sana, Trump juga menegaskan bahwa ia memberikan kelonggaran kepada negara-negara lain dengan menangguhkan sementara tarif impor selama 90 hari. Kelonggaran itu dimaksudkan sebagai jendela diplomasi bagi pejabat AS untuk melakukan negosiasi dagang dengan negara-negara mitra, sembari tetap menegaskan ketegasan terhadap China.

“Suatu saat, mudah-mudahan dalam waktu dekat, China akan menyadari bahwa hari-hari menipu AS, dan negara-negara lain, tidak lagi berkelanjutan atau dapat diterima,” tambah Trump dalam unggahan tersebut. Pernyataan itu mengisyaratkan kekecewaan mendalam terhadap Beijing dan menggambarkan eskalasi hubungan yang kian menegang antara dua negara adidaya tersebut.

Kebijakan terbaru ini memperbesar jurang konflik yang telah lama membayangi perdagangan global. Setelah sebelumnya menetapkan tarif sebesar 34 persen kepada China pekan lalu, Trump kembali melipatgandakan tekanannya dengan tambahan 50 persen, hingga total tarif mencapai angka fantastis 125 persen. Angka ini jauh melampaui tarif rata-rata sebesar 20,8 persen yang telah diberlakukan terhadap China sejak masa pemerintahan Presiden Joe Biden.

Langkah balasan dari China pun tak kalah keras. Beijing mengumumkan tarif sebesar 84 persen untuk berbagai produk asal AS. Balasan ini memperlihatkan bahwa kedua negara tidak lagi bermain di zona diplomasi lunak, melainkan telah terjebak dalam spiral aksi balasan tarif yang semakin tajam dan mengancam stabilitas ekonomi global.

Sementara itu, laporan Reuters menyebutkan bahwa Gedung Putih tetap akan memberlakukan tarif sebesar 10 persen terhadap hampir seluruh impor AS, meskipun pengumuman terbaru ini tidak mempengaruhi bea masuk terhadap sejumlah produk strategis seperti otomotif, baja, dan alumunium. Hal ini menjadi isyarat bahwa meskipun Trump memperlihatkan sikap keras terhadap China, ia tetap menjaga keseimbangan dalam sektor industri tertentu di dalam negeri.

Kebijakan ini langsung mendapat perhatian besar dari pelaku pasar internasional, investor, hingga negara-negara mitra dagang AS lainnya. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa langkah ekstrem ini akan memicu ketidakpastian pasar, memperlambat arus perdagangan global, serta memunculkan risiko inflasi baru, terutama di sektor barang konsumsi yang terdampak langsung oleh lonjakan tarif.

Energi politik Trump kali ini jelas diarahkan pada satu pesan kuat: Amerika tidak akan mundur ketika merasa ditipu. Dengan gaya retoris yang khas dan keputusan yang tak terduga, Trump menempatkan Washington dalam posisi ofensif yang menuntut konsesi atau perlawanan habis-habisan dari Beijing.

Kini dunia menahan napas, menunggu babak selanjutnya dalam drama perang tarif antara dua ekonomi terbesar dunia. Satu hal yang pasti, dengan tarif membara hingga 125 persen, Amerika Serikat telah menyalakan kembali bara konflik dagang yang bisa meluas lebih jauh dari sekadar angka-angka bea masuk.

Continue Reading

Review

Pahlawan Laut, Penjaga Masa Depan Bangsa

Prof. Rokhmin Dahuri menyuarakan penghargaan bagi nelayan sebagai pahlawan pangan laut dan menyerukan perlindungan serta kebijakan berkelanjutan demi laut dan masa depan bangsa.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Setiap tanggal 6 April, Indonesia memperingati Hari Nelayan Nasional. Di tengah gelombang perubahan zaman dan tantangan global, suara lantang apresiasi kembali menggema dari Anggota DPR RI, Fraksi PDIP, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS.

Tokoh Nelayan Nasional ini pun menyebut bahwa para nelayan sebagai pahlawan ketahanan pangan laut yang berperan penting dalam menjaga kedaulatan perairan dan masa depan bangsa. Tapi lebih dari sekadar ucapan, ini adalah panggilan untuk aksi nyata—sebuah peringatan yang harus menjadi titik balik menuju laut yang lebih adil, lestari, dan menjanjikan bagi para pejuangnya.

“Terima kasih atas kerja keras, keberanian, dan keteguhan kalian dalam menghadapi ombak dan badai demi membawa hasil laut untuk bangsa,” ucap Prof. Rokhmin Dahuri .

Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi. Setiap kata memuat energi penghargaan yang dalam terhadap para nelayan Indonesia—sosok yang kerap luput dari sorotan, padahal berada di garis depan menjaga kedaulatan laut dan menyuplai pangan bagi jutaan rakyat.

Dalam peringatan Hari Nelayan Indonesia 6 April 2025, Guru Besar IPB University ini tak hanya menyuarakan rasa hormat, tetapi juga menyalakan kembali semangat kolektif untuk memperkuat posisi nelayan di negeri maritim ini. Sebagai tokoh kelautan nasional, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kelautan dan Perikanan, komitmennya untuk nelayan bukan perkara sesaat. Ini perjuangan panjang—dan konsisten.

Laut, bagi Prof. Rokhmin, bukan hanya hamparan biru yang memikat mata. Ia adalah sumber kehidupan dan denyut ekonomi utama negeri ini. Ia menyebut laut sebagai masa depan bangsa. Ungkapan ini mencerminkan keyakinan kuat bahwa pembangunan Indonesia tak akan utuh tanpa kemajuan sektor kelautan dan perikanan. Dan di tengahnya, nelayan memegang peran sentral.

Namun, menjadi nelayan di Indonesia bukanlah perkara mudah. Tantangan datang silih berganti—dari cuaca ekstrem, harga jual hasil tangkapan yang tak menentu, hingga akses terhadap teknologi dan modal yang masih timpang. Maka, dalam pernyataannya, Prof Rokhmin menegaskan perlunya dukungan nyata dari negara. Mulai dari kebijakan yang berpihak, akses permodalan yang inklusif, hingga infrastruktur tangkap dan budidaya yang modern, adil, dan berkelanjutan.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya pendekatan ekonomi biru—sebuah kerangka pembangunan yang menggabungkan produktivitas ekonomi dengan kelestarian lingkungan laut. Konsep ini menjadi jawaban atas kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi. Karena tanpa laut yang sehat, nelayan takkan bisa melaut. Dan tanpa nelayan yang kuat, laut kehilangan penjaganya.

Hari Nelayan Indonesia kali ini, menurut Prof. Rokhmin, harus dimaknai lebih dari sekadar seremonial tahunan. Ini adalah momentum untuk mengkonsolidasikan langkah-langkah konkret—dari pusat hingga daerah, dari parlemen hingga masyarakat pesisir. Memberdayakan nelayan bukan hanya soal bantuan sesaat, tapi tentang membangun sistem yang menjamin keberlanjutan profesi mereka di masa depan.

Ajakan terakhirnya menggetarkan, “Mari kita jaga laut, lindungi nelayan, dan bangun masa depan bangsa dari birunya samudra.” Energi dalam kata-kata ini memancarkan semangat kolaborasi dan kepedulian. Sebab menjaga laut berarti menjaga kehidupan. Melindungi nelayan berarti melindungi masa depan Indonesia sebagai negara maritim yang berdaulat.

Maka, di Hari Nelayan Indonesia ini, mari bertutur tentang mereka dengan bangga. Mereka bukan sekadar pencari ikan, tapi penjaga gizi, pemikul harapan, dan pejuang sejati di birunya samudra. Dan saat kita bicara tentang pembangunan Indonesia ke depan, jangan lupakan satu hal: laut adalah panggung masa depan, dan nelayan adalah aktornya.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Keuangan50 seconds ago

BRI Boyong UMKM Binaan Ikuti Pameran Internasional di Singapura

News14 minutes ago

Diduga Lecehkan Pasien, Kemenkes Tangguhkan Izin Praktek Dokter Kandungan di Garut

Sportechment44 minutes ago

Momen Katy Perry Cium Tanah Usai Terbang ke Luar Angkasa

News1 hour ago

Negosiasi Tarif Trump, Menko Airlangga OTW AS Malam Ini

Ruang Sujud2 hours ago

Istihza’ dalam Perspektif Islam: Antara Dosa Besar dan Ancaman Aqidah

Sportechment2 hours ago

Hasil Drawing Babak 64 Besar Putaran Nasional Liga 4 2024/2025

Ruang Sujud5 hours ago

Mengapa Istihza’ Terhadap Ajaran Islam Bisa Menggugurkan Iman?

Ruang Sujud9 hours ago

Bahaya Istihza’: Ketika Candaan Menjadi Kufur

Sportechment12 hours ago

Green Day Ubah Lirik di Coachella 2025, Serukan Dukungan untuk Palestina

Pariwisata12 hours ago

Kemenekraf dan InJourney Beri Panggung untuk JUMBO, Film Animasi Lokal Tembus 3 Juta Penonton

News13 hours ago

Haneda Tokyo Kembali Puncaki Daftar 10 Bandara Terbersih di Dunia 2025

Ruang Sujud13 hours ago

Menjaga Lisan dari Istihza’: Refleksi untuk Muslim Milenial

News13 hours ago

Mewah & Penuh Skandal: Deretan Mobil dan Motor Disita dari Tersangka Suap Kasus CPO

News20 hours ago

80 Ribu Kopdes Merah Putih Diluncurkan, Dananya dari Mana?

News20 hours ago

INATKF Siap All out di FORNAS VIII NTB

News20 hours ago

Bakal dihadiri 15.000 Peserta, FORNAS NTB Jadi Pesta Rakyat Penuh Energi

Sportechment21 hours ago

Timnas Indonesia U-17 Tuai Hasil Negatif Lawan Korut, Erick Thohir Respon Begini

Sportechment22 hours ago

Meski Terhenti di Fase Gugur, Timnas Indonesia Cetak Sejarah Lolos ke Piala Dunia U-17 2025

News22 hours ago

Langkah Diplomatik Prabowo di Timur Tengah Tuai Apresiasi DPR RI

News23 hours ago

Mendikdasmen Luncurkan Buku Panduan Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, Bangun Generasi Emas 2045